Gerakan Masyarakat Adat dalam Mewujudkan Pembangunan yang Setara dan Berkeadilan

Sarasehan Organ Sayap Rakernas AMAN IV Sorong
Sarasehan Organ Sayap Rakernas AMAN IV Sorong

Gerakan Masyarakat Adat dalam Mewujudkan Pembangunan yang Setara dan Berkeadilan

Sorong 16/3/2015 – Sarasehan sayap organisasi AMAN yaitu BPAN, Perempuan AMAN dan PPMAN berlansgung di Aula Hotel Handayani, Sorong, Papua Barat
Narasumber dalam sarasehan ini adalah;
Abdon Nababan (Sekjen AMAN): “Pemulihan Hubungan antara Masyarakat Adat dengan Negara”
Arimbi Heroputri: “Perspektif Gender Gerakan Perempuan Adat dalam Tata Kuasa dan Kelola Wilayah Adat”
Harun Nuh (Ketua BPRPI Sumut): “Good practice: Kaderisasi Pemuda Adat di BPRPI Sumatera Utara”
Mualimin Pardi Dahlan (Ketua BP PPMAN): “Pembelaan Hukum atas Konflik Hak Masyarakat Adat” dengan moderator Sinung Karto

Arimbi Heroputri yang berbicara lebih dulu mengatakan terbuka saja agar ke depan bisa disepakati gerakan sosial seperti apa yang kita bisa bangun. saya ingin mulai dari melihat kondisi di negara kita. Kekerasan terhadap kaum minoritas dan perempuan terus terjadi. Komnas Perempuan setiap tahunnya mencatat banyak kasus. Kekerasan terhadap perempuan, anak-anak dan kaum minoritas, di satu pihak para pelaku mendapatkan impunitas,
artinya mereka tidak ditindak hukum.

Komnas Perempuan mengenal 15 kekerasan terhadap perempuan, tapi hukum di Indonesia hanya mengenal tiga jenis kekerasan. Dalam hukum kita perkosaan misalnya hanya dianggap jika sudah ada penetrasi. Kemudian meningkatnya intensitas dan kualitas kriminalitas, meningkatnya konflik sosial, Sumber Daya Aalam dan agraria hingga menjadi pencuri di tanah sendiri.

Apa yang disampaikan oleh Arimbi, lebih kepada praktik diskriminasi di berbagai wilayah di Indonesia dan secara sadar maupun tidak apa yang kita lakukan telah melanggar konvensi CEDAW Belum mencakup gerakan Perempuan AMAN untuk membantu atau mengambalikan hak-hak Masyarakat Adat. Dalam Paparannya Sekjen

AMAN Abdon Nababan menyampakan bahwa Masyarakat Adat diakui di UUD pasal 18, jadi yang dibayangkan oleh pendiri bangsa itu, Masyarakat Adat punya negara sendiri di dalam NKRI. Negara-negara itu kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Kemudian pertanyaannya setelah 70 tahun itu dirancang oleh para pendiri bangsa. Ternyata setelah 70 tahun ada dinamika politik yang berbeda dari satu zaman ke zaman lain. Waktu Soekarno, Masyrakat Adat itu ada. Diurus tidak, diganggu juga tidak. Kecuali pada zaman kolonial ada area yang disewakan ke perusahaan asing. Ketika merdeka harusnya dikembalikan kepada Masyarakat Adat. Itu tidak, Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan asing yang termasuk dengan masyarakatnya. Maka itu ada rakyat penunggu sejak tahun 50an.

Berkelahilah rakyat penunggu dengan negara yang memberikan akta van konsesi kepada PTPN. Harusnya yang dinasionalisasi perusahaan saja tidak termasuk tanahnya. Selain itu, tidak banyak kejadian terhadap MA pada masa Soekarno. Tanah ulayat itu baru muncul di UU Pokok Agraria. Tapi kita tahu juga setelah UU Agraria disahkan tahun 60, tahun 65 bergolak. Soeharto datang dan kemudian mengeluarkan UU sektoral baru yang sama sekali tidak menggunakan UU Pokok Agraria dan UUD, itulah UU Kehutanan. Soekarno dan Soeharto diam-diam juga menyatakan agama resmi itu hanya 5. Itu tidak ada UU. Itu dimasukkan di GBHN. Tidak ada UU yang
menyatakan agama resmi hanya lima di masa Soekarno. Tapi ada di dokumen pembangunan. Dan karena itu kemudian urusan KTP terpengaruh. Jadi bukan hanya wilayah adat yang tidak diruus. Kependudukan kita juga tidak diurus. Kalau kita ingin diakui sebagai penduduk Indonesia kita harus mengimpor sesuatu yang bukan diri kita.
Dampaknya kita tahu tidak bisa dapat pelayanan.

Harun Nuh mengatakan “Barisan Pemuda Adat menjadi penting bagaimana para generasi muda mendapatkan pemahaman mengenai itu wilayah adat haknya. Ada Barisan Pemuda Pancasila, di situ banyak juga anak-anak masyarakat adat yang masuk. Kadang terjadi anaknya bertengkar dengan orang tuanya. Sekarang kita sudah ada tokoh Pemuda Adat setelah Simon, ada John Toni. Lalu Bagaimana mereka terus menerus ikut dalam perjuangan merebut wilayah adat. Kita perlu memberikan informasi mengenai sejarah tanah adat,” terang Harun Nuh

Mualimin Pardi Dahlan mencoba melihat apa itu konflik, menerjemahkan mana yang konflik mana yang bukan konflik. Dalam teori, konflik itu ada proses interaksi sosial, ada dua orang atau dua kelompok atau lebih dalam keadaan situasi pertentangan atau perselisihan ataupun tujuan tertentu. Kita akan lihat karakternya, konflik itu seperti apa. Kadang kita tidak sadar bahwa ini termasuk konflik. Secara umum ada tiga karakternya. Pertama laten: tersembunyi dan sewaktu-waktu bisa meledak. Ada tekanan tapi tidak tampak. Kadang orang belum sadar bahwa proses menuju konflik sudah terjadi. Situasinya sudah memungkinkan akan terjadi konflik. Kedua, emergensi. Konflik ini sudah mencuat, sudah disadari dan diakui tapi belum ada ledakan.

Penyelesaian satu kasus belum tentu menyelesaikan konflik secara keseluruhan. Misalnya kita mendampingi anggota komunitas yang ditangkap, sudah selesai dikeluarkan tapi konfliknya belum selesai. Minggu depan bisa saja ditangkap lagi orang lain, atau ditembak. Di kampung-kampung masyarakat akan kewalahan dan terjebak dengan tipu daya dan seolah-olah dianggap sebagai kebiasaan oleh masyarakat, kalau ingin keluar kita bayar saja.

Bagaimana kita melihat konflik ini, apakah kita jadikan satu peluang atau ancaman. Bagi mereka yang berpandangan bahwa konflik adalah sesuatu yang negatif berdampak buruk maka akan dianggap sebagai ancaman dan cenderung lari dari konflik. Masalah identitas Masyrakat Adat, itu tidak muncul, mereka lari. Alamatnya menjadi palsu. Konflik itu diabaikan. Kami malu, kami tidak percaya diri untuk mengatakan bahwa kami Masyarakat Adat
yang berhak atas wilayah ini,” Mualimin Pardi Dahlan memberi penjelasan.****

Tinggalkan Balasan