Sampingan

Jakarta, 23 Agustus 2016.

Tahun 2014 yang lalu, AMAN menyambut baik lahirnya sebuah Pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla karena secara khusus berkomitmen melindungi dan memajukan masyarakat adat melalui Nawacita[1].

Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan bahwa “AMAN telah mengambil langkah-langkah proaktif dengan mengusulkan agenda-agenda yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla”. Hal tersebut sudah dilakukan bahkan sejak dari Rumah Transisi hingga ke berbagai kementrian melalui RPJM, lanjut Abdon.

AMAN memandang bahwa Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus memulai rekonsiliasi untuk memastikan kehadiran negara di tengah-tengah masyarakat adat dan menjadikan masyarakat adat bagian utuh dari Bangsa Indonesia. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membebaskan pemimpin dan anggota masyarakat adat korban kriminalisasi oleh negara karena mempertahankan wilayah titipan leluhur mereka.

Demikian juga AMAN mengusulkan kepada Presiden segara membentuk Satuan Tugas Masyarakat Adat (Satgas) untuk merumuskan pelaksanaan Nawacita dan menyelesaikan berbagai masalah mendesak yang saat ini menimpa masyarakat adat. Presiden menyetujui rencana tersebut dalam pertemuan AMAN pada tanggal 26 Juni 2015 di Istana Negara. AMAN kemudian terlibat dalam penyusunan Rancangan Kepres Pembentukan Satgas yang dipimpin Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun demikian hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai Satgas tersebut.

Tidak hanya Satgas, Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang dijanjikan oleh Nawacita juga belum disahkan hingga hari. Bahkan RUU tersebut tidak menjadi prioritas DPR maupun Pemerintah dalam pembahasan tahun 2015 – 2016.

Pemerintah belum sungguh-sungguh berniat mengakui hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain, kriminalisasi masyarakat adat terus berlanjut dan proses pengakuan wilayah adat oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai mandat Putusan MK35 berjalan sangat lambat bahkan cenderung stagnan.

Abdon Nababan menyesalkan berbagai hal yang terjadi akhir-akhir ini “ Berbagai langkah yang dilakukan oleh pemerintah justru semakin menjauh dari janji Nawacita.” Pengurusan masyarakat adat oleh Negara masih melanjutkan praktek dan tradisi sektoralisme dengan menyerahkan ke berbagai Kementrian. Sementara itu kebijakan ekonomi justru menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang semakin terdesak di tengah-tengah ketidakpastian perlindungan hak secara hukum.

“Pemerintah harus segera mewujudkan komitmen Nawacita untuk menghadirkan negara ditengah-tengah masyarakat adat. Jika tidak masyarakat adat akan semakin terpuruk dan bangsa Indonesia yang akan menanggung akibat buruknya” tegas Abdon.

Untuk itu AMAN mendesak Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk segera mewujudkan janji Nawacita:

1. Menghentikan kriminalisasi dan Membebaskan semua anggota masyarakat adat dari penjara dan menghentikan proses pengadilan dan penyidikan atas masyarakat adat yang dikriminalisasi; semuanya tanpa syarat.
2. Segera membentuk Satgas Masyarakat Adat.
3. DPR bersama dengan Pemerintah segera mengesahkan UU Masyarakat Adat.
4. Melaksanakan Putusan MK 35 dengan pengakuan wilayah adat yang dapat dimulai dengan 7,4 Juta hektar yang telah diterima secara resmi oleh Pemerintah.
5. Pemerintah Daerah untuk menggalakkan pembentukan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, dan juga melalui pelaksanakan Peraturan Mentri Dalam Negri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Kontak:
Rukka Sombolinggi
Deputi II Sekjen AMAN untuk urusan Advokasi Kebijakan, Hukum dan Politik
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
telp: 08121060794 email: rsombolinggi@aman.or.id

[1] Enam prioritas utama Nawa Cita dalam rangka perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat:
1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012
2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan berbagai komponen masyarakat sipil lainnya
3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012
4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini
5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan
6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Jakarta, 9 Agustus 2016 – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah lebih sering berdialog dengan masyarakat adat sebagai pintu untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Dialog akan saling memperkaya pandangan serta pemahaman pemerintah dan masyarakat adat, sehingga kendala yang menciptakan jarak antara kedua belah pihak dapat dijembatani.

Pada akhirnya dari dialog akan menghasilkan dukungan yang makin kuat terhadap masyarakat adat dalam memperjuangan pemenuhan hak-hak masyarakat adat melalui Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (UU PPMA) dan segera dibentuknya lembaga Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat.

Hal tersebut tersebut disampaikan dalam Dialog Sambung Rasa antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah mengangkat tema “Hak-hak Masyarakat Adat atas Pendidikan, Kebudayaan, dan Spiritualitas” sesuai dengan tema umum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 2016 . Dialog dihadiri oleh Perwakilan PBBdan Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan dan Dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.

