Sampingan

Weda- Curah hujan dalam beberapa hari ini yang semakin tinggi, mengakibatkan terjadi banjir di Desa Woekob, Kulo Jaya, Woejerana dan Dusun Lukulamo Kobe Trans dan dusun Lukulamo, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah. Banjir tersebut terjadi sejak Kamis (21/07/2016.

Berikut kronologis awal dari kejadin.

Kamis, pukul 04.35 (dini hari) – pukul 10.00 WIT (pagi hari), hujan deras mengguyur wilayah Trans Kobe, Kec. Weda Tengah dan sekitarnya. Curah hujan setiap saat semakin besar.

Pukul 12.45 WIT, tanggul Sungai Saloi (anak sungai Kobe) jebol, sehingga air sungai meluap ke pemukiman warga. Hujan masih terus turun.

Pukul 13.30 WIT, warga Desa Woejarana yang tinggal di dusun 1 dan 2 mulai terkena banjir yang secara tiba-tiba datang dari arah timur karena jebolnya tanggul.

Pukul 14.00 WIT, Warga dusun 1 desa Woejerana mulai mengungsi ke Mesjid di desa tersebut sebagai alternatif. Keadaan makin panik pada saat dusun 2, Desa Woekop, Kulo Jaya dan Dusun Lokulamo juga ikut banjir. Warga pun sebagian mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, sebagian memilih bertahan dirumah menjaga barang-barang mereka. Banjir di lokasi-lokasi ini dikarenakan hujan deras menyebabkan volume air di sungai Akejira (Induk Sungai Kobe) terus meningkat dan meluap. Ketinggian banjir tersebut diperkirakan mencapai 2 meter, sehingga semua perumahan warga ikut terendam.

Pukul 23.00 WIT, banjir mulai surut. Warga yang mengungsi sudah mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Warga tetap waspada dengan banjir susulan jika hujan masih terus turun.

Menurut keterangan warga di lokasi, banjir ini hampir sama dengan kasus banjir di tahun 2009 dan 2012. Namun ketinggian airnya tidak sampai 2 meter.

Dari bencana banjir tersebut sampai saat ini belum ada indikasi korban jiwa. Warga mengalami kerugian dalam jumlah yang sangat besar karena harta benda termasuk kebun dan sawah ikut kena banjir. Satu hari setelah banjir terjadi, belum ada respon Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Uluran tangan masyarakat dan pemerintah Halmahera Tengah sangat dibutuhkan seperti bantuan bahan makanan/sembako, obat-obatan, dll.

Laporan ditulis : Iksan Sahabudin (+62 812-4207-8286)
Editor : Supriyadi Sudirman
sumber berita:http://malut.aman.or.id/2016/07/23/hujan-deras-beberapa-jam-sejumlah-desa-di-halteng-terkena-banjir/

Pada tanggal 20-21Juli 2016, telah dilakukan suatu rangkaian proses Musyawarah Wilayah (Muswil) KeduaAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Riau, yang dimulai dengan Dialog Kebijakan “Menjemput Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau Dengan Mendedah Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2015 tentang Tanah ulayat dan Pemanfaatannya Sebagai Pemajuan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Propinsi Riau” bersama Kepala Badan Restorasi Gambut, Gubernur Riau yang diwakili Staf Ahli Bidang Pembangunan, Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau, Deputi Direktur WALHI Riau, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Akademisi Bidang Hukum Univ. Islam Riau.

Musyawarah ini dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili oleh Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dan dihadiri olehutusan-utusan komunitas adat anggota AMAN dari seluruh Riau, Sekjen AMAN, Deputi I Sekjen AMAN, Direktur OKK Pengurus Besar (PB) AMAN, Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) AMAN Riau, seluruh Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL)AMAN Riaudan Pengurus Daerah (PD) AMAN di Propinsi Riau serta peninjau dari berbagai mitra AMAN di Riau.

Kami, Masyarakat Adat di Riau, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, terutama terkait tanah dan sumber daya alam di wilayah adat kami, serta kehidupan beragama dan berkeyakinan yang masih kami anut dari leluhur kami.

Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat kamimasih terus menghadapi tantangan sangat berat, karena wilayah-wilayah adat kamiditunjuk dan/atau ditetapkan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Hutan, yang kemudian diserahkan kepada pihak-pihak lain melalui sistem perijinan yang oleh pemerintah daerah diberikan dalam bentuk izin lokasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, serta, oleh pemerintah pusat,dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH).

