Sampingan

Jakarta 23/6/2016­ – Melihat banyaknya kasus kriminalisasi yang terjadi terhadap masyarakat adat, Satgas masyarakat adat dinilai penting untuk menjembatani upaya politik dan hukum yang sedang berlangsung di tingkat nasional maupun daerah sehubungan belum disahkannya UU Pengakuan Perlindungan Hak Masyarakat Adat sebagai jembatan mediasi antara negara dan masyarakat adat.

Sebagai contoh terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalbar, berkonflik dengan perusahaan. Pasalnya tanah adat wilayah Masyarakat adat Semunying sekitar 1.420 hektar dirampas oleh PT. Ledo Lestari (sumber Inkuiri Nasional Komnas HAM). Berdasarkan temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM, PT. LL belum memiliki HGU dan izin pinjam pakai kawasan hutan.

Sementara pada tahun 2010 Jakobus Luna, Bupati Bengkayang saat itu sudah mengeluarkan SK pengakuan terhadap masyarakat adat Semunying. Merasa dirugikan oleh PT. Ledo Lestari pada tahun 2012 lalu, demi mempertahankan hak-haknya warga Semunying Jaya menyita hampir semua kendaraan operasional, menutup tempat pembibitan, dan menutup perkantoran PT. Ledo Lestari. Perjuangan ini menyebabkan Jamaludin warga bersama Momorus Kepala Desa Semunying Jaya ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan jadi tahanan kota selama 20 hari.

Kasus ini masih terus berkembang dan belum ada solusi yang berpihak kepada kedua korban dan masyarakat adat Semunying. Dalam sidang terakhir (26/11/2015) lalu diputuskan bahwa gugatan tidak diterima dengan alasan ada kekurangan administratif. Dengan pertimbangan hukum hakim menggunakan UU kehutanan, artinya masyarakat adat Semunying harus diakui melalui Perda. Sekarang kasusnya dalam tahap naik banding. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 sebab masyarakat adat diakui keberadaannya pada pasal 18a – 18b.

Hadi Daryanto, Dirjen KLHK menjelaskan beberapa contoh tugas dari Satgas seperti : mengidentifikasi , mengkaji/mengkategorikan seluruh kasus pelanggaran HAM, konflik agraria dan konflik sosial. Menyiapkan/merekomendasikan hak masyarakat adat yaitu : perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Satgas masa berlakunya selama satu tahun, dinaungi langsung oleh Presiden RI, pembiayaan ditanggung APBN, dan mempersiapkan satu Lembaga Independen.

Menurut Prof. Dr. Maria SW Sumardjono , SH., MCL., MPA. , Akademikus Universitas Gadjah Mada, jika Satgas hanya diberikan wewenang satu tahun diragukan mampu mengkaji dan mengkategorikan seluruh kasus, karena konflik yang menimpa masyarakat adat di Indonesia terjadi pada lintas sektor. Menurutnya Satgas masyarakat adat perlu cepat dibentuk. Karena beberapa contoh Perda Masyarakat Adat belum sepenuhnya berjalan dan diakui oleh pemerintah. “Perlu ada tata cara dan kepastian hukum yang jelas untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat,”tegas Maria Sumardjono.

Akademikus Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, menyampaikan bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) statusnya sejajar dengan UU, tidak perlu menunggu revisi kehutanan, karena putusan itu MK sudah mengikat. Jika dibentuk kelembagaan baru maka statusnya harus langsung dinaungi presiden. Untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat sudah seharusnya presiden terlibat langsung dalam penyelesainnya, mengingat banyak masalah kriminalisasi dan klarifikasi.

Berbicara kondisi masyarakat adat sekarang klarifikasinya belum ada, kriminalisasi sudah terjadi. Masalah di masyarakat adat sepanjang dia turun temurun tinggal di daerah tersebut tidak bisa dikriminalisasi, ini merupakan konsekuensi menghormati hukum masyarakat adat dan mengahargai sistem tradisional yang mereka miliki. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga adat, hukum adat, wilayah adat dan tata cara bertahan masyarakat adat dimana hal ini tetap dijunjung tinggi hingga sekarang. Sedangkan subjek hukum masyarakat adat tidak harus sepenuhnya mengacu kepada UU, karena masyarakat adat sudah memiliki subjek hukum sendiri, tentunya harus dijabarkan secara jelas dan rapi.

