Marten Labo; Inisator Lahirnya Perda Adat Kabupaten Malinau
“Saya Masyarakat Adat dan hampir sebagian besar hidup saya bekerja sama dengan Masyarakat Adat,” kata Martin Labo memulai pemaparannya dalam sarasehan “Mendorong Pelaksanaan Komitmen Pemerintah Dalam Upaya Percepatan Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat” yang berlangsung di gedung BLKI, Sorong (16/3/2015).
“Terakhir saya memimpin Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FOMA) Kabupaten Malinau, merupakan semacam aliansi sepuluh wilayah di sana. FOMA adalah wadah tempat berkonsultasi, berkomunikasi para Masyarakat Adat untuk membicarakan masalah-masalah bersama dan menetapkan kegiatan dan tindakan bersama. Kepala Adat besar, kelembagaan yang adat di Malinau mirip seperti kepala suku. Sebagai informasi kepala adat besar di kalangan Dayak di Malinau sudah diakui oleh Pemerintah Belanda. Kepala Adat Suku Kenya, ada SK dari Pemerintah Belanda sebagai King atau Raja sebagai Kepala Adat Besar.
Nenek dari istri saya, kepala adat besar juga mendapat pengesahan dari Pemerintah Belanda. Artinya pemerintahan asing jauh lebih mengakui kita dibanding pemerintah kita sendiri.Pada dasarnya kita tidak suka dengan tulisan dan pasal-pasal, saya coba menyampaikan pengalaman itu meski susah untuk dituliskan. Pengalaman bagaimana lahirnya Perda yang sekarang prosesnya sudah masuk pada pendaftaran dengan bantuan BRWA, Skala, WWF.
Pertama, mengenai latar belakang Kab Malinau. Kita tahu kalau di perbatasan sudah masuk kelompok tertinggal dan dilupakan negara selama hampir 70 tahun, padahal di situ sudah ada Masyarakat Adat, sudah diakui secara umum berdasarkan sejarah panjang, sudah ada di bumi Kalimantan sebelum NKRI berdiri dan sebelum pemerintah kolonial Belanda.Kalau dilihat dari komposisi Malinau penduduknya 80 ribu jiwa bisa kita klaim 90% adalah Masyarakat Adat asli, sisanya saudara-saudara kita yang datang ke sana.
Malinau merupakan kabupaten paling luas terluas di Kalimantan Utara.Kaltara sekitar 700 Km2, Kab Malinau luasnya 40 Km2. 52% dari wilayah Kaltara dan wilayah Malinau tersebut 60% masih hutan perawan. Hampir seluruh wilayah itu diklaim sebagai wilayah adat Kab Malinau adalah contoh yang paling bagus karena di Kab. Malinau itu ada Taman Nasiona yang terkenal termasuk 10 warisan dunia. Taman Nasional seluas 1 juta 365 ribu hektar itu wilayahnya Masyarakat Adat.
Persoalan kita meski dalam UUD dan konstitusi negara kita dan amandemen, di situ dituliskan Negara mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat. Di dalam teks penjelasan UUD 1945 pasal 18, tidak bersyarat.Negara ini ada karena ada masyarakat asli yang menjadi fondasinya, itu terdapat di pasal 18e persekutuan asli Masyarakat Adat. Persekutuan itu tidak diakui secara resmi dalam bentuk undang-undang oleh negara. Jangan-jangan itu sebabnya banyak persoalan, karena kita mengkhianati pesan pendiri negara tersebut. Sampai hari ini belum diterjemahkan ke dalam UU dan tindakan nyata.
Lalu kenapa Malinau nekat melahirkan Perda UU saja belum ada, PP tentang Kehutanan menurut saya belum ada? Untuk UU 41 harusnya ada Peraturan Pemerintah, tapi itu juga belum ada. Itu bentuk-bentuk penyangkalan dan Mahakamh Konstitusi menyatakan negara abai mengurus kita rakyat kecil yang merupakan fondasi NKRI, ini dosa bersama yang harus kita cari solusinya.Perda Malinau lahir dengan inisiatif yang sedikit ekstrim. Pengalaman kami sama seperti yang dialami Masyarakat Adat pada umumnya, dianggap tidak ada. Masyarakat Adat dihargai, kata-katanya bagus mengakui dan menghormati. Ada masyarakat adat, tapi banyak syaratnya. Syaratnya kita duduk manis-manis, kita dansa-dansa pakai topi bagus sambut pejabat. Itu syaratnya tapi bukan itu yang kita inginkan. Yang kita inginkan adalah hak kita.
Sumber masalah yang dihadapi Masyarakat Adat Malinau adalah benturan antara klaim Masyarakat Adat yang bersumber pada hak asal-usul berhadapan dengan hak berian pemerintah. Tumpang tindih dan berbenturan dengan hak bawaan, hak asal-usul, hak asasi Masyarakat Adat dengan hak berian pemerintah kepada pengusaha dan unit-unit kerja pemerintah. Pangalaman adalah sekolah yang paling kuat untuk Masyarakat Adat.