Dialog Sambung Rasa yang merupakan acara puncak dari rangkaian HIMAS menampilkan Pertunjukkan Budaya Masyarakat Adat dari seluruh Nusantara. Rangkaian perayaan HIMAS 2016 dilaksanakan oleh Dirjen Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan yang melibatkan perwakilan-perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai daerah di Indonesia, para pegiat Seni dan Budaya, Organisasi-organisasi pendukung gerakan Masyarakat Adat.

Menurut Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, bentuk kerjasama antara Masyarakat Adat dengan Negara dalam penyelenggaraan HIMAS 2016 ini adalah sebuah kemajuan. Dialog Sambung Rasa adalah sinyal positif dukungan pemerintah kedepannya agar masyarakat adat lebih diperhatikan terutama dalam sektor Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Nawacita dan RPJM”

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir Effendy mengatakan sejalan dengan tema PBB untuk HIMAS 2016, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud ingin menunjukkan komitmen dalam mendukung perjuangan masyarakat adat khususnya dalam bidang pendidikan. Pemerintah berkomitmen memperjuangkan hak-hak pendidikan masyarakat adat sebagaimana dicanangkan negara-negara dunia pada HIMAS tahun ini. Hal ini sejalan dengan NawaCita pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan tradisi, Direktorat Jendral Kebudayaan, kemendikbud mendukung pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat, terutama hak menganut kepercayaan dan melaksanakan tradisi kebudayaan masing-masing.

Abdon menambahkan kerjasama ini merupakan usaha bersama memperjuangkan hak masyarakat yang masih terabaikan. AMAN meminta agar Presiden segera membentuk Satgas Masyarakat Adat dengan janji Presiden RI lebih setahun lalu demi memperkuat jembatan antara masyarakat adat dan Negara, memastikan Negara hadir di tengah-tengah masyarakat adat dan pada akhirnya membuat masyarakat adat merasa bagian yang utuh dari Indonesia, kata Abdon.

— S e l e s a i —

Keterangan tentangAliansiMasyarakatAdat Nusantara (AMAN) dapat dilihat di www.aman.or.id

Kontak Media :

Abdon Nababan, SekretarisJenderalAliansiMasyarakatAdat Nusantara (AMAN)
HP          : 0811111365
Email          : abdon.nababan@aman.or.id

Download Siaran Pers 

Pidato Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Dalam Rangka Perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia

(International Day Of The World’s Indigenous Peoples)

Museum Nasional, Jakarta, 9 Agustus 2016

 “Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat Adat”

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Berdaulat !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Mandiri !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Bermartabat !

Sebelumnya, ijinkan saya mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa atas perlindunganNya dan kepada para leluhur Masyarakat Adat Nusantara atas terselenggaranya serangkaian acara kita di tempat ini, di Museum Nasional, Jakarta. Terimakasih kepada Direktur Museum Nasional dan Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas kerjasama dan kesediaannya menerima kita semua, para utusan Masyarakat Adat, para penggiat dan pemandu spritual, para seniman dan budayawan dari seluruh pelosok Nusantara, Pemerintah Indonesia, Komnas HAM RI, para Duta Besar dari Negara-negara sahabat, para mitra, pendukung dan para sahabat dalam gerakan Masyarakat Adat Nusantara.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam sejahtera untuk kita semua

Sampurasun. Rahayu. Tabea. Horas!

Yang saya hormati :

  • Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhajir Effendy.
  • Pelapor Khusus KOMNAS HAM RI tentang Masyarakat Adat, Ibu Sandrayati Moniaga
  • Utusan Kedutaan-Kedutaan Besar Negara Sahabat di Jakarta.
  • Seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan para anggota DPR, DPRD yang hadir.
  • Bapak, Ibu Utusan Masyarakat Adat se Nusantara.
  • Bapak, Ibu, Saudara-saudari para undangan dan hadirin yang saya hormati.
  • Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia.

Mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saya mengucapkan terimakasih atas kehadiran Bapak/Ibu dan Saudara-Saudari semua dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), International Day of the World’s Indigenous Peoples, hari ini, 9 Agustus, yang dinyatakan sebagai hari besar oleh PBB pada tahun 1994 untuk memajukan dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia melalui Resolusi Majelis Umum PBB 49/214 tanggal 23 Desember 1994. Pada hari raya ini, kita merayakan pencapaian dan sumbangan yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat kepada dunia, kepada kehidupan bersama kita di bumi ini.

9 Agustus diambil dari waktu pertama sekali UN Working Group on Indigenous Population bersidang di Jenewa tahun 1982. Tema perayaan HIMAS dari PBB untuk 2016 ini adalah: Indigenous Peoples’ Right to Education. Dengan tema ini, kita diingatkan betapa pentingnya pendidikan bagi Masyarakat adat. Pendidikan yang sesuai dengan budaya, spritualitas dan kepentingan Masyarakat adat akan memberdayakan mereka, tetapi pendidikan yang merendahkan budaya-budaya lokal yang beragam ini justru akan melemahkan dan bahkan dalam jangka panjang akan memusnahkan Masyarakat Adat. Pendidikan adalah hak. Tetapi pemenuhan hak atas pendidikan ini tidak boleh mengurangi hak azasi manusia, khususnya hak kolektif Masyarakat adat atas budaya dan spritualitasnya. Pemerintah wajib memastikan bahwa sistim pendidikan kita bebas diskriminasi. Masyarakat adat harus mendapatkan akses terhadap layanan pendidikan selaras dengan budaya mereka dan dalam bahasa ibu yang mereka kuasai.

