Siaran Pers

Medan, Sabtu, 30/07, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) akan menyelenggarakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke Lima (KMAN V). Abdon Nababan (Sekjen PB AMAN) menyampaikan siaran pers didampingi oleh Harun Noeh (PW AMAN Sumut), Roganda Simanjuntak (PW Aman Tanoh Batak), Arifin Monang Saleh (Deputi PB AMAN dan Ketua OC KMAN V) dan Saurlin Siagian (SC KMAN V).

Abdon Nababan menyampaikan “KMAN V ini merupakan upaya AMAN untuk melakukan refleksi dan konsolidasi organisasi menuju gerakan masyarakat adat yang terpimpin dalam mewujudkan cita-cita untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, bermartabat serta berdaulat secara budaya”. Ia menambahkan bahwa akan “Terdapat 8 sarasehan yang akan mendiskusikan persoalan keorganisasian, posisi masyarakat adat serta persoalan kebangsaan”.

Arifin Saleh Ketua Panitia Pelaksana menyampaikan KMAN V ini akan diselenggarakan pada 13 – 21 Maret di Medan dan Deli Serdang. Saat ini masyarakat adat di Sumatera Utara terus instens melakukan musyawarah mufakat dan bergotong royong mempersiapkan acara tersebut. Masyarakat adat di Sumatera Utara akan menyambut dan menjamu tamu masyarakat adat sebanyak 5.000 masyarakat adat seluruh Indonesia, 2.000 masyarakat adat Sumut dan tamu-tamu masyarakat adat dari luar negeri. Kita sedang mempersiapkan segala sesuatunya.

Presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla adalah pasangan calon yang didukung secara resmi oleh AMAN dalam Pilpres 2014 dengan mewujudkan 6 poin yang tertuang dalam Nawacita yang menjadi komitmen Presiden dan Wakil Presiden, ungkap Abdon Nababan. Karenanya, menurut Abdon “KMAN V ini akan mengundang Presiden dan Wakil Presiden untuk mengevaluasi perwujudan Nawacita”. Ada banyak kejadian-kejadian penting dalam 5 tahun terakhir. Diantaranya masih banyaknya masyarakat adat yang dikriminalisasi dalam memperjuangkan wilayah adatnya terkait masuknya konsesi-konsesi di wilayah adat. Presiden juga dalam bulan ini atau bulan depan sudah menjanjikan adanya Satgas (Satuan Tugas) Presiden Khusus Masyakat Adat. Artinya di bulan Maret 2016 hal ini juga akan kita evaluasi efektifitas kinerja Satgas ini dalam mendoorng mewujudkan hak-hak dan perlindungan masyarakat adat. .

Abdon menyampaikan bahwa hingga kini, AMAN sudah meyelenggarakan Kongres sebayak 4 kali. Hingga Kongres yang ke IV, sudah cukup banyak yang di capai oleh masyarakat adat di Nusantara. Paling tidak dari sisi pembaharuan hukum, sudah semakin banyak peraturan perundangan yang menyebutkan tentang keberadaan masyarakat adat. Sehingga seharusnya tidak ada lagi dari segi hukum yang mengganggu masyarakat adat. Tantangannya adalah bagaimana masyarakat adat masuk di tengah-tengah agenda pemerintah baik didalam catatan maupun administrasi. Capaian lain dari segi pembangunan, selama sekian puluh tahun bekerja bersama pemerintah, kita sudah memiliki model-model pembangunan berbasis kerakyatan di masyarakat adat. Diantaranya pengembangan ekonomi kreatif, pengembagan pariwisata berbasis komunitas, juga berkaitan dengan pengembangan produk-produk budaya dan kelestarian masyarakat adat.

