Pada tanggal 20-21Juli 2016, telah dilakukan suatu rangkaian proses Musyawarah Wilayah (Muswil) KeduaAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Riau, yang dimulai dengan Dialog Kebijakan “Menjemput Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau Dengan Mendedah Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2015 tentang Tanah ulayat dan Pemanfaatannya Sebagai Pemajuan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Propinsi Riau” bersama Kepala Badan Restorasi Gambut, Gubernur Riau yang diwakili Staf Ahli Bidang Pembangunan, Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau, Deputi Direktur WALHI Riau, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Akademisi Bidang Hukum Univ. Islam Riau.
Musyawarah ini dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili oleh Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dan dihadiri olehutusan-utusan komunitas adat anggota AMAN dari seluruh Riau, Sekjen AMAN, Deputi I Sekjen AMAN, Direktur OKK Pengurus Besar (PB) AMAN, Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) AMAN Riau, seluruh Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL)AMAN Riaudan Pengurus Daerah (PD) AMAN di Propinsi Riau serta peninjau dari berbagai mitra AMAN di Riau.
Kami, Masyarakat Adat di Riau, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, terutama terkait tanah dan sumber daya alam di wilayah adat kami, serta kehidupan beragama dan berkeyakinan yang masih kami anut dari leluhur kami.
Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat kamimasih terus menghadapi tantangan sangat berat, karena wilayah-wilayah adat kamiditunjuk dan/atau ditetapkan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Hutan, yang kemudian diserahkan kepada pihak-pihak lain melalui sistem perijinan yang oleh pemerintah daerah diberikan dalam bentuk izin lokasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, serta, oleh pemerintah pusat,dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH).
Kami dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan panganserta kerusakan hutan di wilayah adat kami.Kami juga menemukan bahwa sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki ijin atau memiliki ijin tetapi ijin tersebut diperoleh dengan cara memanipulasi dan menipu warga masyarakat adat pemilik lahan. Bahkan di banyak tempat, kehadiran Taman Nasional dan Suaka Margasatwa di wilayah adat kami telah menjadikan kami kehilangan hak dan akses terhadap tanah leluhur kami. Setelah ditetapkannya”kawasan hutan” di wilayah adat kami, kami justru menjadi ”orang asing di tanah sendiri”.
Kami,khususnya Masyarakat adat Suku Talang Mamak dan Suku Akit, yang teguh mempertahankan dan menganut sistem kepercayaan (agama) dari leluhur kami masih mengalami diskriminasi dan penyingkiran sistematis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sampai hari ini kami belum mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana layaknya Warga Negara Indonesia. Tidak adanya pelayanan administrasi kependudukan dan akses catatan sipil ini telah menjadi pemicu berbagai pelanggaran HAM kami dalam mengakses layanan dasar pendidikan dan kesehatan.
Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam upaya memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau.Oleh sebab itu, kami, seluruh peserta Musyawarah Wilayah (MUSWIL) Ke-IIAMANRiau, merekomendasikan sebagai berikut:
1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
2. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut atau melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar sesuai dengan Putusan MK 45 dan Putusan MK 35.
3. Mendesak kepada Pemerintah dan DPRD Provinsi Riau, seluruh Pemerintah dan DPRD Kabupaten untuk segera membuat PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU No. 6/2014 tentang Desa.
4. Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau agar segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
5. Mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan prosedur dan mekanisme bagi masyarakat adat untuk pendaftaran wilayah dan tanah adat sebagai dasar bagi penyelesaian tumpang-tindih hak dan konflik kepemilikan yang terjadi selama ini.
6. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar mendukung bantuan teknis dan memfasilitasi pendanaan pemetaan partisipatif wilayah adat.
7. Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan skema dan praktek pengembangan inti-plasma dalam usaha perkebunan kelapa sawit yang pada kenyataannya justru menjadi cara efektif dari pihak perusahaan untuk mengambil alih tanah-tanah adat dengan harga yang murah dan bahkan gratis karena hanya dibayar dengan beban kredit bagi petani yang justru pengembaliannya juga dibebankan kepada masyarakat adat pemilik tanah.
8. Mendesak agar pemerintah segera membuat dan menyediakan mekanisme resolusi konflik. Dalam proses resolusi konflik tersebut, kami mendesak pemerintah pusat hingga pemerintah desa untuk menghentikan upaya-upaya pemindahan hak atas wilayah adat melalui jual beli tanah adat.
9. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus pengeluaran izin lokasi, izin usaha dan HGU perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang masuk ke wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat dan dalam prosesnya terindikasi ada praktek korupsi dan manipulasi.
10. Mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan terkait dengan keberadaan perusahan-perusahaan, baik perkebunan sawit, pertambangan maupun Hutan Tanaman Industri di wilayah adat. Audit ini mendesak untuk dilakukan mengingat parahnya kerusakan lingkungan dan terjadinya kekeringan sumber-sumber mata air yang menjadi hajat hidup Masyarakat Adat di Propinsi Riau.
11. Meninjau ulang dan melakukan revisi terhadap Perda No. 10 Tahun 2015 agar sesuai dengan Putusan MK 35 dan UU Desa. Kami selanjutnya mendesak agar Gubernur segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang implementasi dari Perda yang telah direvisi tersebut.
12. Memastikan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, khususnya bagi warga suku talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu dan warga Suku Akit Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti yang masih menganut kepercayaan leluhur.
13. Mendesak pemerintah untuk mengidentifikasi Masyarakat Adat yang berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi, yang keberadaannya masih terisolasi, khususnya yang berada di Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
14. Mendesak pemerintah untuk segera melakukan restorasi hutan mangrove/bakau di wilayah adat Suku Akit di Kabupaten Bengkalis.
Selanjutnya, kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.
Sehubungan dengan itu, kami mendesak pemerintah, untuk menghentikan operasi dan mencabut ijin dari perusahaan-perusahaan berikut ini :
Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu: 1) PT. Runggu Prima Jaya, 2) PT. Selantai Agro Lestari, 3) PT. INECDA Plantation, 4) PT. Perkebunan Nusantara V, 5) PT. Seko Indah, 6) PT. Sinar Mas, 7) PT. MEGA, 8) PT. ARVENA Sepakat, 9) PT. Sinar Widita Pamarta, 10) PT. Bukit Betabuh Sungai Indah, 11). PT. Pertamina, 12) PT. Kharisma, 13) PT. Rigunas,
Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Kuntu dan Padang Sawah di Kabupaten Kampar, yakni : 1) PT. Kebun Pantai Raja; 2) PT. RAPP, 3) PT. Perawang Sukses Perkasa Industri.
Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Lenggadai Hilir di Kabupaten Rokan hilir, yakni : 1) PT. Sindora Seraya Group, 2) PT. Diamond Raya Timber
Perusahaan di wilayah adat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, yakni PT. Arara Abadidan;
Perusahaan di wilayah adat Suku Akit di Kecamatan Bantan, yakni PT. Rokan Riang Lestari.
Kami juga menolak Peraturan Presiden tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Hutan Lindung Bukit Betabuh, Hutan Lindung Mahato, jika tidak mengakomodir wilayah adat.
Sebagai penutup dari Resolusi dan Rekomendasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat di seluruh pelosok Riau.
Kami, Masyarakat Adat peserta MUSWIL II AMAN Riau bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.
Pekanbaru, 21 juli 2016
∞