Kami dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan panganserta kerusakan hutan di wilayah adat kami.Kami juga menemukan bahwa sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki ijin atau memiliki ijin tetapi ijin tersebut diperoleh dengan cara memanipulasi dan menipu warga masyarakat adat pemilik lahan. Bahkan di banyak tempat, kehadiran Taman Nasional dan Suaka Margasatwa di wilayah adat kami telah menjadikan kami kehilangan hak dan akses terhadap tanah leluhur kami. Setelah ditetapkannya”kawasan hutan” di wilayah adat kami, kami justru menjadi ”orang asing di tanah sendiri”.

Kami,khususnya Masyarakat adat Suku Talang Mamak dan Suku Akit, yang teguh mempertahankan dan menganut sistem kepercayaan (agama) dari leluhur kami masih mengalami diskriminasi dan penyingkiran sistematis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sampai hari ini kami belum mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana layaknya Warga Negara Indonesia. Tidak adanya pelayanan administrasi kependudukan dan akses catatan sipil ini telah menjadi pemicu berbagai pelanggaran HAM kami dalam mengakses layanan dasar pendidikan dan kesehatan.

Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam upaya memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau.Oleh sebab itu, kami, seluruh peserta Musyawarah Wilayah (MUSWIL) Ke-IIAMANRiau, merekomendasikan sebagai berikut:

1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
2. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut atau melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar sesuai dengan Putusan MK 45 dan Putusan MK 35.
3. Mendesak kepada Pemerintah dan DPRD Provinsi Riau, seluruh Pemerintah dan DPRD Kabupaten untuk segera membuat PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU No. 6/2014 tentang Desa.
4. Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau agar segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
5. Mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan prosedur dan mekanisme bagi masyarakat adat untuk pendaftaran wilayah dan tanah adat sebagai dasar bagi penyelesaian tumpang-tindih hak dan konflik kepemilikan yang terjadi selama ini.
6. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar mendukung bantuan teknis dan memfasilitasi pendanaan pemetaan partisipatif wilayah adat.
7. Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan skema dan praktek pengembangan inti-plasma dalam usaha perkebunan kelapa sawit yang pada kenyataannya justru menjadi cara efektif dari pihak perusahaan untuk mengambil alih tanah-tanah adat dengan harga yang murah dan bahkan gratis karena hanya dibayar dengan beban kredit bagi petani yang justru pengembaliannya juga dibebankan kepada masyarakat adat pemilik tanah.
8. Mendesak agar pemerintah segera membuat dan menyediakan mekanisme resolusi konflik. Dalam proses resolusi konflik tersebut, kami mendesak pemerintah pusat hingga pemerintah desa untuk menghentikan upaya-upaya pemindahan hak atas wilayah adat melalui jual beli tanah adat.
9. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus pengeluaran izin lokasi, izin usaha dan HGU perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang masuk ke wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat dan dalam prosesnya terindikasi ada praktek korupsi dan manipulasi.
10. Mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan terkait dengan keberadaan perusahan-perusahaan, baik perkebunan sawit, pertambangan maupun Hutan Tanaman Industri di wilayah adat. Audit ini mendesak untuk dilakukan mengingat parahnya kerusakan lingkungan dan terjadinya kekeringan sumber-sumber mata air yang menjadi hajat hidup Masyarakat Adat di Propinsi Riau.
11. Meninjau ulang dan melakukan revisi terhadap Perda No. 10 Tahun 2015 agar sesuai dengan Putusan MK 35 dan UU Desa. Kami selanjutnya mendesak agar Gubernur segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang implementasi dari Perda yang telah direvisi tersebut.
12. Memastikan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, khususnya bagi warga suku talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu dan warga Suku Akit Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti yang masih menganut kepercayaan leluhur.
13. Mendesak pemerintah untuk mengidentifikasi Masyarakat Adat yang berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi, yang keberadaannya masih terisolasi, khususnya yang berada di Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
14. Mendesak pemerintah untuk segera melakukan restorasi hutan mangrove/bakau di wilayah adat Suku Akit di Kabupaten Bengkalis.
Selanjutnya, kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.

Sehubungan dengan itu, kami mendesak pemerintah, untuk menghentikan operasi dan mencabut ijin dari perusahaan-perusahaan berikut ini :
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu: 1) PT. Runggu Prima Jaya, 2) PT. Selantai Agro Lestari, 3) PT. INECDA Plantation, 4) PT. Perkebunan Nusantara V, 5) PT. Seko Indah, 6) PT. Sinar Mas, 7) PT. MEGA, 8) PT. ARVENA Sepakat, 9) PT. Sinar Widita Pamarta, 10) PT. Bukit Betabuh Sungai Indah, 11). PT. Pertamina, 12) PT. Kharisma, 13) PT. Rigunas,
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Kuntu dan Padang Sawah di Kabupaten Kampar, yakni : 1) PT. Kebun Pantai Raja; 2) PT. RAPP, 3) PT. Perawang Sukses Perkasa Industri.
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Lenggadai Hilir di Kabupaten Rokan hilir, yakni : 1) PT. Sindora Seraya Group, 2) PT. Diamond Raya Timber
 Perusahaan di wilayah adat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, yakni PT. Arara Abadidan;
 Perusahaan di wilayah adat Suku Akit di Kecamatan Bantan, yakni PT. Rokan Riang Lestari.