Abdon menyebutkan bahwa masih ada gap yang besar atara komitme politik dan birokrasi. Birokrasi kita masih belum berubah. Krimialisasi yang saat ini di hadapi masyarakat adat dilapangan. Oleh Presiden melalui Menteri KLHK sebenarnya sudah disampaikan surat edaran. Tetapi antara kemauan politik dan birokrasi ini masih jauh untuk sampai kelapangan termasuk di Sumatera Utara. Masih ada kendala dengan pemerintah terkait birokrasi. Tantangan kita masyarakat adat adalah bagaimana pemerintahan kabupaten yambung dengan pemerintahan provinsi dan nyambung juga denga pemerintahan pusat. Sehingga tidak seolah-olah Bupati tidak memiliki pemerintahan sendiri. Presiden dengan semua perangkatnya harus bisa mengendalikan perangkat keamaan sampai kedaerah termasuk perangkat pertahanan. Karena bila tidak wajah nyata pemerintahan itu bukan presiden, tetapi tentara, koramil, camat.

— S e l e s a i —
Keterangan tentang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dapat dilihat di www.aman.or.id

Kontak Media
Wina Khairina (Media KMAN V)
HP: 0812 6321136
E-mail: winakhairina@yahoo.com

Narasumber :
Abdon Nababan (Sekjen AMAN)
HP : 0811111365

Arifin Saleh (Ketua Umum Panitia KMAN V)
HP: 0812 18334211
E-mail: arisaleh@aman.or.id

Pada tanggal 20-21Juli 2016, telah dilakukan suatu rangkaian proses Musyawarah Wilayah (Muswil) KeduaAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Riau, yang dimulai dengan Dialog Kebijakan “Menjemput Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau Dengan Mendedah Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2015 tentang Tanah ulayat dan Pemanfaatannya Sebagai Pemajuan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Propinsi Riau” bersama Kepala Badan Restorasi Gambut, Gubernur Riau yang diwakili Staf Ahli Bidang Pembangunan, Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau, Deputi Direktur WALHI Riau, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Akademisi Bidang Hukum Univ. Islam Riau.

Musyawarah ini dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili oleh Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dan dihadiri olehutusan-utusan komunitas adat anggota AMAN dari seluruh Riau, Sekjen AMAN, Deputi I Sekjen AMAN, Direktur OKK Pengurus Besar (PB) AMAN, Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) AMAN Riau, seluruh Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL)AMAN Riaudan Pengurus Daerah (PD) AMAN di Propinsi Riau serta peninjau dari berbagai mitra AMAN di Riau.

Kami, Masyarakat Adat di Riau, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, terutama terkait tanah dan sumber daya alam di wilayah adat kami, serta kehidupan beragama dan berkeyakinan yang masih kami anut dari leluhur kami.

Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat kamimasih terus menghadapi tantangan sangat berat, karena wilayah-wilayah adat kamiditunjuk dan/atau ditetapkan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Hutan, yang kemudian diserahkan kepada pihak-pihak lain melalui sistem perijinan yang oleh pemerintah daerah diberikan dalam bentuk izin lokasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, serta, oleh pemerintah pusat,dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH).

Kami dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan panganserta kerusakan hutan di wilayah adat kami.Kami juga menemukan bahwa sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki ijin atau memiliki ijin tetapi ijin tersebut diperoleh dengan cara memanipulasi dan menipu warga masyarakat adat pemilik lahan. Bahkan di banyak tempat, kehadiran Taman Nasional dan Suaka Margasatwa di wilayah adat kami telah menjadikan kami kehilangan hak dan akses terhadap tanah leluhur kami. Setelah ditetapkannya”kawasan hutan” di wilayah adat kami, kami justru menjadi ”orang asing di tanah sendiri”.

Kami,khususnya Masyarakat adat Suku Talang Mamak dan Suku Akit, yang teguh mempertahankan dan menganut sistem kepercayaan (agama) dari leluhur kami masih mengalami diskriminasi dan penyingkiran sistematis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sampai hari ini kami belum mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana layaknya Warga Negara Indonesia. Tidak adanya pelayanan administrasi kependudukan dan akses catatan sipil ini telah menjadi pemicu berbagai pelanggaran HAM kami dalam mengakses layanan dasar pendidikan dan kesehatan.

Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam upaya memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau.Oleh sebab itu, kami, seluruh peserta Musyawarah Wilayah (MUSWIL) Ke-IIAMANRiau, merekomendasikan sebagai berikut:

1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
2. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut atau melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar sesuai dengan Putusan MK 45 dan Putusan MK 35.
3. Mendesak kepada Pemerintah dan DPRD Provinsi Riau, seluruh Pemerintah dan DPRD Kabupaten untuk segera membuat PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU No. 6/2014 tentang Desa.
4. Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau agar segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
5. Mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan prosedur dan mekanisme bagi masyarakat adat untuk pendaftaran wilayah dan tanah adat sebagai dasar bagi penyelesaian tumpang-tindih hak dan konflik kepemilikan yang terjadi selama ini.
6. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar mendukung bantuan teknis dan memfasilitasi pendanaan pemetaan partisipatif wilayah adat.
7. Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan skema dan praktek pengembangan inti-plasma dalam usaha perkebunan kelapa sawit yang pada kenyataannya justru menjadi cara efektif dari pihak perusahaan untuk mengambil alih tanah-tanah adat dengan harga yang murah dan bahkan gratis karena hanya dibayar dengan beban kredit bagi petani yang justru pengembaliannya juga dibebankan kepada masyarakat adat pemilik tanah.
8. Mendesak agar pemerintah segera membuat dan menyediakan mekanisme resolusi konflik. Dalam proses resolusi konflik tersebut, kami mendesak pemerintah pusat hingga pemerintah desa untuk menghentikan upaya-upaya pemindahan hak atas wilayah adat melalui jual beli tanah adat.
9. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus pengeluaran izin lokasi, izin usaha dan HGU perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang masuk ke wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat dan dalam prosesnya terindikasi ada praktek korupsi dan manipulasi.
10. Mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan terkait dengan keberadaan perusahan-perusahaan, baik perkebunan sawit, pertambangan maupun Hutan Tanaman Industri di wilayah adat. Audit ini mendesak untuk dilakukan mengingat parahnya kerusakan lingkungan dan terjadinya kekeringan sumber-sumber mata air yang menjadi hajat hidup Masyarakat Adat di Propinsi Riau.
11. Meninjau ulang dan melakukan revisi terhadap Perda No. 10 Tahun 2015 agar sesuai dengan Putusan MK 35 dan UU Desa. Kami selanjutnya mendesak agar Gubernur segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang implementasi dari Perda yang telah direvisi tersebut.
12. Memastikan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, khususnya bagi warga suku talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu dan warga Suku Akit Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti yang masih menganut kepercayaan leluhur.
13. Mendesak pemerintah untuk mengidentifikasi Masyarakat Adat yang berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi, yang keberadaannya masih terisolasi, khususnya yang berada di Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
14. Mendesak pemerintah untuk segera melakukan restorasi hutan mangrove/bakau di wilayah adat Suku Akit di Kabupaten Bengkalis.
Selanjutnya, kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.

Sehubungan dengan itu, kami mendesak pemerintah, untuk menghentikan operasi dan mencabut ijin dari perusahaan-perusahaan berikut ini :
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu: 1) PT. Runggu Prima Jaya, 2) PT. Selantai Agro Lestari, 3) PT. INECDA Plantation, 4) PT. Perkebunan Nusantara V, 5) PT. Seko Indah, 6) PT. Sinar Mas, 7) PT. MEGA, 8) PT. ARVENA Sepakat, 9) PT. Sinar Widita Pamarta, 10) PT. Bukit Betabuh Sungai Indah, 11). PT. Pertamina, 12) PT. Kharisma, 13) PT. Rigunas,
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Kuntu dan Padang Sawah di Kabupaten Kampar, yakni : 1) PT. Kebun Pantai Raja; 2) PT. RAPP, 3) PT. Perawang Sukses Perkasa Industri.
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Lenggadai Hilir di Kabupaten Rokan hilir, yakni : 1) PT. Sindora Seraya Group, 2) PT. Diamond Raya Timber
 Perusahaan di wilayah adat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, yakni PT. Arara Abadidan;
 Perusahaan di wilayah adat Suku Akit di Kecamatan Bantan, yakni PT. Rokan Riang Lestari.

Kami juga menolak Peraturan Presiden tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Hutan Lindung Bukit Betabuh, Hutan Lindung Mahato, jika tidak mengakomodir wilayah adat.

