Oleh Nurdiyansah Dalidjo
Suara gendang bergema bersama lengkingan bermelodi riang. Ketika kawan-kawan panitia Rakernas IV AMAN tengah serius melakukan rapat koordinasi di Hotel Handayani, Sorong pada sore hari, tiba-tiba saja rombongan muda-mudi Suku Moi datang dengan mobil bak terbuka. Kedatangan mereka lengkap dengan kostum tradisi. Mahkota berhiaskan bulu dan kerang, pakaian warna kuning terang, serta rok rumbai yang dikenakan perempuan mulai bergoyang.
Sontak kami yang berada di dalam ruangan langsung keluar. Muda-mudi Suku Moi menari di pelataran terbuka diiringi musik yang mengajak kita ikutan berdendang dan ingin berjoged bersama. Kawan-kawan AMAN pun melepas penat dengan hiburan yang datang mendadak ini.
Saya ikutan asyik menonton sambil memotret tarian. Gerakannya sederhana. Mereka berbaris sambil agak menunduk dan mendorong. Lalu, pecah dalam semarak ketika teriakan dijeritkan bersamaan. Kami tak hanya menonton. Para penari menarik kami untuk ikutan berdansa.
“Namanya Tari Yosim-pancar,” Bapak Frans memberitahu saya. Ia sampai harus mengulang nama dan cara mengeja “yosim-pancar” kepada saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Papua.
Bu Ros ikutan mengobrol bersama saya yang asyik berbincang dengan penari yosimpancar, Dina dan Cori. “Itu tari pergaulan yang biasanya ditarikan sebelum pelantikan atau ritual,” ungkap perempuan paruh baya yang ketika tersenyum memperlihatkan barisan gigi rapih yang berwarna kemerahan. Sisa kunyahan sirih-pinang.
Dina dan Cori masih kuliah dan telah aktif menari di sanggar sejak kecil. Alasan mereka menari sederhana, tetapi bisa saja bermakna dalam bagi generasi sekarang. “Menari untuk mengembangkan budaya!” begitu kata mereka sambil tertawa malu-malu.
Yosimpancar ini merupakan tarian yang memadukan gerak tari dari berbagai suku di Papua. Mereka yang menyuguhkan tarian adalah Suku Moi, tepatnya pemuda-pemudi yang aktif di Sanggar Seni Budaya Malamoi. Suku Moi adalah suku yang mendominasi kawasan Sorong dan sekitarnya. Ketika Tari Yosimpancar dimainkan, maka siapa pun bisa ikut menari dan suasana pun menjadi cair. Pak Frans bilang ini baru pemanasan “Besok kami akan menari lagi dengan wajah yang dihias motif khas Papua,” ujarnya. Ia menunjukkan motif tribal pada corak bajunya. Bentuk simetris yang sering kita lihat pada seni ukir Papua.
Usai menikmati suguhan Tari Yosimpancar, kawan-kawan yang sebelumnya rapat di dalam ruangan tanpa AC dan lampu, melanjutkan rapat koordinasi di pelataran terbuka. Rapat berlangsung dengan suasana yang lebih dinamis dan lampu tiba-tiba menyala terang, sudah sejak siang lampu listrik padam.
***
Tepat tanggal 17 Maret 2014, AMAN merayakan Hari Masyarakat Adat Nusantara bersamaan dengan acara Pembukaan Rakernas IV di Sorong, Papua Barat. Pagi-pagi sekali Lapangan Hoki dipenuhi perwakilan dari beragam komunitas adat seluruh Indonesia. Mereka akan melakukan pawai dari Lapangan Hoki menuju Woronai (Alun-alun) yang menjadi lokasi pusat perayaan.
Setelah upacara adat dilakukan, perayaan pun resmi dibuka. Kedatangan Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Dalam Negeri disambut dengan istimewa. Tari Yosimpancar kembali dilakukan untuk menyimbolkan persahabatan. Benar kata Pak Frans dan Bu Ros kemarin. Kostum yang dikenakan berbeda karena lebih menonjolkan corak khas Papua. Penari lelaki bertelanjang dada menampilkan guratan motif simetris bercat putih di badan dan wajah. Hal yang sama juga untuk para penari perempuan. Kepala mereka berhiaskan mahkota. Semarak gendang dan tarian menyambut kedatangan tamu terhormat.
“Masyarakat hukum adat telah terbentuk jauh sebelum NKRI lahir. Ini harus digarisbawahi! Siapa pun yang menjadi presiden harus ingat masyarakat hukum adat adalah bagian dari NKRI di mana mereka punya hak untuk mengatur wewenang terhadap sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan….” Bapak Mendagri sedang menyampaikan pidato sambutan menggantikan kehadiran Presiden Jokowi yang berhalangan hadir. Di podium panggung Woronai, Tjahjo menegaskan lagi janji kampanye Presiden Jokowi kepada masyarakat adat merupakan janji politik yang harus dilaksanakan.
Saat pidato masih berlangsung, saya menghampiri pemuda-pemudi Suku Moi yang tadi menari. Mereka sedang ramai berkumpul dan menyambut saya dengan hangat serta memanggil saya “Kakak”. Dina dan Cori ingat saya. Sambil mengobrol, mereka mengunyah sirih-pinang. Saya menawarkan diri untuk mencoba.Seorang pemuda gagah Suku Moi mengajari saya cara mengunyah sirih-pinang. “Dimakan dulu pinangnya, baru kemudian makan sirihnya. Jika sirihnya duluan bisa terbakar mulut nanti!”
Kawannya memberikan saya pinang muda yang sudah dibelahnya. Saya mengunyah dan meludah tanpa membuang ampas pinangnya di mulut. Setelah itu, saya cocolkan bunga sirih yang mirip batang dengan kapur. Lalu, masukkan ke dalam bagian mulut dekat ampas pinang yang telah dikunyah. Rasa hangat tiba-tiba menjalar ke seluruh mulut. Bercampur dengan rasa sepat yang tajam.
“Sudah merah itu, meludah saja!,” kata mereka. Memang semakin dikunyah, mulut terasa penuh liur. Saya pun meludah. Warna merah darah terciprat. Saya terus mengunyah dan merasakan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Hangat di mulut berubah dengan sensasi yang tercecap segar. Mereka tersenyum-senyum melihat saya yang menikmati sirih-pinang. Saya pun izin untuk memotret mereka dengan senyum lebar khas Papua: gigi berwarna merah sirih-pinang.
Setelah Tari Yosimpancar, kini sirih-pinang melekatkan saya dengan persahabatan. Tarian dan musik telah membuat siapa saja yang datang pagi itu menyatu dengan “rumah” Suku Moi. Dan kemudian, sirih-pinang seolah jadi perekat untuk mengawali pertemanan melalui rasa. Peringatan Hari Adat Nusantara dan Pembukaan Rakernas IV AMAN pun berlangsung meriah hingga melewati siang hari dan dilanjutkan dengan berbagai pagelaran budaya di malam hari.
Esoknya, Rakernas IV AMAN akan diselenggarakan di Malaumkarta selama dua hari pada tanggal 18 dan 19 Maret 2019.