Bapak, Ibu yang saya muliakan, para undangan yang saya hormati,

Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia

Hak Masyarakat Adat atas pendidikan ini ditegaskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat/UNDRIP. Pasal 14 dekrasi ini menyatakan bahwa “Masyarakat Adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol sistem pendidikan mereka dan lembaga yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam cara yang sesuai dengan metode budaya mengajar dan belajar mereka”. Tujuan 4 dari Agenda 2030 tentang Pembangunan Berkelanjutan juga mengamatkan untuk memastikan akses yang sama untuk semua tingkat pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk kalangan rentan, termasuk disabilitas, Masyarakat Adat dan anak-anak dalam situasi rentan. Bahan UU Sisdiknas kita juga mengamanatkan bahwa “Masyarakat Adat terpencil berhak mendapatkan layanan khusus pendidikan”.

Meskipun berbagai instrumen di atas sudah ada, namun hak untuk pendidikan belum dinikmati sepenuhnya oleh sebagian besar Masyarakat Adat. Demikian juga kesenjangan status pendidikan masih jauh antara Masyarakat Adat dan masyarakat umum.   Data yang tersedia menunjukkan bahwa di seluruh dunia masih terdapat perbedaan mencolok antara Masyarakat Adat dengan masyarakat umum terkait akses terhadap pendidikan, daya serap dan prestasi. Sektor pendidikan tidak hanya mencerminkan sejarah kekerasan, diskriminasi dan marjinalisasi yang diderita oleh Masyarakat Adat, tetapi juga merefleksikan perjuangan atas kesetaraan dan dan penghormatan yang layak atas hak-hak mereka sebagai Masyarakat Adat dan individu.

Pada kesempatan ini saya kembali mengingatkan kita semua bahwa Indonesia adalah salah satu negara penandatangan pengesahan deklarasi ini. Banyak kemajuan yang kita telah raih sejak pengesahan deklarasi ini sejak 8 tahun lalu, dan masih lebih banyak lagi yang masih harus kita perjuangkan.  Tantangan masih membentang luas di hadapan kita. Pelapor Khusus PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, kami undang hadir bersama kita pada kesempatan ini untuk bisa memaparkannya di hadapan kita. Saya akan bicara saja tentang  kemajuan gerakan kita dan capaiannya di Indonesia.

Bapak, Ibu yang saya muliakan, para undangan yang saya hormati,

Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia

Indonesia, di awal kemerdekaannya, adalah Negara yang maju dari sisi pengakuan Masyarakat Adat dan hak-haknya. Itu tercermin di dalam Pasal 18 UUD 1945 yang asli. Bahwa Negara “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat” yang akan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Bahkan amandemen kedua Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 pada tahun 2001 menempatkan hak Masyarakat Adat sebagai hak azasi manusia. Sayangnya, sampai hari ini, hanya tinggal 8 hari lagi kita merayakan 71 tahun Indonesia merdeka, UU yang amanatkan konstitusi tersebut belum juga ada.

Meskipun berbagai instrumen internasional dan hukum nasional di atas sudah mengamanatkannya, namun pada kenyataannya hak atas pendidikan belum dinikmati sepenuhnya oleh sebagian besar Masyarakat Adat. Demikian juga kesenjangan status pendidikan masih jauh antara Masyarakat Adat dan masyarakat umum.   Data yang tersedia menunjukkan bahwa di seluruh dunia masih terdapat perbedaan mencolok antara Masyarakat Adat dengan masyarakat umum terkait akses terhadap pendidikan, daya serap pelajaran dan prestasi. Sektor pendidikan tidak hanya mencerminkan sejarah kekerasan, diskriminasi dan marjinalisasi yang diderita oleh Masyarakat Adat, tetapi juga merefleksikan perjuangan atas kesetaraan dan dan penghormatan yang layak atas hak-hak mereka sebagai kelompok, sebagai komunitas Masyarakat Adat, maupun sebagai individu warga negara.