Sebagai penutup dari Resolusi dan Rekomendasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat di seluruh pelosok Riau.

Kami, Masyarakat Adat peserta MUSWIL II AMAN Riau bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Pekanbaru, 21 juli 2016

Selasa, 28 Juni 2016. Masuknya perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) di Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur telah menyebabkan terjadinya intimidasi dan ancaman pembunuhan bagi masyarakat adat Muara Tae yang memilih untuk tidak melepaskan lahannya.
Kejadian terbaru ini dipicu oleh surat panggilan dari Kepala Kepolisian Sektor Jempang pada 22 Juni 2016 kepada Petrus Asuy (tokoh masyarakat adat Muara Tae) untuk menghadiri pertemuan mediasi atas permintaan PT. BSMJ terkait klaim lahan masyarakat adat di Kampung Muara Tae. Petrus Asuy diminta menandatangani dokumen verifikasi lahan yang dilakukan oleh pengurus kampung dan PT. BSMJ.
Melalui surat balasan atas pemanggilan Kapolsek (23/6), Petrus Asuy menegaskan bahwa dirinya tidak akan menghadiri pertemuan mediasi ini karena Kapolsek tidak seharusnya melakukan mediasi yang bukan merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak, dan ditengarai bahwa dokumen verifikasi kepemilikan lahan tersebut tidak valid. Petrus Asuy juga menambahkan bahwa permasalahan ini sudah diproses di tingkat nasional melalui Komnas HAM dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Masrani, tokoh masyarakat Muara Tae lainnya menyatakan, “Disebabkan oleh penolakan ini, kami mendapat intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kelompok pendukung perusahaan. Kami membutuhkan perlindungan hukum.”
Konflik agraria di Kampung Muara Tae telah terjadi sejak 1971, bahkan hingga saat ini bertambah banyak dan tidak satu pun diselesaikan. Sejak 1971, Kampung Muara Tae dengan luasan 12.000 hektar telah disekat-sekat oleh enam perusahaan. Kehadiran sejumlah perusahaan ini memicu konflik agraria berkepanjangan akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan yang tambang silih berganti menguasai lahan dari Suku Dayak Benuaq ini.
Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak, Zainuri Hasyim, mengecam tindakan intimidasi dan ancaman pembunuhan ini. “Permasalahan yang terjadi di Muara Tae merupakan dampak dari gagalnya Pemerintah melakukan pembenahan dalam bidang agraria yang kuat keterkaitannya dengan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan di tingkat tapak, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan atas lahan masyarakat,” ujarnya.
Abdon Nababan selaku Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan, “Inkuiri Nasional Komnas HAM RI telah menemukan beragam pelanggaran HAM kolektif maupun individual yang dialami masyarakat adat Kampung Muara Tae. Komnas HAM pun sudah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi puluhan tahun ini.”
Pihak perusahaan PT. BSMJ menggunakan aparat keamanan menjadi mediator sengketa klaim di antara sesama warga masyarakat adat tanpa persiapan awal yang layak untuk proses mediasi yang adil dan berimbang, yang kemudian menimbulkan permusuhan yang berujung pada ancaman pembunuhan.
“Pemerintah harus menghentikan  pelanggaran HAM ini, termasuk upaya-upaya mengalihkan perampasan tanah adat Kampung Muara Tae oleh PT. BSMJ menjadi sengketa lahan antara warga masyarakat adat. AMAN mendesak KAPOLRI mengusut ancaman pembunuhan kepada Petrus Asuy dan keluarganya, serta memastikan persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Adat Muara Tae bisa terselesaikan dengan damai tanpa kekerasan”, demikian sambung Abdon Nababan.

Masyarakat adat Muara Tae terus berjuang dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan wilayah adatnya, termasuk berkali-kali menghadang buldozer perusahaan yang dikawal oleh aparat negara. Dalam perjuangan panjang perlawanan tersebut, masyarakat Muara Tae mengalami berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Berbagai upaya advokasi juga dilakukan melalui laporan kepada Pemerintah daerah, Komnas HAM, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan surat langsung kepada Menteri Desa.
“Sudah saatnya Presiden Joko Widodo turun tangan untuk menuntaskan permasalahan yang telah berlangsung sejak 45 tahun lalu,” tegas Zainuri Hasyim. “Penyelesaian masalah di Muara Tae akan menuntaskan penderitaan masyarakat, sekaligus akan menjadi preseden bagi penyelesaian konflik yang menimpa masyarakat adat di tempat lainnya,” ujarnya.