Etikat baik dari pemerintah dibutuhkan untuk pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pemahaman terhadap hak ulayat masyarakat adat perlu dipahami dengan baik dan menyesuaikan setiap daerah, karena hak ulayat adalah hak bersama namun dapat juga sebagai hak individu karena individu merupakan bagian dari sekelompok masyarakat.

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan berusaha mencari isu untuk media baik untuk publik maupun pemerintah dimulai dengan perubahan iklim agar masyarakat adat dipedulikan dan diperhatikan. Satgas masyarakat adat sudah dibicarakan dan dibahas secara serius dalam forum diskusi tanggal 13 Oktober 2014 lalu. Kemudian ditindaklanjuti pada diskusi (2/11/2014). Berkaitan dengan Sembilan Program Nasional terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kantor Wakil Presiden Boediono. Abdon menyampaikan kekecewaannya,” Jika Masyarakat Adat berurusan dengan sektor-sektor seperti berurusan dengan puluhan negara, seolah-olah ada negara dalam Negara,” papar Abdon.

Menurutnya Satgas Masyarakat Adat akan diusulkan sebagai satu komisi nasional dan wajib dilaksanakan oleh negara, karena dalam Inkuiri Nasional sangat banyak ditemukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Jika lembaga independen akan dibentuk maka harus menyesuaikan dan disingkronkan dengan RUU masyarakat adat. AMAN juga akan berkomitmen terus mengawali proses Satgas ini sampai direalisasikan oleh pemerintah.

Saafroedin Bahar, mendukung penuh pembentukan Satgas masyarakat adat. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia saat ini karena negara sebagai lembaga yang seharusnya menaungi masyarakat adat belum bisa memberikan kepastian hukum. Sangat disayangkan UU dibuat oleh DPR tetapi DPR sendiri tidak memahami atau berpura-pura tidak paham masalah yang terjadi, Putusan MK 35 selalu dihadang secara konseptual. Jika negara ini tidak mengingkari perjanjian sakral 17 Agustus 1945, dimana negara wajib melindungi rakyatnya, tapi saat ini diabaikan oleh NKRI.

Catatan-catatan kriminalisasi seperti di Semunying harusnya dihentikan. KOMNAS HAM juga harus serius menangani dan membela rakyat sebab ada kekhawatiran akan pudarnya pengakuan terhadap Negara Indonesia ini. Pemerintah Daerah juga harus memberikan sanksi kepada PT. LL, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemulihan HAM Masyarakat Semunying. Negara perlu menyadari isu masyarakat adat adalah isu nasional. Perhatian pemerintah penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat adat. **** Paulus Ade Sukma Yadi

Kriminalisasi Marak Ormas Sipil Minta Presiden Bentuk TIM Penyelesaian Kasus
Jakarta 19/6/2016 – Akhir-akhir ini kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan makin marak terjadi di Indonesia. Pada sisi lain penegakan hukum hanya menjadi alat untuk memaksa agar seseorang, kelompok atau institusi tidak meneruskan pekerjaan atau kegiatannya.

Menurut Haris Azhar Koordinator KontraS, kriminalisasi atau bentuk pemidanaan yang dipaksakan tersebut terjadi bukan karena melanggar hukum melainkan karena motif bisnis, persaingan politik dan penerapan hukum acara yang tidak tepat.

KontraS mencatat sedikitnya 25 kasus kriminalisasi terjadi sepanjang 2015 sebagaimana yang disampaikan pada konferensi pers (19/6/2016). Abdul Halim – KIARA menyampaikan sejak 2013 s/d Juni 2016 ada 30 masyarakat pesisir mengalami kriminalisasi terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Jepara, Brebes, Batang. Provinsi – NTB Lombok Timur, Lampung – Tulang Bawang, Sulawesi Tengah – Toli-toli.

Monica dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan ada 220 kasus kriminalisasi terjadi terhadap masyarakat adat pada tahun 2015. Empat orang tetua Semende Banding Agung Bengkulu terjerat UU P3H divonis tiga tahun penjara denda Rp 1,5 miliar masih menjalani tahanan. Bachtiar Sabang dari Sinjai Sulsel juga dijerat UU P3H.