Kami juga menolak Peraturan Presiden tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Hutan Lindung Bukit Betabuh, Hutan Lindung Mahato, jika tidak mengakomodir wilayah adat.

Sebagai penutup dari Resolusi dan Rekomendasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat di seluruh pelosok Riau.

Kami, Masyarakat Adat peserta MUSWIL II AMAN Riau bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Pekanbaru, 21 juli 2016

UNRIP_new_ChairCongratulations to the election of Albert Barume as the Chair of UN Expert Mechanisms on the Rights of Indigenous Peoples. As Chief Willy Littlechild described: he has the capacity and experience on works related to indigenous peoples.
Yep. member of the Working Group on IPs under the African Commission on Human Rights, Former Head of ILO pro169 where he led the establishment of the UN Partnership on Indigenous Peoples/UNIP, an author and many more… Congrats again

Selamat atas terpilihnya Dr. Albert Barume sebagai Ketua EMRIP. Beliau memiliki keahlian dan pengalaman luas terkait Masyarakat Adat. Albert adalah salah satu anggota kelompok kerja Komisi HAM Afrika untuk Masyarakat Adat, Mantan Direktur ILO pro169 dimana beliau memimpin pembentukan Kemitraan PBB utk Masyarakat Adat/UNIP, penulis dan banyak lagi. Selamat

http://www.ohchr.org/EN/Issues/IPeoples/EMRIP/Pages/EMRIPIndex.aspx

Pekanbaru 19/7/2016 – Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Riau bekerjasama dengan PPMAN pada tanggal 17 -19 Juli 2016 mengadakan Pelatihan Paralegal bertempat di Hotel Zaira Pekanbaru, Riau. Acara ini dibuka oleh Efrianto selaku ketua BPH AMAN RIAU. Pelatihan ini diikuti oleh 15 orang peserta berasal dari perwakilan pengurus Daerah Aman Riau dan Komunitas Adat Indragiri Hulu (Talang Mamak), Perwakilan dari Bangkinang /Kampar, perwakilan dari Suku Sakai dan perwakilan Komunitas Adat Kabupaten Bengkalis.

Tommy Indriyadi Agustian utusan PB AMAN dan Pengurus PPMAN sebagai salah satu fasilitator kegiatan ini mengatakan, “istilah paralegal ini dapat diartikan sebagai orang yang bukan memiliki latar belakang pendidikan hukum maupun hukum adat, tetapi mereka diberikan pengetahuan secara teknis dan praktis bagaimana menghadapi kasus-kasus hukum yang sering terjadi maupun yang dialami oleh masyarakat adat”

Lebih jauh Tommy mengatakan bahwa hukum dan keadilan masih menjauhi rakyat terutama kelompok rentan dalam hal ini masyarakat adat, begitupun dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah terasa begitu elitis sehingga menutup acces to justice (akses keadilan) bagi masyarakat adat.

Dalam memperjuangkan hak-haknya tersebut sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, negara menilai sebagai tindakan anarkis, subversif, mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban umum, atau malah melanggar hukum dimana pada akhirnya berujung pada tuduhan perbuatan yang tidak menyenangkan, perbuatan melawan hukum, pencemaran nama baik, krimilisasi dan lain sebagainya.

Ada banyak kasus yang ditengah dihadapi masyarakat yang adat yang ada di Provinsi Riau , oleh karenanya kegiatan ini bertujuan membekali peserta dengan pengetahuan dasar hukum dan hak asasi manusia yang dapat melindungi haknya dalam melakukan perjuangan, sehingga mampu membuat solusi dan/atau strategi dalam penyelesaian kasus-kasus yang berhadapan dengan hukum. Memberikan keterampilan dalam melakukan advokasi yang berkaitan dengan penerapan norma-norma hokum. Membentuk networking (jaringan) antar paralegal lintas sektor dan membentuk posko-posko Bantuan Hukum, sehingga dapat menjadi ”unit reaksi cepat” atau menjadi pertolongan pertama pada kasus dan/atau kejadian yang mereka hadapi.

Harapannya masyarakat adat mampu memperjuangkan apa yang memang menjadi haknya, sehingga pemerintah serius menyejahterakan rakyat.

Sedangkan Target dari pelatihan ini adalah “Terbentuknya Paralegal di Pengurus Daerah Aman di wilayah Provinsi Riau dan Komunitas Adat yang siap memperjuangkan hak – hak masyarakat adat dan melakukan Advokasi bagi Komunitasnya” Fasilitator dalam kegiatan ini difasilitasi dari Tim PPMAN.