Organisasi kita, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN, sejak berdiri tahun 1999, terus bergelut dengan masalah-masalah ini, baik di lapangan, maupun di arena pengambilan kebijakan di daerah, nasional dan internasional. Perubahan yang perlahan terus bergulir untuk memastikan bahwa Hak Konstitusioanl Masyarakat Adat atas Pendidikan, Budaya dan Spiritualitasnya diimplementasikan sebagai bentuk dari layanan dasar Negara untuk Masyarakat Adat. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah berjanji lewat NAWACITA untuk menghadirkan Negara di tengah Masyarakat Adat sebagai pelindung dan pelayan. Salah satu cara terbaik menghadirkan Negara yang budiman adalah melalui pendidikan yang bebas diskriminasi dan sensitif terhadap beragam budaya Masyarakat Adat Nusantara. Walaupun sampai hari ini kita belum melihat dan merasakan Negara hadir sebagaimana dijanjikan dalam NAWACITA, saya menyerukan agar Masyarakat Adat tidak boleh lelah apalagi putus asa untuk terus-menerus mengingatkan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk melaksanakan komitmennya kepada Masyarakat Adat. Dengan atau tanpa Pemerintah, Masyarakat Adat harus terus bangkit,  terus bergerak, terorganisir  dan terpimpin.

AMAN membuka diri untuk bekerjasama dengan Pemerintah, dalam semangat kemitraan, untuk bersama membenahi sistim dan kelembagaan pendidikan bagi Masyarakat Adat sehingga mampu mengembangkan dan mengendalikan pendidikan bagi generasi penerus masa depan agar tidak punah, tetapi justru berkembang mengikuti jaman tanpa kehilangan jati diri dan identitas budaya. Pendidikan harus kita kembalikan sebagai jalan untuk merealisasikan hak-hak Masyarakat adat, baik yang sudah disepakati dalam berbagai instrument HAM dan perjanjian internasional maupun yang diamantkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional. Kita teruskan dan tingkatkan upaya-upaya yang selama ini sudah kita kerjakan untuk merestorasi bentuk-bentuk pendidikan berbasis bahasa ibu, keyakinan dan budaya Masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara.

Lewat perayaan ini kita terus mendesak Pemerintah, DPR dan DPD RI agar Undang-Undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA)  menjadi RUU Prioritas untuk dibahas dan disahkan pada masa persidangan di tahun 2017  dan mendesak Presiden Jokowi agar Satgas Presiden untuk Masyarakat Adat segera dibentuk.

Bapak, Ibu yang saya muliakan, para undangan yang saya hormati,

Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia

Untuk penyelenggaraan HIMAS 2016 ini, AMAN merasa bangga dan bersyukur karena mendapat kesempatan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Dirjen Kebudayaan. Mewakili AMAN saya menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga. Bersama-sama kami menyelenggarakan pekan “Pekan Masyarakat Adat Nusantara (PMAN) di Museum Nasional dari tanggal 4-11 Agustus 2016. Mohon kesediaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Dr. Muhadjir Effendy untuk membuka secara resmi “Perayaan HIMAS 2016 dengan tema “Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat Adat”.

Terakhir saya mewakili Pengurus Besar AMAN mengucapkan terimakasih atas dukungan dari Pengelola Museum Nasional dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas kebaikan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari semua.

Selamat merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat se Dunia.

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Berdaulat !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Mandiri !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Bermartabat !

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Sampunrasun. Rahayu. Tabea. Horas!

Jakarta, 9  Agustus 2016

Abdon Nababan

Sekjen AMAN

 

Jakarta 7/8/2016̶  Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes), Eko Putro Sandjojo menghimbau masyarakat adat menjaga, mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal daerah masing-masing. Menghadiri Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS)pada saat Car Free Day di Bundaran Hotel indonesia pada 7/8/2016

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan Pekan masyarakat adat Nusantara dalam rangka Internasional Hari Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diselenggarakan pada 8-9/8/2016 di Museum Nasional (Museum Gajah).

“Perayaan ini meliputi beberapa kegiatan yaitu seminar nasional, kuliner Nusantara, pameran hasil produk masyarakat adat dari berbagai daerah, dialog, pemutaran film-film perjungan komunitas adat dan sambung rasa antara masyarakat adat dan pemerintah dihadiri langsung oleh Kemendikbud,” papar Abdon.

Abdon menyampaikan kegiatan pawai budaya ini, membuat dirinya bangga dan terharu atas kehadiran Kemendes di tengah-tengah masyarakat adat dari semua daerah. Kegiatan tahunan HIMAS di seluruh dunia secara spesifiknya dengan tema tentang pendidikan.“Secara umum HIMAS memberikan refleksi untuk gerakan masyarakat adat atas perjuangan dan capaian setiap tahunnya,  baik pada level nasional maupun internasional,” ungkap Abdon.

Di Indonesia kemajuan masyarakat adat sangat menggembirakan dimana saat ini ada upaya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA). Walau pun sangat disayangkan 2016 lalu gagal menjadi prioritas.Tetapi masyarakat adat masih terus berjuang dengan harapan RUU MA akan menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah 2017 mendatang.

Presiden telah berkomitmen melibatkan AMAN untuk mempersiapkan Satuan Tugas (SATGAS) Masyarakat Adat. “Seluruh masyarakat adat berkomitmen mengawali proses Satgas ini demi kepentingan mereka kearah yang lebih baik ke depannya. Harapan selanjutnya dapat bekerjasama dengan Kemendikbud dan Kemendes,” jelas Abdon.

