Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Maskur Anang terkait hak masyarakat atas penguasaan hutan, Senin (16/7/2012).
Sidang putusan dipimpin Ketua MK, Mahfud MD, dengan enam anggota Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadil Sumadi dan Anwar Usman.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menyatakan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Mahfud.
Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional’.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengungkapkan penguasaan hutan oleh negara menurut UU Kehutanan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
UU Kehutanan juga menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Hal demikian dikarenakan hutan harus diurus, dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Berbagai tindakan pemerintah sendiri dalam melakukan regulasi tentang penetapan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan harus tetap berdasarkan hukum dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.
Hakim anggota Anwar Usman mengatakan bahwa MK dalam Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, bertanggal 21 Februari 2012, telah memberikan pertimbangan bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya. Akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers).
Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.
Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
Selanjutnya pada Putusan Nomor 32/PUU-VIII/2010, bertanggal 4 Juni 2012, Mahkamah juga telah memberi pertimbangan bahwa penggunaan kata ‘dengan memperhatikan’ sebagaimana dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009 sebenarnya memiliki makna imperatif yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat menetapkan WP, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah.
Hal itu untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun sebagaimana dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Oleh karenanya, untuk lebih memperkuat fungsi kontrol masyarakat terhadap Pemerintah dan sekaligus untuk menjamin kepastian hukum yang adil baik bagi masyarakat secara umum maupun masyarakat yang secara khusus berada dalam WP dan masyarakat yang terkena dampak, termasuk para pelaku usaha pertambangan, menurut Mahkamah, fungsi kontrol tersebut tidak cukup hanya dilakukan melalui forum konsultasi dengan DPR RI, namun juga harus diperkuat melalui fungsi kontrol yang dilakukan langsung oleh masyarakat.
Khususnya masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam WP dan masyarakat yang akan terkena dampak.
“Dalil Pemohon, Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, menurut Mahkamah, kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b tersebut adalah salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air yang dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih dahulu ada di wilayah tersebut,” tambah hakim anggota, Ahmad Fadlil Sumadi.
Dalam hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak. Mahkamah tidak menemukan pertentangan antara norma Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Kehutanan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan yang didalilkan Pemohon hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat, padahal seharusnya juga memperhatikan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga dinilai bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Karenanya Pemohon memohon agar Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan seharusnya berbunyi ‘Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak atas tanah yang telah terbebani hak berdasarkan undangundang, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional’.
“Pemohon beralasan bahwa dengan tidak adanya pengakuan hak atas tanah yang telah terbebani hak berdasarkan Undang-Undang, hal tersebut merugikan Pemohon. Di luar kasus konkret yang dihadapi oleh Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonannya, Mahkamah dapat membenarkan substansi dalil permohonan Pemohon tersebut,” ucap Ahmad Fadlil.
Menurut Mahkamah, dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma a quo.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak memuat pula hak atas tanah yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[jat]
Sumber : Inilah.Com