Pada kegiatan ini peserta banyak sekali dibekali pengetahuan terkait bantuan hukum, advokasi dan paralegal, pengantar hukum acara dan pidana, hukum acara perdata, materi mediasi bahkan mempraktekkan bagaimana cara sharing dengan pihak perusahaan dan pada sesi hari terakhir ada materi terkait dokumentasi terhadap kasus dan materi tekhnis perorganisasian.

Adapun materi dan fasilitator dalam pelatihan ini antara lain : Suryadi, SH Direktur LBH Pers Pekanbaru, PPMAN Wilayah Sumatera yang menjabarkan tentang “Bantuan Hukum, Advokasi dan paralegal. Tommy, SH dari PB AMAN menyampaikan materi tentang “Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata” Romesh Irawan Putra Mediator IMN akan berbicara tentang Teknik Negosiasi dan Mediasi Konflik. Monica Kristiani membahas dokumen kasus, Jhony Setiawan Mundung mantan Eksekutif Daerah Walhi Riau periode tahun 2005-2009 (Tokoh Majalah Tempo Tahun 2007) akan berbicara tentang “Teknik Pengorganisasian Masyarakat” *** Umi Khoiriya

Jakarta 28/6/2016 – Akibat pengakuan setengah hati pemerintah Masyarakat Adat di seluruh wilayah Indonesia masih selalu jadi korban. Sebagai buktinya terjadi peristiwa intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap tokoh adat Muara Tae (Dayak Benuaq) Petrus Asuy dan keluarganya pada (27/6/2016). Padahal komunitas yang berada di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur ini sedang berjuang meraih hak-hak adat mereka untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah.

Perjuangan mereka sendiri sebenarnya sudah diakomodir Inkuiri Nasional Komnas HAM (1-3/10/2014). Inkuiri Nasional melakukan penyelidikan pelanggaran HAM tentang masyarakat adat di kawasan hutan, melakukan analisa penyebab utama terjadinya pola pelanggaran HAM di wilayah. Inkuiri juga menyampaikan informasi kepada pemerintah, melakukan penyadaran kepada publik.

Inkuri berlangsung pada Mei s/d September 2014 melakukan Verifikasi data dalam stake holders meeting & pertemuan dengan tim lokal Pelaksanaan publik hearing di wilayah Sumut, Banten, Bali Nusa NTB, Sulteng, Kalbar, Maluku Papua dan tingkat nasional. Melibatkan saksi yang diadukan, saksi ahli dari akademisi, pemuka masyarakat dan pendamping korban.

Komunitas Adat Muara Tae juga menerima anugerah Equator Prize (21/9/2015) atas perjuangannya melindungi, mempertahankan dan memulihkan wilayah adat. Tanah adat yang semula mereka warisi seluas 11.000 hektar saat ini tinggal 4000 hektar.

Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.

Peta wilayah adat Muara Tae sudah melalui proses empat tahap yakni kepada BIG dan UKP4 tanggal14 November 2012, lalu kepada BP REDD, 22 Desember 2014, penyerahan peta yang ke tiga ke Kementerian Lingkungan Hidup atau LH (Waktu itu belum berubah jadi KLHK). Lalu yang ke empat kepada KLHK, Agustus lalu. Peta Muara Tae masuk dalam status tematik atau setara dengan peta manapun yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/ PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Dengan demikian setiap penggunaan dan pemanfaatan wilayah adat harus melalui persetujuan masyarakat adat pewaris dan pemilik sah tanah tersebut. Namun semua itu bagi aparat pemerintah ternyata belum cukup untuk memberi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Muara Tae.

Pada tanggal 24/6/2016 Petrus Asuy menerima surat dari Kapolsek Jempang, Ajun Komisaris Polisi Toni Joko Purnomo, meminta hadir dalam mediasi terkait klaim lahan perkebunan PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ) di Mako Polsek Jempang. Dalam surat tersebut, mediasi dilakukan atas permintaan dari PT. BSMJ.

Petrus Asuy menolak halus mediasi tersebut, karena proses mediasi yang tidak benar dan kasus ini sedang diproses oleh Nasional Komnas HAM.

Ketidakhadiran Petrus Asuy membuat marah mantan pemuka adat Muara Tae bernama Songkeng dan anaknya Andik. Keduanya mengancam akan menghabisi Petrus Asuy dan keluarganya sebab tanpa tanda tangan Petrus Asuy perusahaan tidak akan membayar luasan tanah klaim sebagai milik Songkeng dan kawan-kawannya.