Lebih jauh Eko Putro Sandjojo mengatakan dirinya merasa senang dapat mengikuti secara langsung kegiatan HIMAS. Baginya ini merupakan pertama kalinya di luar ruangan dan membaur bersama masyarakat adat sedunia. Hari ini merupakan bukti bahwa masyarakat adat diakui oleh dunia sebab mereka merupakan pokok dari rakyat Indonesia.“Negara harus bangga dengan hadirnya AMAN,” papar Eko.

Nusantara terdiri dari berbagai suku bangsa dan berbagai adat-istiadat. Berdasarkan data di Indonesia berjumlah 70.000.000 masyarakat adat yang tersebar pada pedesaan.“Jika seluruh komunitas adat di daerah-daerah aktif berpartisipasi dalam pembangunan negara, maka akan sangat besar dampaknya,” tegasnya.

Presiden melalui Nawacita berkomitmen membangun desa dan daerah-daerah terisolir, oleh karena itu peran masyarakat adat sangat penting dalam mensukseskan program tersebut.“Sebanyak 74.754 desa memiliki budaya beraneka ragam, maka mustahil jika program pemerintah tidak menyesuaikan kebutuhan berdasarkan kearifan lokal mereka,” papar Eko.

Masyarakat Adat perlu memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat khususnya Kemendes, sehingga program-program membangun desa tepat sasaran sesuai kebutuhan daerahnya. Daerah tertinggal infrastrukturnya perlu dibangun demi menjalankan roda perekonomian masyarakat sedangkan yang sudah berkembang akan dimaksimalkan melalui program stimulus perekonomian. “Sebagai contoh mengembangkan badan usaha milik desa. Dengan harapan dapat bekerjasama dengan stekholder dunia usaha lainnya, sehingga dana dari pemerintah bermanfaat untuk investasi,” jelasnya.

Pembangunan ekonomi dan infrastruktur tidak bisa dilepaskan tanpa memahami nilai-nilai budaya lokal, jika dipaksakan khawatir berdampak terjadi benturan-benturan sosial. Program transmigrasi saat ini memprioritaskan transmigrasi lokal artinya mendahulukan pemberdayaan potensi lokal, tidak lagi memindahkan dari suatu daerah padat ke wilayah tidak padat seperti program sebelumnya.

Kemendes menegaskan, adat dan budaya wajib dipertahankan. Melestarikannya adalah mandat turun temurun, jangan sampai ke depannya tergerus dan kalah oleh budaya asing yang masuk ke Indonesia.” Kearifan lokal masyarakat adat seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan cara masyarakat adat mengelola lahan mereka,” ungkap Eko.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Sandra Moniaga mengingatkan pelanggaran HAM masih banyak dialami Masyarakat Adat, harapan kedepannya pemerintah melalui menteri-menteri terkait dapat memberikan solusi kongkrit terhadap penyelesaian kasus di komunitas adat khususnya intimidasi dan kriminalisasi****Paulus Ade Sukma Yadi

Jakarta, 4 Agustus 2016 – Pendidikan sejak dini kepada generasi muda mengenai pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat menjadi bagian penting dari pendidikan karakter bangsa Indonesia, sehingga ke depan makin kuat pengakuan, perlindungan, serta pemenuhan hak-hak masyarakat adat.

Hak atas pendidikan, budaya dan spiritualitas dijamin oleh Deklarasi PBB Tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Arti penting pendidikan untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat disuarakan Masyarakat Adat sedunia dalam peringatan tahunan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) setiap 9 Agustus. Tahun ini tema HIMAS yang disepakati secara global adalah hak-hak pendidikan bagi masyarakat adat.

Di Indonesia tema pekan HIMAS 2016 ini menjadi “Pendidikan, Kebudayaan. dan Spiritualitas Masyarakat Adat” dengan menggelar Pekan Masyarakat Adat Nusantara. Kegiatan tersebut digelar Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pemaparan mengenai HIMAS disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta (4/8). Hadir dalam acara tersebut sebagai pembicara ialah Deputi II AMAN, Rukka Sombolinggi dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid.

Perayaan bersama Kemendikbud merupakan kemajuan besar bagi bangsa Indonesia karena baru pertama kali satu kementerian terlibat. Tema yang dipilih juga menunjukkan pengakuan negara terhadap spiritualitas budaya masyarakat adat yang sudah ada lama sebelum Republik ini berdiri.

Menurut Rukka, di Indonesia tak hanya masyarakat adat saja yang perlu dididik. Seluruh lapisan masyarakat harus mendapatkan pendidikan mengenai pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Kehadiran Undang-Undang (UU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (PPMA) sangat penting untuk mendukung upaya pengarusutamaan pendidikan, kebudayaan, dan spiritualitas masyarakat adat dalam kebijakan dan program-program di pemerintahan.