Kasus masyarakat adat paling menghebohkan dialami oleh Bokum dan Nuhu Suku Tobelo Dalam (Togutil), Halmahera dituduh melakukan pembunuhan berantai. Suatu perbuatan yang tidak pernah mereka akui. Secara ruang jelajah (suku Tobelo antara satu dan lainnya memiliki ruang teritorial sendiri-sendiri) TKP sangat jauh dari tempat mereka berada saat peristiwa terjadi serta alat bukti panah bukan khas mereka) pembunuhan itu tidak mungkin dilakukan tersangka. Sebuah pengadilan yang tidak adil dipaksakan untuk mengadili mereka berdua dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Bokum dan Nuhu. Keduanya divonis 14 tahun penjara, denda Rp 100 juta. Sementara fakta lain di wilayah mereka beroperasi sebuah perusahaan tambang.

Dalam kesempatan ini Yahya Zakaria dari KPA menyampaikan bahwa sejak Desember 2015 jumlah kriminalisasi dalam konflik agraria meningkat dari tahun ke tahun. Selama dekade 2004-2014 jumlah pejuang agraria yang ditangkap mencapai 1395 orang.

Beberapa bulan terakhir terjadi kriminalisasi terhadap petani Ujang Sukandi, Rismaludin dari Serikat Tani Indramayu (STI) dijerat UU P3H (pengrusakan hutan) dengan tuduhan merambah hutan tanpa izin. Dalam pemeriksaan terhadap Ujang aparat terbukti melalukan intimidasi. Rismaludin pemimpin Serikat Tani Pagar Dewa, Muara Enim, Prov Sumatera Selatan ditangkap padahal Rismaludin baru saja bebas menjalani hukum selama setahun. dengan tuduhan pengancaman dan pencurian getah karet. Dia kemudian diancam beberapa pasal pidana. Tiga petani Paguyuban Petani Kendal juga dijerat UU P3H, karena lahan yang sudah mereka kuasai sejak dulu diklaim sebagai tanah Perhutani. Realitanya Perhutani telah tukar guling dengan PT Semen Indonesia lalu mengambil wilayah mereka.

Kriminalisasi Awak Media

Kriminalisasi terjadi tidak hanya menyangkut persoalan agraria saja, Asep Komarudin LBH Pers mengatakan tiap tahun setidaknya tiga sampai empat kriminalisasi terhadap jurnalis terjadi. Kebebasan pers dan berekspresi semakin mengkhawatirkan. Menurut data World Press Freedom 2015 posisi Indonesi merah, ranking 138 dari 180 negara. Sepanjang tahun 2015 AJI Indonesia mencatat 43 kasus kekerasan dialami jurnalis tiga diantaranya kasus kriminalisasi.

Kasus kriminalisasi bukan lagi kepada medianya tetapi kepada narasumber, seseorang yang memberi keterangan kritis kepada media namun dituduh melakukan pencemaran nama baik. Dua orang anggota ICW dilaporkan melakukan pencemaran nama baik karena statemennya disejumlah media. Padahal Dewan Pers sudah merekomendasikan bahwa itu proses jurnalistik seharusnya mengikuti UU Pers yang sudah ada. Tapi pihak Bareskrim Mabes Polri tetap melanjutkan laporan tersebut.

Kasus narasumber lainnya menimpa Erwin dianggap menghina lembaga kepolisian karena pernyataannya di acara Lawyers Club. Pernyataan Erwin dalam acara talk show tersebut menyebut Bareskrim adalah mesin kriminalisasi. Kemudian dia dilaporkan dengan pasal 207 KUHP yaitu menghindar dari badan hukum – institusi kepolisian. Kasus lainnya terjadi di Pekanbaru bermula dia adalah korban pengeroyokan sejumlah anggota kepolisian karena mengambil gambar. Lalu dilaporkan balik bahwa dia yang menghina lembaga kepolisian akibat kata-katanya justru saat dipukuli itu. Kasus-kasus pencemaran nama baik lewat media online juga banyak menggunakan UU ETI padahal kritik yang disampaikan menyangkut pelayanan publik.

Asep menyoroti aktifitas pelarangan diskusi di lapangan.”Warga yang seharusnya dilindungi ketika menyampaikan ekspresinya, dihambat dengan alasan jika diskusi tetap dijalankan, polisi tidak bertanggung jawab kalau nanti dibubarkan oleh organisasi massa yang menentang diskusi tersebut. Polisi membuat diskresinya sendiri, bahwa diskusi tersebut tidak bisa dilaksanakan. Padahal tugas polisi seharusnya melindungi warga, malah menjadi aktor yang menghalang-halangi penyampaian kebebasan berekspresi yang sah,” papar Asep.