Kontak untuk informasi lanjutan:
Masrani – tokoh Masyarakat Adat Muara Tae; 0822.5527.4194; petinggimuaratae@gmail.com
Abdon Nababan – Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); 0811.11.1365 abdon.nababan@aman.or.id
Zainuri Hasyim – Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak; 0811.75.4409; zainurihasyim@gmail.com

download Press Rilis

Catatan bagi editor:
Upaya penolakan masyarakat Muara Tae yang gigih dan berkepanjangan mendapatkan perhatian dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam bentuk penghargaan Equator Prize pada September 2015 lalu. Selengkapnya lihat http://www.equatorinitiative.org/index.php?option=com_content&view=article&id=924&Itemid=1173&lang=en#komunitas-adat-muara-tae-indonesia
Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.
Inkuiri Nasional adalah upaya Komnas HAM memberikan kontribusi pada upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.  Inkuiri nasional menerapkan fungsi pemantauan untuk menyelidiki (investigasi) kasus, fungsi penelitian dan pengkajian untuk menganalisis akar masalah dan merumuskan rekomendasi pemulihan pelanggaran HAM.
Tema hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) atas wilayah adat dipilih karena persoalan ini memiliki dimensi HAM yang kuat. Lebih lengkap bisa ditelusuri di http://www.komnasham.go.id/kabar-latuharhary/komnas-ham-luncurkan-4-empat-buku-inkuiri-nasional dan https://drive.google.com/file/d/0B9oSBEtjy7UPN2w3cXRMR2t4RDQ/view?usp=drivesdk halaman 198-215
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara.
Perkumpulan Kaoem Telapak, organisasi transformasi dari Perkumpulan Telapak, sebagai wadah untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kemartabatan konstituennya, yaitu kaum petani, nelayan, dan masyarakat adat di Indonesia. Perkumpulan ini bercita-cita untuk mewujudkan keadilan antar unsur alam dan antar generasi dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di Indonesia.

Kriminalisasi Marak Ormas Sipil Minta Presiden Bentuk TIM Penyelesaian Kasus
Jakarta 19/6/2016 – Akhir-akhir ini kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan makin marak terjadi di Indonesia. Pada sisi lain penegakan hukum hanya menjadi alat untuk memaksa agar seseorang, kelompok atau institusi tidak meneruskan pekerjaan atau kegiatannya.

Menurut Haris Azhar Koordinator KontraS, kriminalisasi atau bentuk pemidanaan yang dipaksakan tersebut terjadi bukan karena melanggar hukum melainkan karena motif bisnis, persaingan politik dan penerapan hukum acara yang tidak tepat.

KontraS mencatat sedikitnya 25 kasus kriminalisasi terjadi sepanjang 2015 sebagaimana yang disampaikan pada konferensi pers (19/6/2016). Abdul Halim – KIARA menyampaikan sejak 2013 s/d Juni 2016 ada 30 masyarakat pesisir mengalami kriminalisasi terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Jepara, Brebes, Batang. Provinsi – NTB Lombok Timur, Lampung – Tulang Bawang, Sulawesi Tengah – Toli-toli.

Monica dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan ada 220 kasus kriminalisasi terjadi terhadap masyarakat adat pada tahun 2015. Empat orang tetua Semende Banding Agung Bengkulu terjerat UU P3H divonis tiga tahun penjara denda Rp 1,5 miliar masih menjalani tahanan. Bachtiar Sabang dari Sinjai Sulsel juga dijerat UU P3H.