Pengakuan terhadap masyarakat adat harus melalui Peraturan Daerah (Perda) yang mengidentifikasi dan mengatur tata kelola wilayah adat setempat. Padahal hampir semua pemerintah daerah mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan potensi di daerahnya masing-masing seperti apa yang dialami oleh masyarakat adat Muara Tae ini. Mulai dari tata batas wilayah Muara Tae-Muara Ponaq, pengangkatan Kepala Desa Muara Tae semuanya diintervensi oleh bupati.

Hal itu berdampak negatif bagi masyarakat sehingga mengalami konflik internal horizontal. Banyak pihak mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya hingga tega menjual tanah masyarakat adat. Sementara tanah adat jelas milik bersama tidak bisa diperjual-belikan oleh siapapun. Dalam masyarakat adat ada aturan(hukum adat) tidak diperbolehkan memperjual belikan tanah adat. Hanya bisa dipinjamkan untuk dikelola, hal itupun diputuskan melalui musyawarah adat.

Kejadian di atas membuktikan bahwa pemerintah belum punya solusi menegakkan hak-hak rakyatnya. Perlu adanya perbaikan sistem di NKRI untuk memulihkan moral masyarakat. Semakin banyak masyarakat tertindas di negeri ini, akan semakin memudarkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

“Dalam catatan Inkuiri Komnas HAM, berbagai cara yang dilakukan perusahaan antara lain menciptakan konflik, memelihara konflik dan terus menerus mendapat keuntungan dari konflik. Ini merupakan kesalahan fatal. Perlu perhatian khusus pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyatnya.” Ujar Rukka Sombolinggi, Deputi II Sekjend AMAN ***Paulus Ade Sukma Yadi

Selasa, 28 Juni 2016. Masuknya perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) di Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur telah menyebabkan terjadinya intimidasi dan ancaman pembunuhan bagi masyarakat adat Muara Tae yang memilih untuk tidak melepaskan lahannya.
Kejadian terbaru ini dipicu oleh surat panggilan dari Kepala Kepolisian Sektor Jempang pada 22 Juni 2016 kepada Petrus Asuy (tokoh masyarakat adat Muara Tae) untuk menghadiri pertemuan mediasi atas permintaan PT. BSMJ terkait klaim lahan masyarakat adat di Kampung Muara Tae. Petrus Asuy diminta menandatangani dokumen verifikasi lahan yang dilakukan oleh pengurus kampung dan PT. BSMJ.
Melalui surat balasan atas pemanggilan Kapolsek (23/6), Petrus Asuy menegaskan bahwa dirinya tidak akan menghadiri pertemuan mediasi ini karena Kapolsek tidak seharusnya melakukan mediasi yang bukan merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak, dan ditengarai bahwa dokumen verifikasi kepemilikan lahan tersebut tidak valid. Petrus Asuy juga menambahkan bahwa permasalahan ini sudah diproses di tingkat nasional melalui Komnas HAM dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Masrani, tokoh masyarakat Muara Tae lainnya menyatakan, “Disebabkan oleh penolakan ini, kami mendapat intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kelompok pendukung perusahaan. Kami membutuhkan perlindungan hukum.”
Konflik agraria di Kampung Muara Tae telah terjadi sejak 1971, bahkan hingga saat ini bertambah banyak dan tidak satu pun diselesaikan. Sejak 1971, Kampung Muara Tae dengan luasan 12.000 hektar telah disekat-sekat oleh enam perusahaan. Kehadiran sejumlah perusahaan ini memicu konflik agraria berkepanjangan akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan yang tambang silih berganti menguasai lahan dari Suku Dayak Benuaq ini.
Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak, Zainuri Hasyim, mengecam tindakan intimidasi dan ancaman pembunuhan ini. “Permasalahan yang terjadi di Muara Tae merupakan dampak dari gagalnya Pemerintah melakukan pembenahan dalam bidang agraria yang kuat keterkaitannya dengan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan di tingkat tapak, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan atas lahan masyarakat,” ujarnya.
Abdon Nababan selaku Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan, “Inkuiri Nasional Komnas HAM RI telah menemukan beragam pelanggaran HAM kolektif maupun individual yang dialami masyarakat adat Kampung Muara Tae. Komnas HAM pun sudah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi puluhan tahun ini.”
Pihak perusahaan PT. BSMJ menggunakan aparat keamanan menjadi mediator sengketa klaim di antara sesama warga masyarakat adat tanpa persiapan awal yang layak untuk proses mediasi yang adil dan berimbang, yang kemudian menimbulkan permusuhan yang berujung pada ancaman pembunuhan.
“Pemerintah harus menghentikan  pelanggaran HAM ini, termasuk upaya-upaya mengalihkan perampasan tanah adat Kampung Muara Tae oleh PT. BSMJ menjadi sengketa lahan antara warga masyarakat adat. AMAN mendesak KAPOLRI mengusut ancaman pembunuhan kepada Petrus Asuy dan keluarganya, serta memastikan persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Adat Muara Tae bisa terselesaikan dengan damai tanpa kekerasan”, demikian sambung Abdon Nababan.