Hukum Acara

Ichsan Zikry dari LBH menyampaikan bahwa dua orang abdi hukum LBH Jakarta ditangkap ketika mendokumentasikan aksi menolak Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang pengupahan bersama 23 orang buruh pada (23/10/2015). Setidaknya 49 orang dikriminalisasi pada tahun 2015. “Semoga hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi saat Kapolri baru terpilih nanti,” kata Zikry . Dia menambahkan pelanggaran terhadap hukum acara kerap dilakukan, tanpa adanya pengawasan. Tidak adanya pemberitahuan penyidikan saat mulai melakukan penyidikan kepada penuntut umum disebut sebagai hukum acara.

Faktanya sepanjang 2012-2014 dari 600 ribu-an perkara yang diselidiki oleh kepolisian 250.000 diantaranya tidak diberitahukan ke penuntut umum. Seringkali sudah ada tersangka akhirnya mengambang, pada dasarnya hanya polisi yang tahu. Keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan kasus murni ada didiskresi polisi saja. Dari 250 ribu perkara tersebut 47.000 dikembalikan kepada penyidik.

Dalam kondisi seperti itu penyidik cenderung mendiamkan – tidak mengembalikan lagi kasus tersebut kepada penuntut umum – digantung oleh penyidik. Hal ini terjadi secara sistematis dalam skala nasional, bukan hanya karena oknum, tapi sistem yang membuka luas terjadinya kriminalisasi. “Ini catatan buat Kapolri siapapun terpilih nantinya harus bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus kriminalisasi,” pungkas Zikry. KontraS, KPA, KIARA, LBH Pers, AMAN, ICW, LBH Jakarta meminta Presiden membentuk team khusus menangani kriminalisasi. ****JLG

Kalau kita mengamati perdebatan publik yang juga tercermin dalam liputan media massa tanah air, sorotan utama pada hampir seluruh pembicaraan tentang “demokrasi kita” menguatnya pengaruh kapital (politik uang) dalam perebutan jabatan-jabatan politik dalam negeri, mulai dari pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur sampai tingkat presiden.

Situasi itu dengan gamblang bisa kita hubungkan bahwa telah terjadi kecenderungan liberalisasi politik, demokrasi semakin menjauh dari falsafah hidup kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” – Kondisi tersebut merupakan bagian dari perubahan besar dan mendasar yaitu pergeseran nilai hidup dalam Masyarakat Indonesia, dari yang sebelumnya bersifat kolektif (kebersamaan) menjadi semakin individualistik.

Kehidupan bersama sebenarnya sudah mengakar pada budaya politik lokal bangsa-bangsa (nations) hidup dan berkembang sebelum adanya Bangsa Indonesia dimana pengorganisasiannya diwadahi dalam Negara RI. Bangsa atau komunitas merupakan kumpulan individu yang secara turun-temurun hidup bersama dalam satu wilayah terbatas, memiliki tatanan kehidupan yang terbukti mampu menjamin keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.

Bangsa-bangsa dan komunitas-komunitas yang masih menjalankan sebagian atau seluruhnya dari sistem nilai dan ideologi tersebut ditopang oleh pranata sosial, budaya, ekonomi dan politiknya yang khas, kemudian kita kenal sebagai Masyarakat Adat. Masyarakat Adat adalah mereka yang secara tradisional dan turun-temurun sudah tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural, religius yang erat dengan lingkungan ekosistem lokalnya. Setiap komunitas masyarakat adat memiliki kekhasan sendiri, baik dalam sistem politik, sosial budaya dan sistem pengelolaan sumberdaya sendiri.

Sejatinya, hak asal usul Masyarakat Adat atas wilayah adat sampai mengatur kehidupan sendiri bersama komunitas (community-based self-governance) dijamin dalam konstitusi kita sebelum amandemen, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, sesudah amandemen menjadi Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3).  Mengacu pada pasal-pasal ini, Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional, telah lebih dahulu mengakui dan secara hukum melindungi hak-hak asal-usul, termasuk komunitas masyarakat adat.

Sayangnya, dalam realitas perjalanan kita sebagai bangsa merdeka menunjukkan hal  sebaliknya. Hak Masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri berdasarkan hak asal-usul itu secara sistematis dihilangkan oleh pemerintah (sebagai penyelenggara negara) dengan berbagai instrumen yang mengatas-namakan negara.