Rukka mengatakan masih terdapat kendala-kendala yang menciptakan jarak antara instrumen-instrumen internasional dan kebijakan nasional terkait masyarakat adat, dengan implementasinya di tingkat komunitas. “Masyarakat Adat mendorong Pemerintah Indonesia untuk bekerja secara lebih dekat dalam kemitraan dengan Masyarakat Adat untuk mengimplementasikan hak-hak masyarakat Adat melalui dua instrumen penting yaitu segera mengesahkan Rancangan Undang Undang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan melalui SatuanTtugas Masyarakat Adat ,” kata Rukka.

Hilmar mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada 13 September 2007. Saat ini beberapa kebijakan telah memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Antara lain, dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 (3) disebutkan bahwa masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Terkait dengan Kebudayaan, ada RUU tentang Kebudayaan. Sedangkan mengenai hak-hak masyarakat adat, ada RUU PPMA.

“Pemerintah berkomitmen memperjuangkan hak-hak pendidikan masyarakat adat sebagaimana yang telah dicanangkan negara-negara dunia pada HIMAS tahun ini. Ini juga semangat yang sejalan dengan visi Nawa Cita pemerintah yaitu membangun dari pinggiran,” kata Hilmar.

Kemendikbud dan AMAN memperingati HIMAS 2016 dengan menggelar beragam kegiatan di Pekan Masyarakat Adat Nusantara pada 7 – 11 Agustus 2016 di Museum Nasional dengan melibatkan perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai wilayah di Indonesia, para penggiat seni budaya, organisasi-organisasi pendukung gerakan Masyarakat Adat, pemerintah, organisasi penghayat kepercayaan dan berbagai tamu undangan.

Kegiatan yang digelar antara lain pawai budaya nusantara, seminar nasional masyarakat adat, pameran karya cipta masyarakat adat nusantara dan karya seni kontemporer, bengkel kerja seni tradisional dan kontemporer, pemutaran dan diskusi film dokumenter masyarakat adat, panggung budaya nusantara, dialog masyarakat adat dengan pemerintah dan perayaan hari internasional masyarakat adat sedunia dan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) lintas kementerian.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang Majelis Umum pada 23 Desember 1994 menetapkan 9 Agustus sebagai HIMAS untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di dunia. Acara ini juga untuk mengakui prestasi dan kontribusi masyarakat adat pada isu-isu dunia seperti perlindungan lingkungan hidup.

— S e l e s a i —

Keterangan tentang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dapat dilihat di www.aman.or.id

Kontak Media
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Abdon Nababan (Sekjend AMAN)
HP: 0811111365
E-mail: abdon.nababan@aman.or.id

Erasmus Cahyadi (Direktur Advokasi)
HP: 081284280644
E-mail : Erasmus@aman.or.id

Download Siaran Pers

Medan, Sabtu, 30/07, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) akan menyelenggarakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke Lima (KMAN V). Abdon Nababan (Sekjen PB AMAN) menyampaikan siaran pers didampingi oleh Harun Noeh (PW AMAN Sumut), Roganda Simanjuntak (PW Aman Tanoh Batak), Arifin Monang Saleh (Deputi PB AMAN dan Ketua OC KMAN V) dan Saurlin Siagian (SC KMAN V).

Abdon Nababan menyampaikan “KMAN V ini merupakan upaya AMAN untuk melakukan refleksi dan konsolidasi organisasi menuju gerakan masyarakat adat yang terpimpin dalam mewujudkan cita-cita untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, bermartabat serta berdaulat secara budaya”. Ia menambahkan bahwa akan “Terdapat 8 sarasehan yang akan mendiskusikan persoalan keorganisasian, posisi masyarakat adat serta persoalan kebangsaan”.

Arifin Saleh Ketua Panitia Pelaksana menyampaikan KMAN V ini akan diselenggarakan pada 13 – 21 Maret di Medan dan Deli Serdang. Saat ini masyarakat adat di Sumatera Utara terus instens melakukan musyawarah mufakat dan bergotong royong mempersiapkan acara tersebut. Masyarakat adat di Sumatera Utara akan menyambut dan menjamu tamu masyarakat adat sebanyak 5.000 masyarakat adat seluruh Indonesia, 2.000 masyarakat adat Sumut dan tamu-tamu masyarakat adat dari luar negeri. Kita sedang mempersiapkan segala sesuatunya.

Presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla adalah pasangan calon yang didukung secara resmi oleh AMAN dalam Pilpres 2014 dengan mewujudkan 6 poin yang tertuang dalam Nawacita yang menjadi komitmen Presiden dan Wakil Presiden, ungkap Abdon Nababan. Karenanya, menurut Abdon “KMAN V ini akan mengundang Presiden dan Wakil Presiden untuk mengevaluasi perwujudan Nawacita”. Ada banyak kejadian-kejadian penting dalam 5 tahun terakhir. Diantaranya masih banyaknya masyarakat adat yang dikriminalisasi dalam memperjuangkan wilayah adatnya terkait masuknya konsesi-konsesi di wilayah adat. Presiden juga dalam bulan ini atau bulan depan sudah menjanjikan adanya Satgas (Satuan Tugas) Presiden Khusus Masyakat Adat. Artinya di bulan Maret 2016 hal ini juga akan kita evaluasi efektifitas kinerja Satgas ini dalam mendoorng mewujudkan hak-hak dan perlindungan masyarakat adat. .

