Fitur

Ritual Tung Piong di Wolomotong, Sikka, NTT

Oleh Adrian Lawe*   Masyarakat Adat di Desa Wolomotong, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan masyarakat yang masih terikat kuat dengan tradisi serta adat dan budaya, salah satunya ritual penghormatan terhadap arwah leluhur. Bagi mereka, penghormatan tersebut adalah kewajiban mutlak. Masyarakat Adat di sana meyakini bahwa arwah leluhur memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan keberadaannya tidak boleh diremehkan, apalagi diabaikan jika tak ingin ditimpakan bencana

Nenek Dua Cucu Jalan dari Toba ke Jakarta

Di tengah sebuah rapat, di mana saya turut hadir, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional Abdon Nababan menyinggung tentang TIM 11 Ajak Tutup TPL yang tiba di Jakarta pada Selasa lalu (27/7/2021). Abdon bilang kalau seseorang harus membahas tentang profil satu perempuan di antara mereka. Menurutnya, ia istimewa. TIM 11 merupakan akronim dari tiga kata – yaitu “tulus, ikhlas, militan” – yang merepresentasikan kampanye dan protes damai dari sebelas orang yang

Ritual Dayak Simpang’k Tangkis Covid-19

Masyarakat Adat Dayak Simpang’k di Kalimantan Barat, punya ritual unik dalam melindungi komunitas dari wabah, yaitu Baangko. Upacara tersebut tampak selayaknya aktivitas pemanggilan roh leluhur dan pemberlakuan pantangan. Namun, lewat Baangko, Masyarakat Adat sedang menguatkan identitas asal-usul dan keterhubungannya dengan wilayah adat. Kisah Leluhur dan Wabah   Dayak Simpang’k merupakan Masyarakat Adat yang tinggal Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka punya kisah terkait sejarah

Tenun Karya Masyarakat Adat Rembitan di NTB

Menenun merupakan salah satu rutinitas Masyarakat Adat Rembitan yang berada di Dusun Telok Bulan, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seperti apa kekhasan tenun karya mereka? Di Desa Rembitan, saya bertemu dengan Wane alias Inaq Ketok. Perempuan berusia 70 tahun itu telah menenun sejak usia lima belas tahun. Di usia senjanya, Wane masih aktif menghasilkan karya tenun, di mana menenun sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari untuk

Pesan dalam Ritual Lodong Me di Sikka, NTT

Tradisi budaya warisan leluhur merupakan fondasi yang kokoh untuk kita membentuk karakter manusia Indonesia yang memiliki kepribadian kuat. Tradisi-tradisi lokal memiliki banyak makna tentang pegangan hidup. Di tengah gejolak perkembangan zaman, – dengan maraknya pengaruh budaya luar – eksistensi tradisi-tradisi lokal pun kian mengalami ancaman kepunahan. Maka, tradisi-tradisi lokal itu perlu dijaga kelestariannya. Tidak cukup hanya sebatas pada menggaungkan seruan kata atau melaksanakan seremoni, namun turut menggali, memahami, dan menjalankan

Gotong Royong Menanam Padi

Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalimat tersebut menggambarkan pola kerja sama yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Barambang Katute yang terletak di Desa Barambang, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Belakangan ini, saya kembali merasakan dan melihat perwujudan dari nilai gotong royong dan solidaritas yang kuat di antara masyarakat melalui aktivitas bertani padi. Kami menyebut kebersamaan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan itu dengan sebutan sibalii. Di kampung, kami sedang memasuki

Pidato Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Dalam Rangka Perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia

(International Day Of The World’s Indigenous Peoples)

Museum Nasional, Jakarta, 9 Agustus 2016

 “Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat Adat”

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Berdaulat !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Mandiri !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Bermartabat !

Sebelumnya, ijinkan saya mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa atas perlindunganNya dan kepada para leluhur Masyarakat Adat Nusantara atas terselenggaranya serangkaian acara kita di tempat ini, di Museum Nasional, Jakarta. Terimakasih kepada Direktur Museum Nasional dan Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas kerjasama dan kesediaannya menerima kita semua, para utusan Masyarakat Adat, para penggiat dan pemandu spritual, para seniman dan budayawan dari seluruh pelosok Nusantara, Pemerintah Indonesia, Komnas HAM RI, para Duta Besar dari Negara-negara sahabat, para mitra, pendukung dan para sahabat dalam gerakan Masyarakat Adat Nusantara.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Salam sejahtera untuk kita semua

Sampurasun. Rahayu. Tabea. Horas!

Yang saya hormati :

  • Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhajir Effendy.
  • Pelapor Khusus KOMNAS HAM RI tentang Masyarakat Adat, Ibu Sandrayati Moniaga
  • Utusan Kedutaan-Kedutaan Besar Negara Sahabat di Jakarta.
  • Seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan para anggota DPR, DPRD yang hadir.
  • Bapak, Ibu Utusan Masyarakat Adat se Nusantara.
  • Bapak, Ibu, Saudara-saudari para undangan dan hadirin yang saya hormati.
  • Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia.

Mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saya mengucapkan terimakasih atas kehadiran Bapak/Ibu dan Saudara-Saudari semua dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), International Day of the World’s Indigenous Peoples, hari ini, 9 Agustus, yang dinyatakan sebagai hari besar oleh PBB pada tahun 1994 untuk memajukan dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia melalui Resolusi Majelis Umum PBB 49/214 tanggal 23 Desember 1994. Pada hari raya ini, kita merayakan pencapaian dan sumbangan yang telah diberikan oleh Masyarakat Adat kepada dunia, kepada kehidupan bersama kita di bumi ini.

9 Agustus diambil dari waktu pertama sekali UN Working Group on Indigenous Population bersidang di Jenewa tahun 1982. Tema perayaan HIMAS dari PBB untuk 2016 ini adalah: Indigenous Peoples’ Right to Education. Dengan tema ini, kita diingatkan betapa pentingnya pendidikan bagi Masyarakat adat. Pendidikan yang sesuai dengan budaya, spritualitas dan kepentingan Masyarakat adat akan memberdayakan mereka, tetapi pendidikan yang merendahkan budaya-budaya lokal yang beragam ini justru akan melemahkan dan bahkan dalam jangka panjang akan memusnahkan Masyarakat Adat. Pendidikan adalah hak. Tetapi pemenuhan hak atas pendidikan ini tidak boleh mengurangi hak azasi manusia, khususnya hak kolektif Masyarakat adat atas budaya dan spritualitasnya. Pemerintah wajib memastikan bahwa sistim pendidikan kita bebas diskriminasi. Masyarakat adat harus mendapatkan akses terhadap layanan pendidikan selaras dengan budaya mereka dan dalam bahasa ibu yang mereka kuasai.

Bapak, Ibu yang saya muliakan, para undangan yang saya hormati,

Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia

Hak Masyarakat Adat atas pendidikan ini ditegaskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat/UNDRIP. Pasal 14 dekrasi ini menyatakan bahwa “Masyarakat Adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol sistem pendidikan mereka dan lembaga yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dalam cara yang sesuai dengan metode budaya mengajar dan belajar mereka”. Tujuan 4 dari Agenda 2030 tentang Pembangunan Berkelanjutan juga mengamatkan untuk memastikan akses yang sama untuk semua tingkat pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk kalangan rentan, termasuk disabilitas, Masyarakat Adat dan anak-anak dalam situasi rentan. Bahan UU Sisdiknas kita juga mengamanatkan bahwa “Masyarakat Adat terpencil berhak mendapatkan layanan khusus pendidikan”.

Meskipun berbagai instrumen di atas sudah ada, namun hak untuk pendidikan belum dinikmati sepenuhnya oleh sebagian besar Masyarakat Adat. Demikian juga kesenjangan status pendidikan masih jauh antara Masyarakat Adat dan masyarakat umum.   Data yang tersedia menunjukkan bahwa di seluruh dunia masih terdapat perbedaan mencolok antara Masyarakat Adat dengan masyarakat umum terkait akses terhadap pendidikan, daya serap dan prestasi. Sektor pendidikan tidak hanya mencerminkan sejarah kekerasan, diskriminasi dan marjinalisasi yang diderita oleh Masyarakat Adat, tetapi juga merefleksikan perjuangan atas kesetaraan dan dan penghormatan yang layak atas hak-hak mereka sebagai Masyarakat Adat dan individu.

Pada kesempatan ini saya kembali mengingatkan kita semua bahwa Indonesia adalah salah satu negara penandatangan pengesahan deklarasi ini. Banyak kemajuan yang kita telah raih sejak pengesahan deklarasi ini sejak 8 tahun lalu, dan masih lebih banyak lagi yang masih harus kita perjuangkan.  Tantangan masih membentang luas di hadapan kita. Pelapor Khusus PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, kami undang hadir bersama kita pada kesempatan ini untuk bisa memaparkannya di hadapan kita. Saya akan bicara saja tentang  kemajuan gerakan kita dan capaiannya di Indonesia.

Bapak, Ibu yang saya muliakan, para undangan yang saya hormati,

Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia

Indonesia, di awal kemerdekaannya, adalah Negara yang maju dari sisi pengakuan Masyarakat Adat dan hak-haknya. Itu tercermin di dalam Pasal 18 UUD 1945 yang asli. Bahwa Negara “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat” yang akan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Bahkan amandemen kedua Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 pada tahun 2001 menempatkan hak Masyarakat Adat sebagai hak azasi manusia. Sayangnya, sampai hari ini, hanya tinggal 8 hari lagi kita merayakan 71 tahun Indonesia merdeka, UU yang amanatkan konstitusi tersebut belum juga ada.