Tahun 1986 tiba-tiba Menhut menerbitakan SK yang menetapkan kawasan di jantung Borneo tempat masyarakat adat hidup. Saat itu 1 juta 635 ribu hektar area ditetapkan sebagai cagar alam. Cagar alam artinya tidak boleh ada manusia hanya hewan. Di mata saya dan kepala-kepala adat, ini pembasmian etnis. Seluruh sejarah nenek moyang kami di situ dicabut. Pilihan hanya melawan atau mati sia-sia di situ. Lalu kami berkumpul, berembuk para kepala adat. Kita cenderung berjuang sendiri-sendiri, jadi 10 kepala adat 6 di Malinau dan 4 di Nunukan. Kita tidak punya pendidikan, tidak punya gelar doktor, sarjana hukum, akhirnya mereka sepakat membentuk Forum Masyarakat Adat (FOMA) dan celakanya saya yang ditunjuk jadi ketua selama 5 periode.
Di FOMA kita berdiskusi, kita minta bantuan dari WWF, CIFOR, akademisi. Kami minta dibantu untuk diidentifikasi. Lakukan kajian, termasuk proses pemetaan partisipatif lalu kita buktikan kita sudah hidup di situ ratusan tahun. Sudah terbukti secara ilmiah, situs-situs sejarah membuktikan kita sudah hidup di sana lebih dari 300 tahun, lebih tua dari NKRI. Kita juga buktikan kearifan lokal. Hukum adat kami sudah terbukti bisa mengelola sumber daya alam.
Perlawanan kami bukan mengangkat senjata, tapi konsolidasi penguatan, bekerja sama dengan jaringan LSM, akademisi, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Akhirnya terjadi negosiasi selama 10 tahun dalam diskusi dengan Kemenhut kami bilang, Pak Menteri dengan segala hormat, kami tahu UU perlindungan sumber
daya alam yang sentralistik tidak akan berubah. Kami tidak punya bukti empiris untuk meyakinkan bahwa kami Masyarakat Adat ada di Taman Nasional yang dikelola sukses oleh pusat di daerah. Data dari akademisi, jadi kami tidak bisa dibohongi. Akhirnya pemerintah merubah dari cagar alam menjadi TN.Kami setuju tapi pemilik dan pengelolanya tetap masyarakat adat.
Perjuangan selama 10 tahun akhirnya ditanggapi Keputusan Menteri, satu-satunya Taman Nasional yang dikelola secara kolaboratif di mana masyarakat adat menjadi pemilik sekaligus pengelola Taman Nasional. Kalau kita bisa identifikasi, kita bisa yakinkan pada negara bahwa kita tidak akan merusak meskipun itu prosesnya tidak sebentar.
Selanjutnya, jika kita ambil kayu ulin untuk buat peti mati, kita bisa ditangkap karena itu sudah diberikan ke HPH. Sepanjang hak-hak kita tidak diakui, akhirnya karena masyarakat adat itu memiliki hak bawaan bukan hak dari UU, hak dari persekutuan nenek moyang kita dan tidak bisa diambil. Berdasarkan itu, kami mengubah jantung persoalan bagaimana melahirkan Perda. Karena Perda itu adalah UU yang paling tinggi di tingkat daerah. Dari pada kita menangisi, kita kerjakan. Bagaimana? Kami MA melakuan persiapan dan berhasil mengirim ketuanya menjadi ketua DPRD. Membangun komunikasi dengan DPRD salah satunya bagaimana kekuatan yang harus dijaga.
Semoga isu-isu Masyarakat Adat menjadi pemersatu antara MA dengan anggota DPR. Utus anak-anak kita menjadi anggota. 2012 saya dan teman-teman mulai bekerja dan kami bekerja sama dengan komisioner yang membidangi MA di Komnas Ham akhirnya AMAN dan Komnas HAM menjadi penasihat hukum karena bisa membuat Perda
kami itu muncul. Itu strategi sehingga jika ada yang ingin membatalkan Perda menghadapi konsultan hukum dulu.Ada 6 hak dasar yang berkaitan dengan hidup kita. Di dalam Perda itu, setelah mengatur hak mutlak yang harus diberikan, proses kelembagaannya dibentuk suatu lembaga Badan Utusan Masyarakat Adat. BPUMA ini
sudah terbentuk. Keputusan Bupatinya sudah ada jadi prosesnya sekarang di Kab Malinau, karena dulu sudah ada persiapan. 10 wilayah adat sudah melakukan pemetaan partisipatif. Kemudian pada 2013 dengan adanya Perda dan Ketua DPRD dari Masyarakat Adat. Biaya pemetaan dari APBD, kita dapat 1 miliar untuk pemetaan 10 wilayah adat. Sekarang, agar kita kuat mulai membangun jaringan kerja dengan seluruh Indonesia.
Ini harus kita jaga, susah tapi harus kita jaga atau kita habis. Maka untuk mendorong pelaksanaan komitmen pemerintah, kita harus identifikasi dulu sejarah kita, dan pemetaan. Pemetaan tidak hanya peta wilayah tapi juga mencatat mitos-mitos dan budaya kita. Yang melakukan adalah Masyarakat Adat itu sendiri. Sekerang proses pengakuan terhadap Masyarakat Adat diidenifikasi oleh MA dibantu oleh akademisi dan diverifikasi oleh BPUMA yang terdiri dari MA, LSM, akademisi sekitar 9 orang anggota.“Jadi proses identifkasi sudah hampir selesai, sekarang dalam proses akhir dibantu oleh Pemda, WWF, BRWA, Skala, dll. Dalam pertemuan terakhir, standar identifkasi ini sebaiknya berlaku di seluruh wilayah agar bisa ada peta yang kita sodorkan ke pemerintah,” tutur Martin Labo.****JLG