Abdon menyampaikan bahwa hingga kini, AMAN sudah meyelenggarakan Kongres sebayak 4 kali. Hingga Kongres yang ke IV, sudah cukup banyak yang di capai oleh masyarakat adat di Nusantara. Paling tidak dari sisi pembaharuan hukum, sudah semakin banyak peraturan perundangan yang menyebutkan tentang keberadaan masyarakat adat. Sehingga seharusnya tidak ada lagi dari segi hukum yang mengganggu masyarakat adat. Tantangannya adalah bagaimana masyarakat adat masuk di tengah-tengah agenda pemerintah baik didalam catatan maupun administrasi. Capaian lain dari segi pembangunan, selama sekian puluh tahun bekerja bersama pemerintah, kita sudah memiliki model-model pembangunan berbasis kerakyatan di masyarakat adat. Diantaranya pengembangan ekonomi kreatif, pengembagan pariwisata berbasis komunitas, juga berkaitan dengan pengembangan produk-produk budaya dan kelestarian masyarakat adat.

Abdon menyebutkan bahwa masih ada gap yang besar atara komitme politik dan birokrasi. Birokrasi kita masih belum berubah. Krimialisasi yang saat ini di hadapi masyarakat adat dilapangan. Oleh Presiden melalui Menteri KLHK sebenarnya sudah disampaikan surat edaran. Tetapi antara kemauan politik dan birokrasi ini masih jauh untuk sampai kelapangan termasuk di Sumatera Utara. Masih ada kendala dengan pemerintah terkait birokrasi. Tantangan kita masyarakat adat adalah bagaimana pemerintahan kabupaten yambung dengan pemerintahan provinsi dan nyambung juga denga pemerintahan pusat. Sehingga tidak seolah-olah Bupati tidak memiliki pemerintahan sendiri. Presiden dengan semua perangkatnya harus bisa mengendalikan perangkat keamaan sampai kedaerah termasuk perangkat pertahanan. Karena bila tidak wajah nyata pemerintahan itu bukan presiden, tetapi tentara, koramil, camat.

— S e l e s a i —
Keterangan tentang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dapat dilihat di www.aman.or.id

Kontak Media
Wina Khairina (Media KMAN V)
HP: 0812 6321136
E-mail: winakhairina@yahoo.com

Narasumber :
Abdon Nababan (Sekjen AMAN)
HP : 0811111365

Arifin Saleh (Ketua Umum Panitia KMAN V)
HP: 0812 18334211
E-mail: arisaleh@aman.or.id

Jakarta 28/7/2016 ̶ Belum adanya solusi kongkrit dari pemerintah terhadap konflik agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar diskusi “Ketimpangan Agraria Di Era Jokowi Dodo-Jusuf Kalla Dan Peluncuran Agraria Reform Media Awal 2016” bertempat di Gedung Dewan Pers (Lantai VII), Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Menteng Jakarta Pusat (26/7/2016).

Sebagai narasumber hadir Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden. Iwan Nurdin, Sekretariat Sekjend KPA. Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers 2016-2019.

Usep Setiawan, menyampaikan berdasarkan pengaduan dari masyarakat, pemerintah mencatat kasus sengketa tanah dan konflik agraria yang banyak menjadi korban adalah masyarakat adat, petani, buruh, nelayan dari berbagai daerah. Kondisi ini memunculkan gagasan terbentuknya lembaga khusus sebagai upaya mengatasi konflik agraria dimana saat ini sedang dalam proses pemantapan Kepala Staf Kepresidenan, dengan harapan menjadi kebijakan khusus dan akan dibawahi langsung oleh presiden mengingat reforma agraria resmi menjadi perhatian prioritas nasional,” paparnya.

Lembaga ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif, percepatan pelaksanaan program-program prioritas nasional terkait dengan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria. “Dengan melakukan Identifikasi, pendataan, analisis sehingga dapat menyusun rekomendasi penyelesaian konflik sebelum melakukan eksekusi bertujuan untuk menindaklanjuti penataan produksi pertanian dan perbaikan layanan alam,” lanjut Usep.

Konflik agraria merupakan masalah utama yang dihadapi masyarakat Indonesia, faktor penyebab utamanya keputusan-keputusan pejabat pemerintah pusat dan daerah, pemusatan kekuasaan, pemanfaatan sumber daya alam oleh badan-badan usaha untuk ekstansi, produksi, konservasi, dan pembangunan infrastruktur.