Masyarakat adat Muara Tae terus berjuang dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan wilayah adatnya, termasuk berkali-kali menghadang buldozer perusahaan yang dikawal oleh aparat negara. Dalam perjuangan panjang perlawanan tersebut, masyarakat Muara Tae mengalami berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Berbagai upaya advokasi juga dilakukan melalui laporan kepada Pemerintah daerah, Komnas HAM, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan surat langsung kepada Menteri Desa.
“Sudah saatnya Presiden Joko Widodo turun tangan untuk menuntaskan permasalahan yang telah berlangsung sejak 45 tahun lalu,” tegas Zainuri Hasyim. “Penyelesaian masalah di Muara Tae akan menuntaskan penderitaan masyarakat, sekaligus akan menjadi preseden bagi penyelesaian konflik yang menimpa masyarakat adat di tempat lainnya,” ujarnya.

Kontak untuk informasi lanjutan:
Masrani – tokoh Masyarakat Adat Muara Tae; 0822.5527.4194; petinggimuaratae@gmail.com
Abdon Nababan – Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); 0811.11.1365 abdon.nababan@aman.or.id
Zainuri Hasyim – Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak; 0811.75.4409; zainurihasyim@gmail.com

download Press Rilis

Catatan bagi editor:
Upaya penolakan masyarakat Muara Tae yang gigih dan berkepanjangan mendapatkan perhatian dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam bentuk penghargaan Equator Prize pada September 2015 lalu. Selengkapnya lihat http://www.equatorinitiative.org/index.php?option=com_content&view=article&id=924&Itemid=1173&lang=en#komunitas-adat-muara-tae-indonesia
Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.
Inkuiri Nasional adalah upaya Komnas HAM memberikan kontribusi pada upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.  Inkuiri nasional menerapkan fungsi pemantauan untuk menyelidiki (investigasi) kasus, fungsi penelitian dan pengkajian untuk menganalisis akar masalah dan merumuskan rekomendasi pemulihan pelanggaran HAM.
Tema hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) atas wilayah adat dipilih karena persoalan ini memiliki dimensi HAM yang kuat. Lebih lengkap bisa ditelusuri di http://www.komnasham.go.id/kabar-latuharhary/komnas-ham-luncurkan-4-empat-buku-inkuiri-nasional dan https://drive.google.com/file/d/0B9oSBEtjy7UPN2w3cXRMR2t4RDQ/view?usp=drivesdk halaman 198-215
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara.
Perkumpulan Kaoem Telapak, organisasi transformasi dari Perkumpulan Telapak, sebagai wadah untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kemartabatan konstituennya, yaitu kaum petani, nelayan, dan masyarakat adat di Indonesia. Perkumpulan ini bercita-cita untuk mewujudkan keadilan antar unsur alam dan antar generasi dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di Indonesia.

Jakarta 23/6/2016 – Proses pengesahan Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat berjalan lambat, sementara masyarakat adat di seluruh Indonesia sudah tak sabar menanti presiden menandatangani pembentukan Satgas Masyarakat Adat, sebagai upaya melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Pembentukan Satgas Masyarakat Adat diharapkan dapat menjembatani rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara.

Pada akhir Juli 2015 draft Satgas telah diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) Siti Nurbaya. Tembusan ke Kemen Seskab juga sudah diterima namun ternyata harus melewati proses panjang untuk bisa ditandatangi presiden .

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengingatkan gagasan membentuk Satgas Masyarakat Adat sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan SBY. “Waktu itu AMAN mengambil topik perubahan iklim dan REDD+ karena melihat isunya dalam agenda global. Berdasar analisa kami, isu tersebut bisa mengangkat persoalan Masyarakat Adat secara positif dan mendapat perhatian,” papar Abdon.