Kasus masyarakat adat paling menghebohkan dialami oleh Bokum dan Nuhu Suku Tobelo Dalam (Togutil), Halmahera dituduh melakukan pembunuhan berantai. Suatu perbuatan yang tidak pernah mereka akui. Secara ruang jelajah (suku Tobelo antara satu dan lainnya memiliki ruang teritorial sendiri-sendiri) TKP sangat jauh dari tempat mereka berada saat peristiwa terjadi serta alat bukti panah bukan khas mereka) pembunuhan itu tidak mungkin dilakukan tersangka. Sebuah pengadilan yang tidak adil dipaksakan untuk mengadili mereka berdua dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Bokum dan Nuhu. Keduanya divonis 14 tahun penjara, denda Rp 100 juta. Sementara fakta lain di wilayah mereka beroperasi sebuah perusahaan tambang.

Dalam kesempatan ini Yahya Zakaria dari KPA menyampaikan bahwa sejak Desember 2015 jumlah kriminalisasi dalam konflik agraria meningkat dari tahun ke tahun. Selama dekade 2004-2014 jumlah pejuang agraria yang ditangkap mencapai 1395 orang.

Beberapa bulan terakhir terjadi kriminalisasi terhadap petani Ujang Sukandi, Rismaludin dari Serikat Tani Indramayu (STI) dijerat UU P3H (pengrusakan hutan) dengan tuduhan merambah hutan tanpa izin. Dalam pemeriksaan terhadap Ujang aparat terbukti melalukan intimidasi. Rismaludin pemimpin Serikat Tani Pagar Dewa, Muara Enim, Prov Sumatera Selatan ditangkap padahal Rismaludin baru saja bebas menjalani hukum selama setahun. dengan tuduhan pengancaman dan pencurian getah karet. Dia kemudian diancam beberapa pasal pidana. Tiga petani Paguyuban Petani Kendal juga dijerat UU P3H, karena lahan yang sudah mereka kuasai sejak dulu diklaim sebagai tanah Perhutani. Realitanya Perhutani telah tukar guling dengan PT Semen Indonesia lalu mengambil wilayah mereka.

Kriminalisasi Awak Media

Kriminalisasi terjadi tidak hanya menyangkut persoalan agraria saja, Asep Komarudin LBH Pers mengatakan tiap tahun setidaknya tiga sampai empat kriminalisasi terhadap jurnalis terjadi. Kebebasan pers dan berekspresi semakin mengkhawatirkan. Menurut data World Press Freedom 2015 posisi Indonesi merah, ranking 138 dari 180 negara. Sepanjang tahun 2015 AJI Indonesia mencatat 43 kasus kekerasan dialami jurnalis tiga diantaranya kasus kriminalisasi.

Kasus kriminalisasi bukan lagi kepada medianya tetapi kepada narasumber, seseorang yang memberi keterangan kritis kepada media namun dituduh melakukan pencemaran nama baik. Dua orang anggota ICW dilaporkan melakukan pencemaran nama baik karena statemennya disejumlah media. Padahal Dewan Pers sudah merekomendasikan bahwa itu proses jurnalistik seharusnya mengikuti UU Pers yang sudah ada. Tapi pihak Bareskrim Mabes Polri tetap melanjutkan laporan tersebut.

Kasus narasumber lainnya menimpa Erwin dianggap menghina lembaga kepolisian karena pernyataannya di acara Lawyers Club. Pernyataan Erwin dalam acara talk show tersebut menyebut Bareskrim adalah mesin kriminalisasi. Kemudian dia dilaporkan dengan pasal 207 KUHP yaitu menghindar dari badan hukum – institusi kepolisian. Kasus lainnya terjadi di Pekanbaru bermula dia adalah korban pengeroyokan sejumlah anggota kepolisian karena mengambil gambar. Lalu dilaporkan balik bahwa dia yang menghina lembaga kepolisian akibat kata-katanya justru saat dipukuli itu. Kasus-kasus pencemaran nama baik lewat media online juga banyak menggunakan UU ETI padahal kritik yang disampaikan menyangkut pelayanan publik.

Asep menyoroti aktifitas pelarangan diskusi di lapangan.”Warga yang seharusnya dilindungi ketika menyampaikan ekspresinya, dihambat dengan alasan jika diskusi tetap dijalankan, polisi tidak bertanggung jawab kalau nanti dibubarkan oleh organisasi massa yang menentang diskusi tersebut. Polisi membuat diskresinya sendiri, bahwa diskusi tersebut tidak bisa dilaksanakan. Padahal tugas polisi seharusnya melindungi warga, malah menjadi aktor yang menghalang-halangi penyampaian kebebasan berekspresi yang sah,” papar Asep.