Pertama, dengan menerapkan (memaksakan) konsep tanah negara dan hutan negara sebagai interpretasi sepihak atas Pasal 33 UUD 1945, pemerintah mengambil-alih secara paksa wilayah-wilayah adat dan sumberdaya di dalamnya.

Ke dua, dengan menerapkan penyeragaman konsep desa secara membabi buta, pemerintah telah menghancurkan otonomi pemerintahan adat lokal (community-based self governance).

Ke tiga, dengan menerapkan konsep pembinaan teritorial TNI (dulu ABRI) sampai ke tingkat desa secara berlebihan. Pemerintah berhasil mengontrol dan mematikan inisiatif-inisiatif komunitas masyarakat adat dalam membangun dirinya sendiri.

Ke empat, dengan perubahan demokrasi Pancasila “permusyawaratan perwakilan” menjadi demokrasi liberal  yang dikendalikan oleh partai-partai politik bersifat oligarki. Masyarakat adat pada perjalanannya menjadi sangat minoritas dalam jumlah pemilih sehingga kehilangan kesempatan mengutus perwakilannya sebagai representasi politik dalam Negara RI.

Masyarakat adat, sebagaimana diekspresikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret tahun 1999 sangat yakin bahwa secara keseluruhan sistem politik dan hukum kita terkini sama sekali tidak berpihak, apalagi melindungi hak-hak adat. Ada yang sangat salah dengan negara ini sehingga harus ditata-ulang, khususnya dalam hubungan ‘Negara’ dengan masyarakat adat.  Perubahan radikal hanya bisa dilakukan jika kita mau merubah pandangan pertama-tama tentang masyarakat adat yang selama ini dikampanyekan penguasa “ilmu” dan modal global sebagai kumpulan orang terbelakang, terasing dan tuna-budaya.

Pada dasarnya masyarakat adat telah memiliki sistim demokrasi sendiri, lengkap dengan mekanisme pertahanan sendiri terhadap berbagai ancaman dan perusakan dari luar, juga pengaturan penggunaan sumber daya untuk menjaga kepentingan bersama atas sumber daya alam dalam jangka panjang. Mereka pun pada tingkat yang berbeda-beda telah berinteraksi dan beradaptasi dengan dunia luar. Hanya saja mekanisme adaptasi dan pertahanan diri itu terkacau-balaukan oleh gempuran sangat keras dan terus menerus disertai dengan pengurasan kekuatan masyarakat adat.

Celakanya, tindakan-tindakan tersebut difasilitasi, didorong bahkan dilakukan oleh birokrasi pemerintah bersama institusi pemerintah lainnya.  Gempuran yang sangat keras terhadap Masyarakat Adat adalah penghancuran sistim politik lokal yang dikenal dengan demokrasi deliberatif, pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah-mufakat.

Bagi Masyarakat Adat, keputusan paling mulia adalah keputusan yang diambil secara musyawarah dimana keputusan diambil berdasarkan akal paling sehat hasil melalui pergulatan pemikiran seluruh kalangan warga adat. Sementara keputusan yang paling rendah nilainya adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dimana keputusan diambil atas kepentingan pragmatis warga yang paling banyak. Kepentingan pragmatis warga yang paling banyak inilah yang kemudian menjadi persoalan demokrasi kita hari ini.

Kedaulatan rakyat dikerangkeng dalam nilai pragmatisme individual warga negara. Di masa lalu, pemerintah berusaha keras “mematikan” perangkat-perangkat demokrasi di komunitas Masyarakat Adat, sebaliknya di sisi yang lain pemerintah malah melegitimasi kekuasaan-kekuasaan di luar Masyarakat Adat untuk masuk dan menguasai Masyarakat Adat dengan membuat atau membiarkan hidup lembaga-lembaga adat buatan pemerintah atau lembaga-lembaga adat yang merepresentasikan kekuasaan-kekuasaan feodal lama di tengah-tengah Masyarakat Adat  (Kekuasaan lama pada zaman kejayaannya juga pernah menindas Masyarakat Adat)

Negara harus berubah – kalau ingin bangsa ini selamat dan masih dalam persatuan yang berdaulat. Pada saat kita menyongsong liberalisasi perdagangan dan investasi global, ini sangat penting. Negara harus memulihkan hak-hak adat dan menegakkan otonomi lembaga-lembaga adat sehingga mereka mampu mempertahankan diri dan jika dibutuhkan mampu melakukan ‘perlawanan’ terhadap berbagai pelanggaran hak politik, sosial, ekonomi dan budaya mereka.