“Konflik agraria berakibat pada pelanggaran HAM karena perampasan hak atas tanah rakyat, penurunan kualitas SDA untuk produksi pangan, kemiskinan,wilayah hidup menyempit, pengurangan akses rakyat atas tanah, krisis sosial ekologis,penghilangan kesempatan kerja menegakkan perekonomian desa, memicu kerawanan sosial dan stabilitas politik,” kata Usep.

Iwan Nurdin selaku Sekjen KPA menyampaikan KPA mencatat konflik agraria sebanyak 1.520 kasus dalam semua sektor dan mengakibatkan 85 orang menjadi korban jiwa. Dalam 10 tahun terakhir, masih banyak petani hak atas tanahnya dirampas. Ini merupakan bukti reforma agraria belum menjadi perhatian prioritas oleh pemerintah. Sekarang kondisinya hak kepemilikan tanah petani semakin menurun. Seharusnya jika semakin menurun jumlah mereka maka lebih banyak hak atas tanahnya, bukan malah berbanding terbalik. “Melihat hal ini seharusnya petani tidak layak dibebani untuk mengganti produsen pangan itu adalah tanggung jawab perusahaan pertanian,” ungkap Iwan.

Dalam janji Nawacita Jokowi akan memprioritaskan peningkatkan kwaliatas hidup manusia Indonesia, dengan cara menyejahterakan maupun mendorong kepemilikan lahan seluas 9 juta hektar tanah. Setelah dilantik, Jokowi mengadakan rapat dengan 5 Kementerian(27/2/2015) membahas alokasi perkebunan sawit, tebu dan kedelai. Pada april 2015 Menteri Agraria, Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertanianmengelar MOU, hasilnya sebanyak 9 juta hektar tanah akan dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Kemudian RUU Pertanahan menyatakan hutan akan menjadi perhatian prioritas. “Tetapi pada tahun 2016 peraturan-peraturan tersebut tidak direalisasikan bahkan Perpres pun tak ada,” papar Iwan.

Pemerintah menafsirkan reforma agraria adalah reditribusi tanah dimana Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan hak tanah disertai aset reformasi. Artinya ada akses terhadap perbankan atau pasar. Menteri dan Dirjen terkait menafsirkan reforma agraria sebanyak 9 juta hektar tanah adalah sertifikasi tanah, artinya siapa pun yang mendapat sertifikat akan mendapat legalisasi aset 0,4 juta hektar Hak Guna Usaha habis dan tanah terlantar, disamping itu 4,1 juta hektar pelepasan kawasan hutan.

Pembelokan Pengertian Reforma Agraria

“Sedangkan BPN menafsirkan reforma agraria adalah seluas 400.000 hektar dengan alasan pelepasan kawasan hutan bukan wewenang BPN tetapi wewenang kementerian lain. Hal menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia melenceng dari mandat dan amanat kepercayaan rakyatnya. Sedangkan konsekuensi rakyat memilih presiden karena setuju dengan janjinya,” jelas Iwan.

Pemerintah membagi tanah menjadi dua kategori yaitu tanah negara artinya tanah yang belum dialokasikan atas haknya, sedangkan tanah hak berarti telah dialokasikan, dimana tempatnya akan dilaksanakan reforma agraria.Tanah seluas 12,1 juta hektarberupa perkampungan, sawah, kebun yang berada dikawasan hutan dari Aceh-Papua, 4,5 juta hektar tanah redristribusi. 70 % tanah Indonesia merupakan kawasan hutan berdasarkan UU 41 kehutanan. Dalam hutan tersebut terdapat kampung Suku Dayak di Kalimantan bahkan di Jawa Timur serta daerah-daerah lainnya.

“Hutan di wilayah-wilayah harus jadi prioritas reforma agraria dan dilepaskan oleh negara,” ujar Iwan.

Tanah seluas 4,1juta hektar merupakan peraturan pemerintah dalam reforma agraria daerah-daerah tersebut antara lain Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Riau, Maluku, Papua. Reforma agraria yang diterapkan oleh pemerintah dengan cara memindahkan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya. Contohnya pemerintah memindahkan penduduk Jawa ke Papua, hal di atas jelas sangat keras, ini pembelokan pengertian reforma agraria. KPA mengkritik dan menuntut hal ini harus diluruskan oleh KSP karena lemabaga ini merupakan pengambil kebijakan.“Jangan ada lagi nama baru tetapi yang dijalankan adalah program lama,” tegas Iwan.

Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers 2016-2019 menjelaskan media harus lebih menyoroti reforma agraria. Publik dihimbau berpartisipasi mengontrol isu agraria karena mereka memiliki hak sesuai mandatUU 40 tahun 1999 tentang pers. Mengingat konflik agraria sudah terkait dengan keselamatan nyawa seseorang. Konflik agraria dalam sorotan media adalah bentrok warga dan pihak tertentu. Sedangkan masalah mendasar dari substansi agraria itu sendiri tidak diexpose oleh media,” ujar Iman **** Paulus Ade Sukma Yadi.