Pelanggaran HAM dan Undang-Undang Desa

Sandra Moniaga
Sandra Moniaga

Sorong 16/3/2015 – Dalam Sarasehan “Mendorong Pelaksanaan Komitmen Pemerintah Dalam Upaya Percepatan Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat” yang menghadirkan pembicara antara lain Sandra Moniaga anggota Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga, Yance Arizona Epistema, Martin Labo Ketua Legislasi lahirnya Perda Adat Kabupaten Malinau, Himsar Sirait, Deputi Penataan Lingkungan KLH-K serta Noer Fauzy Rachman yang telah menyelesaikan sesinya, Muhammad Arman kemudian mempersilahkan Sandra Moniaga anggota Komisioner Komnas HAM untuk menyampaikan presentasinya.

Sandra Moniaga mengatakan bahwa Inkuiri Nasional adalah metode yang dipakai di seluruh dunia. Penting bagi Negara untuk memahami temuan Inkuiri Nasional ini secara mendalam. Paling tidak untuk mengatasi permasalahan ini lebih mendalam, memotret indikasi pelanggaran HAM yang terjadi dan mencoba merumuskan rekomendasi. Beberapa undang-undang sudah mengakui keberadaan masyarakat adat.
Hak asasi sendiri belum dipahami secara menyeluruh oleh banyak pihak, dan yang menjadi akar masalah adalah masih minimnya dan tidak konsistennya hukum dalam pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat.

“Dalam Inkuri nasional kami menemukan penyebab utamanya adalah tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat akan wilayah adatnya. Kami menggali akar masalah dari pelanggaran HAM, baik soal tanah yang muncul dari temuan itu, daftar hak asasi yang kami duga dilanggar dari hak ekonomi sosial budaya sampai hak politik, sampai ke hak masyarakat adat yg lebih spesifik berdasarkan UNRIP. Persoalan lain yang kita temui adalah mengenai
perempuan. Mereka mengalami diskriminasi berlapis. Perempuan mengurus banyak hal. Ketika ada perjuangan, kalau laki-laki ditangkap, perempuan mendapat beban lebih. Ada kasus pelecehan seksual, perempuan diperkosa tapi karena aib mereka diam. Gadis-gadis dan anak kecil sangat rentan. Mereka tidak berani lewat kebon sawit sendirian. Ketika hutan dirusak, pengetahuan menjadi berkurang. Misalnya dukun beranak
kehilangan sumber-sumber pengobatan.

Sikap pemerintah yang memihak perusahaan, karena perusahaan punya izin resmi sehingga harus dilindungi. Dalam kasus perusahaan tidak punya izin, pemerintah dan polisi tetap membela mereka karena disuruh komandan sehingga jarang sekali kita temui ada pihak yang netral di lapangan. Selain itu, kondisi ini menjadi laten karena tidak ada satupun lembaga di tingkat menteri untuk menyelesaikan konflik. Dulu SBY bilang BPN bisa menyelesaikan masalah ini. Ketika Komnas bilang perlu ada lembaga, faktanya BPN tidak berani masuk kawasan hutan karena itu kewenangannya
Kemenhut. Kemenhut membentuk direktorat penyelesaian konflik di bawah Dirjen Planologi tapi mereka tidak berani meninjau kembali izin yang dikeluarkan dan wilayah yang ditunjuk. Ketiadaan lembaga setingkat menteri, ini jadi masalah.

Inkuiri menemukan adanya indikasi pelanggaran HAM yang terjadi itu, lebih luas dari hak ekonomi, sosial budaya, sipil, politik dan juga hak Masyarakat Adat dari deklarasi PBB. Ekonomi hak atas tanah dan pekerjaan, sosial juga budaya. Banyak cerita anak-anak sulit sekolah karena kampungnya jauh dan pindah dari kampung asal sehingga tidak mendapat pengetahuan lokal. Hak menjalankan budaya untuk ritual dan upacara menjadi lebih sulit. Hak sipil, hak atas rasa aman itu yang sulit. Hak-hak ini ada daftarnya panjang. Banyak masyarakat ditangkap, namanya salah, tidak ada surat.

Rekomendasi dari Komnas HAM

Pembaruan peraturan perundangan
Pembaruan peraturan perundangan: Presiden menyiapkan PerPres untuk komisi independen. Ini sudah dimuat dalam Nawa Cita tapi belum ada dalam RPJMN.
Meskipun Pak Abdon cerita bahwa akan dibentuk tapi mandatnya apakah sedetil seperti yang di Nawa Cita, kita harus kawal. Ke dua, pengesahan RUU yang benar-benar komprehensif. Peninjauan kembali kebijakan pengakuan Masyarakat Adat. Kemudian moratorium izin pengusahaan hutan, kami juga sudah berdialog perlu adanya
Peraturan Kapolri untuk memproses kasus-kasus yang melibatkan Masyarakat Adat, tapi belum ada bentuk konkritnya.
Korporasi harus memiliki perspektif HAM dan CSR.