Hukum Acara

Ichsan Zikry dari LBH menyampaikan bahwa dua orang abdi hukum LBH Jakarta ditangkap ketika mendokumentasikan aksi menolak Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang pengupahan bersama 23 orang buruh pada (23/10/2015). Setidaknya 49 orang dikriminalisasi pada tahun 2015. “Semoga hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi saat Kapolri baru terpilih nanti,” kata Zikry . Dia menambahkan pelanggaran terhadap hukum acara kerap dilakukan, tanpa adanya pengawasan. Tidak adanya pemberitahuan penyidikan saat mulai melakukan penyidikan kepada penuntut umum disebut sebagai hukum acara.

Faktanya sepanjang 2012-2014 dari 600 ribu-an perkara yang diselidiki oleh kepolisian 250.000 diantaranya tidak diberitahukan ke penuntut umum. Seringkali sudah ada tersangka akhirnya mengambang, pada dasarnya hanya polisi yang tahu. Keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan kasus murni ada didiskresi polisi saja. Dari 250 ribu perkara tersebut 47.000 dikembalikan kepada penyidik.

Dalam kondisi seperti itu penyidik cenderung mendiamkan – tidak mengembalikan lagi kasus tersebut kepada penuntut umum – digantung oleh penyidik. Hal ini terjadi secara sistematis dalam skala nasional, bukan hanya karena oknum, tapi sistem yang membuka luas terjadinya kriminalisasi. “Ini catatan buat Kapolri siapapun terpilih nantinya harus bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus kriminalisasi,” pungkas Zikry. KontraS, KPA, KIARA, LBH Pers, AMAN, ICW, LBH Jakarta meminta Presiden membentuk team khusus menangani kriminalisasi. ****JLG

Pernyataan Sikap: Rapat Pengurus Besar (RPB) KE XVII AMAN

Rapat Pengurus Besar (RPB) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke XVII yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 2016 di Bogor, Jawa Barat, membahas berbagai perkembangan terakhir terkait Masyarakat Adat di Indonesia. Pertemuan 6 bulanan Pengurus Besar (PB) AMAN ini dihadiri oleh Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) dari 7 Region, Sekretaris Jendral AMAN beserta para deputi dan direktur program, serta Organisasi Sayap dan Badan Otonom AMAN. RPB AMAN ke XVII membahas implementasi

Klarifikasi Atas Pernyataan Kapolda Maluku Utara Terkait Penangkapan Mahasiswa Literasi di AMAN Maluku Utara

Siaran Pers ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) MALUKU UTARA Klarifikasi Atas Pernyataan Kapolda Maluku Utara Terkait Penangkapan Aktivis Relawan Mahasiswa Literasi di AMAN Maluku Utara Ternate, 19 Mei 2016, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara menyesalkan pernyataan Kapolda Brigjen (Pol) Zulkarnain Adinegara yang dikutip oleh Malut Post Edisi Kamis, 19 Mei 2016 yang menyudutkan AMAN sebagai organisasi Masyarakat Adat Nusantara. Pernyataan yang dikutip oleh Malut Post tersebut berbunyi, “Tapi

Siaran Pers Simposium Masyarakat Adat II Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum

Tiga Tahun Pasca Putusan No. 35/PUU-X/2012:Hak-Hak Masyarakat Adat Harus Diperjuangkan Bersama Jakarta, 16 Mei 2016 – Luas wilayah adat Indonesia mencapai lebih dari 40 juta hektar. Namun pengakuannya masih sangat minim sekali. Dalam kajian Epistema Institute di tahun 2015, hanya 15.577 hektar wilayah adat yang diberikan pengakuan yang itupun dilakukan melalui regulasi daerah. Kemajuan pengakuan wilayah adat seharusnya dipercepat melalui oleh pemerintah dengan didorong kelompok-kelompok masyarakat yang peduli nasib masyarakat