Intervensi negara terhadap sistem politik Masyarakat Adat harus dikurangi seminimal mungkin sehingga kekuatan adat yang masih dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia bisa difungsikan untuk menata kembali struktur dasar ‘negara-bangsa’ Indonesia. Negara harus menjamin kepastian hukum atas hak-hak adat sebagai prasyarat bagi pembangunan bangsa yang mengandalkan kekuatan masyarakatnya, termasuk kekuatan untuk menentukan pilihan pembangunan terbaik bagi dirinya sendiri sesuai kemampuan dan cita-cita mereka tentang masa depan yang lebih baik.

Agenda ke depan. Gerakan masyarakat adat menuju otonomi asli (kedaulatan rakyat) sebagai bagian dari gerakan sosial harus memastikan bahwa sistem politik kita menganut demokrasi partisipatif (participatory democracy) yang menjamin keterlibatan langsung warga Masyarakat Adat dalam seluruh proses pembuatan kebijakan dan hukum yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kehidupannya.

Jalan ke arah ini masih mungkin diupayakan, termasuk dengan memanfaatkan “ruang politik terbatas” yang tertuang dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR RI semata-mata untuk menjadi pijakan awal melakukan perubahan tatanan politik yang lebih mendasar.

Sistem politik baru (masih berupa cita-cita) harus mengakomodasi keragaman sistem-sistem politik yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk membebaskannya dari intervensi luar secara berlebihan (biasanya birokrasi dan DPP/DPW parpol). Diperlukan perubahan mendasar terhadap sistem PEMILU agar memungkinkan keikut-sertaan partai politik lokal dan calon independen dari Masyarakat Adat (tanpa partai politik) bersaing memperebutkan posisi di DPR, DPRD (kabupaten dan provinsi). Untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan di samping presiden, bupati dan gubernur juga harus dipilih secara langsung oleh rakyat yang hidup di wilayah pemilihan itu.

Untuk tingkat nasional atau pusat, perlu mempertimbangkan kembalinya utusan khusus bagi golongan-golongan yang tidak memungkinkan mereka memasuki arena politik demokrasi liberal ini. Juga perlu dipikirkan agar utusan-utusan golongan tersebut memiliki hak politik kolektif yang kuat dalam menentukan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang beragam baik suku maupun agamanya.

Dengan keyakinan bahwa perubahan mendasar hanya akan terjadi kalau dimulai dari “desa/kampung” maka posisi dan peran masyarakat adat – penduduk pedesaan lainnya menjadi sangat penting, antara lain dengan terus-menerus membangun otonomi asli yang berakar pada budaya politik lokal dan kearifan adat. Menerapkan demokrasi partisipatif dalam pengambilan keputusan bersamaa di tingkat komunitas. Menumbuh-suburkan keberanian politik pemimpin-pemimpin lokal “merebut” hak politik komunitas adatnya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan bersama di kalangan Masyarakat Adat yang terkait dengan “posisi Masyarakat Adat terhadap negara, modal dan nilai-nilai baru”. Dari kepemimpinan politik tingkat komunitas inilah Masyarakat Adat kemudian memperkuat dirinya memimpin perubahan pada tingkat yang lebih luas tingkat kabupaten, baru kemudian memasuki arena advokasi di tingkat provinsi, nasional dan internasinal.

Indonesia sebagai negara-bangsa, bangunan utamanya adalah komunitas-komunitas Masyarakat Adat, perlu secara pro aktif mendorong dan mengambil kepemimpinan dalam perumusan instrumen-instrumen hukum internasional yang melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Kenapa kita tidak memulai proses pemulihan martabat dan harkat bangsa ini dengan menempatkan keragaman adat kita sebagai warisan yang luhur, sebagai sumber ikatan kebersamaan kita sebagai bangsa? Bhinneka Tunggal Ika! ****Abdon Nababan****

RUU Pertanahan masuk daftar Prolegnas 2016 dan diproyeksikan untuk  melengkapi UU Pokok Agraria. Bagi masyarakat adat Bab Hak Ulayat/ Wilayah Adat dalam RUU Pertanahan tersebut sangatlah krusial, sebab mengatur tentang hak ulayat di dalam RUU tersebut tidak mudah. Hak ulayat/ wilayah adat merupakan suatu kenyataan yang kompleks menyangkut istilah – menggambarkan secara keseluruhan suatu sistem pengaturan di dalam suatu masyarakat adat.