Mengenai remedi, harus ada ganti kerugian. Saat ini Indonesia baru punya pelanggaran HAM berat itupun harus di pengadilan tapi karena pengadilan HAM belum ada maka bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Kita pikirkan harus ada remedi, restitusi, rehabilitasi (kalau tanah hancur harus dikembalikan), kompensasi, dan rehabllitasi (permintaan maaf dan pembangunan monumen atau hal lain).

Sementara Himsar Sirait Deputi KLH-K menyampaikan kalau pemerintah datang dengan pasal-pasal, dengan ancaman tentu masyarakat adat tidak suka. Tapi pemerintah harus hadir seperti disampaikan Pak Abdon. Pemerintah mendorong kejelasan penetapan batas wilayah Mayarakat Adat, mungkin sudah bilang janji terus. Tapi lihat yang sekarang, jangan lihat yang kemarin. Kita lihat ke depan apa yang harus kita lakukan bersama-sama. Kemudian
mendorong penyusunan peta indikatif. Memberi jaminan akses kepada Masyarakat Hukum Adat Selanjutnya Yando Zakaria menjelaskan bahwa pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat itu kewenangan lembaga adat dan tradisi ada di kabupaten. Jadi kewenangan untuk menetapkan satu komunitas adat dan wilayah adat di pemerintah kabupaten/ kota, tapi kalau lintas kabupaten ada di gubernur, kalau lintas provinsi ada pada pemerintah pusat.

Jadi ketika Pemda sudah dimandatkan oleh undang-undang, arena pertarungannya di situ. Meski demikian bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan karena ada beberapa panduan yang diperlukan. Misalnya penetapan hutan adat dan registrasi. Penetapan oleh Pemda tapi registrasi jadi otoritas kementerian urusan pertanahan.

Model dan praktik berbagai produk hukum daerah, dalam 15 tahun terakhir, banyak Perda mengenai Masyarakat Adat. Secara isi ada yang mengakui wilayah adatnya saja. Itu model pertama. Model ke dua yang diakui adalah Mayarakat Hukum Adat termasuk wilayahnya, yang pertama wilayahnya saja. Yang ke dua entitas masyarakat dan
wilayahnya. Ke tiga adalah lembaga peradilan adat, bukan tanahnya. Ada dewan adat kecamatan kabupaten, tapi tanahnya tidak diakui. Ke empat mengenai Kampung Adat. Itu dari sisi isi.

Dari sisi bentuk ada Perda umum, ada Perda penetapan unutuk komunitas tertentu, serta SK Bupati. Contohnya Perda Hak Ulayat Baduy. Setelah diakui dan pemetaan oleh Pemda dan BPN lalu dibuat patok oleh pemerintah menggunakan APBD meskipun sebelumnya sudah ada peta indikatif. Kedua di Kerinci model pertama sudah ada 10 SK Bupati tentang hutan adat. Yang diakui adalah wilayah tertentu dari wilayah adat yang diakui oleh Masyarakat Adat sebagai hutan adat, sudah ada 10.

Penetapan Masyarakat Hukum Adat untuk Suku Wana di Morowali meskipun belum sampai pada pemetaan, tapi di Bungo juga sudah ada model ke dua. Untuk kelembagaan di Kalimantan, lembaga peradilan Dayak atau juga di Papua, ini soal kelembagaan bukan tanahnya. Mengenai penetapan Desa Adat di Jayapura, implementasi UU Desa. Ditetapkan ada 36 Kampung adat dan 9 wilayah hukum adat. Ini model-model pengakuan. Kami coba kumpulkan sampai bulan lalu ada 91 produk hukum daerah. Termasuk Perda, SK Bupati ada 91 itu dari Aceh sampai Papua.
“Ada juga advokasinya sedang berjalan, ada yang sudah masuk Prolegda, ada yang baru buat naskah akademik, ada yang sudah MoU dengan Pemda dan ada juga yang sudah tingkat pembahasan. Jadi gerakannya ini masif , ini adalah pilihan tersedia,” papar Yance.

Martin Labo menyampaikan pengalaman dan alasannya mengapa dia mendorong lahirnya Perda Adat Kabupaten Bulungan***JLG

Tinggalkan Balasan