“Paska Putusan MK No 35, kami banyak berinteraksi dengan UKP4 yang ditugaskan presiden untuk mengurus masalah perubahan iklim. Sejak itu Satgas Masyarakat Adat sudah dibicarakan, bahkan dalam rapat dimana saya ikut jadi narasumber berkaitan dengan Deklarasi 9 Program Nasional soal PPHMA berlangsung di kantor Wapres Budiono waktu itu” lanjut Abdon

“Membahas situasi Masyarakat Adat dengan KLH-K saat ini seperti kura-kura sembunyikan kepalanya menutup diri, seolah semua urusan di lembaga tersebut sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi”

“Saya mau menggarisbawahi bahwa diskusi mengenai Satgas sudah panjang, bukan baru dimulai. Hampir seluruh rapat-rapat menyimpulkan perlu ada unit khusus di bawah presiden yang bisa melakukan terobosan cangkang ego sektoral. Unit khusus ini sangat perlu hadir, karena berhadapan dengan sektor yang bekerja seperti negara dalam negara”

Urusan masyarakat adat seperti berhadapan dengan puluhan negara. Oleh karena situasi seperti itulah lembaga untuk mengurus masyarakat adat harus permanen dan independen, agar bisa keluar dari kerangkeng cangkang sektoral. Sangat ideal, tapi bagaimana menempatkannya dalam tata negara belum ketemu. Intinya mau keluar dari situasi yang sulit.

“Jadi kalau kita lihat transformasi pembahasan Satgas yang masuk dari pintu REDD dan mau keluar dari pintu kebangsaan dan kewarganegaraan, Masyarakat Adat menjadi sesuatu yang mendasar bagi negara kesatuan. Butuh banyak pemikiran agar hasilnya sesuai dengan konstitusi kita, bukan keluar ke tempat lain,” pungkas Abdon Nababan.

Sementara itu Maria SW Sumardjono, Akademisi Universitas Gajah Mada, mengatakan baru saja menyurati presiden tentang penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan penyempurnaan Peraturan Presiden (Perpres) Peraturan 3 Kementerian dan 1 badan ada lampiran tata cara pengakuan masyarakat hukum adat. Tapi tidak membedakan antara di kawasan hutan atau di luar kawasan hutan. Kalau Perda silahkan, tapi di situ disebutkan cukup dengan surat bupati. Perda cenderung berbau money politics. Pengakuan cukup dengan surat bupati.

Oleh karenanya kehadiran Satgas bisa menjadi positif. “Saya hargai keharusan adanya Satgas, itu bisa mendorong banyak hal. Namun apakah masa kerja satu tahun cukup untuk menyelesaikan banyak permasalahan. Apakah konflik dapat diselesaikan dalam satu tahun, setelah itu bagaimana. Satu tahun kerjanya banyak, tiap hari ada kasus. Padahal tidak hanya mengumpulkan data, mengkaji dan mengkategorisasi seluruh kasus, lalu memberi rekomendasi, apa waktunya cukup,” Maria mempersoalkan masa kerja Satgas dalam draf.

“Sementara peraturan-peraturan tentang masyarakat hukum adat juga centang perenang. Baru saja keluar Permen X/2016 yang kacau itu. Selama ini kita sebut hak ulayat yang punya kewenangan publik dan perdata. Sekarang dikeluarkan hak komunal punya ninik mamak, namanya wilayat kaum memang lebih kental perdatanya. Lalu hak ulayat di pasal 3 UUPA tidak diurus Kemen ATR, itu bikin pusing,” jabar Maria Sumardjono. .

“Mungkin bagi yang tidak familier dengan konsep adat ini tidak soal, tapi bagi saya orang kuno bertanya-tanya mau ke mana, ini qou vadis . Jadi selain UU PPHMA, semua peraturan perundang-undangan terkait hukum adat itu kusut. Lalu, soal Lembaga Negara Independen banyak yang over lap. Apakah sudah ada studi LNI Independen, yang mana? Ini memerlukan studi mendalam, seperti apa yang namanya Lembaga Negara Independen permanen itu,” tanya Maria Sumardjono .

Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Mengikat Presiden

Menanggapi lambatnya pembentukan Satgas Masyarakat adat Achmad Sodiqi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi punya kewenangan menguji undang-undang. “Putusan MK 35 sejajar dengan Undang-Undang, maka pasal-pasal yang telah dibatalkan pada UU Kehutanan otomatis mati, tak bisa dijadikan landasan lagi. Undang-undang tersebut tak perlu oleh DPR karena otomatis tidak berlaku lagi. Sifat putusan final dan sejajar dengan Undang-Undang” jabarnya

“Termasuk presiden terikat pada putusan tersebut karena dalam sumpah jabatannya menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Putusan MK itu membatalkan undang-undang dan sejajar dengan undang-undang ditafsirkan untuk dilaksanakan. Maka, jelas kita tak usah menunggu UU Kehutanan itu direvisi dan disesuaikan, putusan yang sudah mengikat”

“Terkait kelembagaan, itu di bawah presiden. “KPK itu juga tak ada, tapi dibutuhkan karena penegakan hukum tidak jalan, jadi akan semacam itu. Yang namanya di bawah presiden harus ada ketentuannya, kalau masalah pelaksanaan itu semua eksekutif. Contohnya, ada Putusan MK yang terkait sengketa di Kaltim di kawasan yang sudah dikasih sertifikat, jadi susah,” papar Achmad Sodiqi

“Pihak kehutanan klaim itu bagian kehutanan. Sebetulnya kalau tanah di bawah itu ya di luar kehutanan. Siapa yang selesaikan? ya presiden yang harus selesaikan. Mahkamah Konstitusi tak bias, karena berada di ranah eksekutif. Maka presiden harus turun tangan, seperti land reform. Nanti Satgas yang mau dibikin itu kira-kira modelnya seperti apa, apakah seperti KPK karena bisa menggerakkan sektor nasional dan langsung di bawah presiden,” Achmad Sodiqi menjelaskan.