Meskipun berbagai instrumen internasional dan hukum nasional di atas sudah mengamanatkannya, namun pada kenyataannya hak atas pendidikan belum dinikmati sepenuhnya oleh sebagian besar Masyarakat Adat. Demikian juga kesenjangan status pendidikan masih jauh antara Masyarakat Adat dan masyarakat umum.   Data yang tersedia menunjukkan bahwa di seluruh dunia masih terdapat perbedaan mencolok antara Masyarakat Adat dengan masyarakat umum terkait akses terhadap pendidikan, daya serap pelajaran dan prestasi. Sektor pendidikan tidak hanya mencerminkan sejarah kekerasan, diskriminasi dan marjinalisasi yang diderita oleh Masyarakat Adat, tetapi juga merefleksikan perjuangan atas kesetaraan dan dan penghormatan yang layak atas hak-hak mereka sebagai kelompok, sebagai komunitas Masyarakat Adat, maupun sebagai individu warga negara.

Organisasi kita, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN, sejak berdiri tahun 1999, terus bergelut dengan masalah-masalah ini, baik di lapangan, maupun di arena pengambilan kebijakan di daerah, nasional dan internasional. Perubahan yang perlahan terus bergulir untuk memastikan bahwa Hak Konstitusioanl Masyarakat Adat atas Pendidikan, Budaya dan Spiritualitasnya diimplementasikan sebagai bentuk dari layanan dasar Negara untuk Masyarakat Adat. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah berjanji lewat NAWACITA untuk menghadirkan Negara di tengah Masyarakat Adat sebagai pelindung dan pelayan. Salah satu cara terbaik menghadirkan Negara yang budiman adalah melalui pendidikan yang bebas diskriminasi dan sensitif terhadap beragam budaya Masyarakat Adat Nusantara. Walaupun sampai hari ini kita belum melihat dan merasakan Negara hadir sebagaimana dijanjikan dalam NAWACITA, saya menyerukan agar Masyarakat Adat tidak boleh lelah apalagi putus asa untuk terus-menerus mengingatkan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk melaksanakan komitmennya kepada Masyarakat Adat. Dengan atau tanpa Pemerintah, Masyarakat Adat harus terus bangkit,  terus bergerak, terorganisir  dan terpimpin.

AMAN membuka diri untuk bekerjasama dengan Pemerintah, dalam semangat kemitraan, untuk bersama membenahi sistim dan kelembagaan pendidikan bagi Masyarakat Adat sehingga mampu mengembangkan dan mengendalikan pendidikan bagi generasi penerus masa depan agar tidak punah, tetapi justru berkembang mengikuti jaman tanpa kehilangan jati diri dan identitas budaya. Pendidikan harus kita kembalikan sebagai jalan untuk merealisasikan hak-hak Masyarakat adat, baik yang sudah disepakati dalam berbagai instrument HAM dan perjanjian internasional maupun yang diamantkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional. Kita teruskan dan tingkatkan upaya-upaya yang selama ini sudah kita kerjakan untuk merestorasi bentuk-bentuk pendidikan berbasis bahasa ibu, keyakinan dan budaya Masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara.

Lewat perayaan ini kita terus mendesak Pemerintah, DPR dan DPD RI agar Undang-Undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA)  menjadi RUU Prioritas untuk dibahas dan disahkan pada masa persidangan di tahun 2017  dan mendesak Presiden Jokowi agar Satgas Presiden untuk Masyarakat Adat segera dibentuk.

Bapak, Ibu yang saya muliakan, para undangan yang saya hormati,

Saudara-Saudariku Masyarakat Adat Nusantara yang berbahagia

Untuk penyelenggaraan HIMAS 2016 ini, AMAN merasa bangga dan bersyukur karena mendapat kesempatan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Dirjen Kebudayaan. Mewakili AMAN saya menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga. Bersama-sama kami menyelenggarakan pekan “Pekan Masyarakat Adat Nusantara (PMAN) di Museum Nasional dari tanggal 4-11 Agustus 2016. Mohon kesediaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Dr. Muhadjir Effendy untuk membuka secara resmi “Perayaan HIMAS 2016 dengan tema “Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritualitas Masyarakat Adat”.

Terakhir saya mewakili Pengurus Besar AMAN mengucapkan terimakasih atas dukungan dari Pengelola Museum Nasional dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas kebaikan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari semua.

Selamat merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat se Dunia.

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Berdaulat !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Mandiri !

Masyarakat Adat Bangkit Bersatu, Bermartabat !

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Sampunrasun. Rahayu. Tabea. Horas!

Jakarta, 9  Agustus 2016

Abdon Nababan

Sekjen AMAN