Perjuangan Panjang Masyarakat Adat Kajang dalam Mendapatkan Pengakuan Hukum dari Negara

Perjuangan Panjang Masyarakat Adat Kajang dalam Mendapatkan Pengakuan Hukum dari Negara

(Catatan Kecil Proses Penyusunan Peraturan Daerah Kab.Bulukumba No.9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Ammatoa Kajang)
oleh: Muhammad Arman

Jagai linoa lollong bonena
Kammayatoppa langi’ka, rupa tau siagang boronga” Pasang ri Kajang
( Jagalah dunia beserta seluruh isinya, langit, umat manusia dan hutan)
Petuah Orang Kajang

Latar belakang
Komunitas Masyarakat Adat Kajang adalah Komunitas adat yang terletak di bagian timur Kab.Bulukumba. Cikal bakal Masyarakat Adat Kajang dan wilayahnya tergambar dalam mitologi asal mula kemunculan To Manurung, Tau Mariolo, manusia pertama di Kajang dan menjadi Ammatoa pertama, pemimpin adat Masyarakat Adat Kajang.

Keberadaan Masyarakat Adat Kajang sangat terkenal sejak dahulu kala. Pada tahun 1931, Abraham Cense (Ahli bahasa kolonial) melakukan studi etnografis tentang Masyarakat Adat Kajang dan menemukan fakta bahwa Masyarakat Adat Kajang memiliki keistemewaan dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya diantaranya adalah mengenai kepercayaan, budaya dan gaya hidup mereka. Masyarakat Adat Kajang memiliki filosofi hidup “Tallasa kamase-kamase” hidup dalam kesederhanan.

Menurut pandangan yang disampaikan oleh Ammatoa dan sejumlah tokoh adat dalam wawancara Tim Peneliti Penyusunan Rancangan Perda Pengakuhan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang tahun 2013 menyatakan, bahwa sejak dahulu kala Masyarakat Adat Ammatoa Kajang hidup di wilayah Bulukumba dalam kelompok-kelompok atau persekutuan sosial yang menyebar di berbagai kampung di dalam “Sulapa Appa”, sebagai batas di mana mereka menyebar. “Sulapa Appa” dalam pemahaman pemangku adat di komunitas tersebut adalah segi empat batas wilayah, yang melintasi Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya. Batas-batas wilayah adat Kajang tersebut berada di tiga wilayah administratif pemerintahan kecamatan, yaitu Kecamatan Kajang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Ujung Loe.

Kehidupan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang mulai terusik setelah pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba memberikan izin konsesi kepada PT.Lonsum diatas wilayah adat Kajang. Konflik ini telah berlangsung lama dan menimbulkan korban jiwa dan materi bagi Masyarakat Adat Kajang. Selain itu wilayah adat Kajang diklaim secara sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan negara. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidaknya adanya pengakuan hukum oleh negara terhadap keberadaan Masyarakat Adat Kajang. Dalam berbagai forum diskusi yang dilaksnakan oleh CSO maupun Pemerintah Daerah menyimpulkan bahwa penting untuk mendorong lahirnya kebijakan pemerintah yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat Kajang dan Hak haknya sebagai salah satu jalan resolusi konflik.

Cahaya Kecil ditengah Kegelapan
Gagasan pengakuan hukum Masyarakat Adat Kajang dimulai sejak tahun 2008 oleh pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba dengan menyusun Rancangan Perda tentang Penetapan Hutan Adat Kajang. Tetapi inisiatif ini gagal ditetapkan karena dalam pembahasan yang dilakukan bersama dengan pihak DPRD, seluruh fraksi berpandangan bahwa penetapan hutan adat belum memiliki dasar hukum yang cukup kuat.

Kemenangan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap Judicial review UU.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan selanjutnya dikenal dengan Putusan MK.35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan Hutan Adat dari Hutan Negara memberikan semangat baru bagi CSO dan Pemerintah daerah untuk kembali mendorong lahirnya Kebijakan tentang pengakuan hukum bagi Masyarakat Adat di Kabupaten Bulukumba. Keseriusan pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Bupati Bulukumba Nomor: 760/VII/2013 tentang Pembentukan Tim Penyusun Rancangan Peraturan Daerah Masyarakat Adat di Kabupaten Bulukumba. Tim ini diketuai oleh Kepala Dinas Pariwisata dengan anggota adalah Kepala bagian hukum setda Kab.Bulukumba, Kepala Dinas kehutanan dan perkebunan, Kepala BPN, Camat Kajang, AMAN, CIFOR, AGFOR, Balang Institute, dan Perwakilan dari Masyarakat Adat Kajang.

Dalam proses penyusunan naskah akademik dan rancangan peraturan daerah, perdebatan tim perumus cukup alot. Perdebatan pertama adalah mengenai judul rancangan perda ini. Sejak awal AMAN berpandangan bahwa rancangan Perda ini mesti membuka ruang untuk menemukan Masyarakat Adat di Kabupaten Bulukumb selain Masyarakat Adat Kajang. Hal ini diletakkan pada argumentasi bahwa selama ini pemerintah daerah belum pernah melakukan penelitian keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Bulukumba karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menemukan komunitas adat selain komunitas adat Kajang tetapi pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba bersikukuh bahwa untuk penyusunan cukup untuk pengukuhan Masyarakat Adat Kajang. Perdebatan kedua: Mengenai wilayah adat, oleh pemerintah daerah pengakuan wilayah adat hanya untuk wilayah berada di kawasan Ammatoa ( Ilalang Embaya). Setelah melewati diskusi yang panjang, tim perumus akhirnya bersepakat mengakomodir seluruh wilayah adat yang akan diatur dalam rancangan perda. Perdebatan Ketiga adalah mengenai kewajiban pemerintah daerah yang diatur dalam Perda, hal ini sangat terkait dengan kewajiban negara dalam konsep trias obligation (Penghargaan, perlindungan dan pemenuhan) dalam instrumen hak asasi manusia. Pemerintah daerah menyatakan bahwa kewajiban itu telah mencakup dalam tugas dan wewenang pemerintah. Perdebatan keempat adalah mengenai pentingnya keberadaan Komisi Masyarakat Adat yang permanen.Komisi memiliki untuk melakukan Penelitian penelitian keberadaan Masyarakat Adat sekaligus sebagai lembaga penyelesaian konflik Masyarakat Adat di Kabupaten Bulukumba. Komisi Masyarakat Adat ini akhirnya tidak disepakati dan digantikan dengan Tim Penanganan Sengketa yang bersifat adhock.

Babak baru perjuangan Masyarakat Adat Kajang
Meskipun diwarnai dengan berbagai macam perdebatan, Tim Perumus akhirnya menyepakati menyerahkan draft kepada Bupati Bulukumba. Dalam rapat paripurna yang dilaksanakan pada tanggal 17 November 2015 di DPRD Kabupaten Bulukumba, ranperda ini akhirnya disahkan menjadi Perda Kabupaten Bulukumba No.9 tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan dan Perlindungan Hak hak Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Pengesahan Perda ini sekaligus menandai babak baru perjuangan masyarakat dalam memperjuangkan hak haknya. Perda menjadi “senjata” bagi Masyarakat Adat untuk memastikan kewajiban negara untuk melakukan perlindungan hukum bagi masyarakat adat Kajang sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan daerah dimaksud.
Perda Ammatoa final_No.9 Tahun 2015

Tinggalkan Balasan