Berdasarkan informasi Prasetyo dari KLH-K (Direktorat Pengakuan MHA dan Kearifan Lokal) bahwa draf Satgas sudah dilaporkan ke Menteri Siti Nurbaya, namun masih terdapat hal yang tidak sinkron, ada yang tak berjalan. Setelah ditelusuri surat itu mandek di Deputi PMK. “Ada surat yang berbeda antara yang ada atau dipegang kawan di PMK dan yang kita sampaikan, nanti akan ditelusuri,” tambahnya.

Prosedur Izin Prakarsa

Dwiyanto Staf PMK Seskab membenarkan bahwa pada tanggal 29 Maret lalu Seskab menyelenggarakan rapat dengan instansi terkait antara lain BPN, KLHK, Kemenhukham, membahas substansi rencana pembentukkan Satgas Masyarakat Adat. Dari rapat itu ada masukkan, lalu Seskab kirim balik ke KLHK minta draf disempurnakan. Catatan dari rapat tersebut mempersoalkan masalah koordinasi, tak bisa dieksekusi, dan seharusnya dikomunikasikan lebih dulu ke presiden.

Lazimnya, kalau proses itu diajukan ke Seskab instansi pemrakarsa itu langsung izin pemrakarsa ke presiden. Biasanya kita siapkan draf. Kalau presiden setuju, lalu dibahas dan ada panitia khusus membahas substansi. Persoalannya ada prosedur yang tidak dilalui, maka terhambat karena tak tahu substansinya dan revisi draf belum dikembalikan ada panitia antar-kementerian dan lembaga untuk menyempurnakan substansinya.

Tapi ternyata izin prakarsa belum berjalan. Jadi substansi kita bahas, dan KLHK membuat surat pada presiden untuk izin pemrakarsa. Begitu presiden setuju ini ditindaklanjuti, substansi sudah matang. Untuk menyeselesaikan konflik adat, misalnya masuk dalam kawasan hutan adat, yang punya kewenangan itu Eselon II.

Proses administrasi harus dilalui, harus ada disposisi tertulis, harus ada izin. Begitu presiden nyatakan setuju seharusnya KLHK mengajukan dan kita proses membentuk panitia antar kementerian.Kalau ini penting dan ditindaklanjuti, maka prosedur itu bisa bypass.

“Ini kok tiba-tiba ada draf yang ingin diajukan presiden. Kalau saat rapat kita semua setuju, makanya kita ajukan. Tapi begitu draf itu disampaikan ternyata banyak persoalan. Misalnya soal pencabutan izin bukan wewenang Satgas tapi instansi yang menerbitkan izin. Kewenangan Satgas tak boleh tumpang tindih dengan kewenangan dan tugas-fungsi lembaga yang ada,” kata Dwiyanto.

Menanggapi hal tersebut Abdon Nababan mengatakan, “saya sudah menjelaskan soal gagasan besarnya adalah rekonsiliasi. Harus ada satu tindakan yang menunjukkan ada niat baik dan tindakan presiden. Yang paling mungkin adalah mengurusi korban kriminalisasi berdasark kewenangan hukum presiden, yaitu amnesti, grasi, restitusi. Bahkan rehabilitasi nama baik menyatakan bahwa mereka bukan penjahat, tapi pejuang. Mereka sedang melawan penjajah, bukan berkhianat,” Abdon menekankan.

“Jadi konteksnya rekonsiliasi, maka yang dipakai adalah kuasa presiden sebagai kepala negara. Kita semua sudah tahu kalau seluruh kerugian ini dibayar mungkin 20 tahun APBN habis. Karena besar, jadi memaafkan dan tanpa melupakan kejadian. Bukti ini masih ada. Apa tindakan politik presiden terhadap bukti-bukti itu?”

“Kekuasaan apa di tangan presiden yang bisa dia pakai untuk menunjukkan bahwa di negara yang sedang pudar ini dia mau merangkul rakyatnya. Harus diurus bersama karena ini urusan negara dan bangsa. Jadi harus ada upaya rekonsiliasi dan kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan untuk selamatkan republik ini,” tegas Abdon Nababan. ***JLG