Pembahasan tentang hak ulayat untuk diatur di dalam RUU Pertanahan diperhadapkan pada keterbatasan ruang lingkup RUU Pertanahan itu sendiri yang mempunyai ruang lingkup pengaturan hanya pada aspek “tanah”. Ketika konsep hak ulayat dijabarkan di dalam RUU Pertanahan sebagai “Sistem Pengaturan Atas Tanah” dalam wilayah adat akan memiliki pengertian yang berbeda-beda, baik itu menyangkut subyek hukum, penamaan, maupun pengaturannya.

Menurut Abdon Nababan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hak ulayat sebagai konsep asli orang Minangkabau tak boleh dibawa ke tempat lain. Kalau konsep itu digunakan di Papua, orang Papua tak punya hak ulayat. Di Bali namanya juga berbeda, di Banten juga berbentuk wewengkon. Jika menggunakan konsep hak ulayat yang sifatnya teritorial, sementara di  Papua sendiri tak masuk kategori hak ulayat sebab di sana bersifat geneologis (hubungan darah).

Di Tanah Batak merupakan konfederasi marga (huta). Tapi yang memiliki kewenangan yang jelas atas tanah adalah huta atau kampung. Tapi dalam kampung ada marga (keluarga) yang juga memiliki aturan sendiri terhadap tanah. Meski isunya adalah tanah ulayat, tapi tampaknya hak ulayat adalah konsep yang abstrak kaitannya dengan kewenangan suatu masyarakat dan jangkauan berlakunya hukum adat. Sementara konsep lebensraum (ruang hidup) Masyarakat Adat sudah jelas. Wilayah adat adalah objek tanah, air, udara dari hak ulayat. Tapi dalam wilayah adat ada hak suku, marga dan lainnya yang perlu diatur.

Bagaimana RUU Pertanahan menyerap, mendefinisikan ulang atau memperbarui hak ulayat. Jika mungkin memperkenalkan wilayah adat sebagai pengganti hak ulayat agar bisa hidup di semua tempat dan relevan untuk seluruh wilayah. Persoalannya bagaimana menggali dan menemukan konsep-konsep yang serupa atau mirip dengan hak ulayat di berbagai tempat dengan konsep-konsep yang beragam tersebut bisa diekstraksi dan diformulasikan menjadi norma hukum.

Hal lain yang disoroti Abdon Nababan adalah peminjaman tanah di wilayah adat untuk kepentingan umum oleh pemerintah. Poin peminjaman harus ada di RUU Pertanahan  karena menimbulkan ketidakpastian terhadap fasilitas umum. Mereka hanya dapat hak pakai dari lembaga adat dan bukan pelepasan. Lembaga adat hanya memberi hak guna dan hak pakai.

Juga terkait perangkat hukum adat sebagai subjek dan objek dari tanah adat. Secara sosiologis soal bentuk pemindahan hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha. Banyak hal yang harus digali menyangkut persoalan sosial maupun analisis dampak sosial.

Bagaimana masyarakat di dalam wilayah adat mengelola harta kekayaan (internal), bagaimana hubungannya dengan kelompok masyarakat atau individu di luar dirinya, bagaimana kerjasamanya dengan perusahaan, dan bagimana sikap terhadap program pemerintah (bukan perusahaan), semua itu perlu diatur.

Direktur Advokasi PB AMAN Erasmus Cahyadi mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini belum bersinggungan dengan kewenangan mengatur obyek wilayah adat dan ruang berlakunya hukum kewenangan masyarakat adat. Padahal sangat berhubungan dengan ruang hidup, seberapa jauh jangkauan berlakunya hukum adat dan seberapa jauh kewenangan lembaga adat itu mengatur teritorialnya.****JLG

[dm]76[/dm]

[dm]77[/dm]

[dm]78[/dm]

[dm]79[/dm]

 

[dm]106[/dm]

[dm]103[/dm]

[dm]94[/dm]

[dm]93[/dm]

[dm]92[/dm]

[dm]91[/dm]

[dm]90[/dm]

[dm]109[/dm]
[dm]110[/dm]
[dm]111[/dm]