Berbicara tentang masalah yang meliputi wilayah adat, memang pelik. Hal itu tidak hanya berbenturan dengan persoalan peraturan perundang-undangan yang ada terkait dengan Masyarakat Adat, melainkan pula ketersinggungannya dengan kawasan hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luasan kawasan hutan di Indonesia mencakup 125,9 juta hektar atau sebesar 63,7 persen dari luas daratan negara ini. Dari total kawasan hutan yang ada itu, sekitar 88,2 juta atau sekitar 70 persennya telah ditetapkan. Sementara itu, masih terdapat sekitar 30 persen kawasan hutan yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Perkara pelik terkait ketersinggungan pada hutan pun tidak melulu untuk menghubungkannya dengan penebangan liar, kebakaran hutan, atau lemahnya pengawasan pada perizinan dan alih fungsi kawasan hutan. Sebagian kalangan meyakini bahwa kontribusi paling besar terhadap laju perusakan hutan, adalah kegiatan pertambangan dan perkebunan berskala besar yang dilakukan oleh korporasi dalam rangka eksploitasi sumber daya hutan dengan dalil pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, dan izin pinjam pakai kawasan hutan. Kompleksitas tersebut kemudian membuat areal hutan mengalami ketidakpastian. Artinya, bukan cuma soal tata kelola hutan yang tidak efektif, tanah-tanah yang berada di dalam wilayah adat, termasuk hutan adat, dan bersinggungan dengan kawasan hutan pun menghadapi ragam persoalan.
Saat ini, terdapat sekitar 18,67 juta orang tinggal dan hidup di perdesaan di dalam dan sekitar hutan, termasuk sebagian besar mereka adalah pula Masyarakat Adat. Sedangkan untuk jumlah desa secara keseluruhan, sebanyak 27 persennya berada dan berbatasan langsung dengan hutan. Sengketa kawasan hutan dan wilayah adat, tak jarang berujung pada terjadinya intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Konflik tenurial pun dapat melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), kementerian atau lembaga terkait, perusahaan, hingga masyarakat sendiri.
Untuk mendalami masalah, Komisi IV DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nasional (DAMANNAS), hadir sebagai salah satu pembicara yang memaparkan persoalan dari perspektif Masyarakat Adat kepada Panitia Kerja (Panja) Penggunaan, Pelepasan, dan Perusakan Kawasan Hutan pada 8 Juli 2021.
Pintu Penyelesaian Konflik Tenurial Masyarakat Adat
Abdon mengawali paparannya dengan menegaskan posisi istimewa dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45). Pertama, Masyarakat Adat (Masyarakat Hukum Adat) wajib diakui dan dihormati oleh negara (Pasal 18 B ayat (2)) dan kedua, hak Masyarakat Adat (masyarakat tradisional) adalah hak asasi manusia (HAM) (Pasal 28I ayat (3)).
“Tentang kawasan hutan, itu akan berkaitan dengan salah satu hak Masyarakat Adat, yaitu hak atas wilayah adat,” kata DAMANNAS yang mewakili Region Sumatera itu. “Dalam UU Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria), istilah hak atas wilayah adat dikenal dengan hak ulayat dan (penamaan terhadap tanah ulayat) itu bisa berbeda di daerah lain sesuai dengan bahasa, suku, dan adat setempat.”
Hak penguasaan atas tanah Masyarakat Adat atau hak ulayat didefinisikan sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban Masyarakat Adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak di lingkungan wilayah adatnya. Artinya, ketika suatu Masyarakat Adat menyatakan dirinya sebagai masyarakat Adat, maka secara otomatis melekat kewenangan mengatur dan mengurus tanah dan sumber daya di lingkungan wilayah adat. UU Pokok Agraria mengakui hak ulayat dengan syarat mengakui eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.
Lebih lanjut, Abdon pun menguraikan akar persoalannya. “Masalahnya, sejak UU Pokok Agraria diterbitkan, sampai hari ini tidak ada pencatatan dan pengadministrasian terhadap wilayah adat atau ulayat. Itu merupakan akar sengketa dalam kebijakan nasional tentang kawasan hutan. Jadi, akar masalahnya bukan di sektor kehutanan, tapi justru UU Pokok Agraria itu tak pernah ditindaklanjuti atau dioperasionalisasi dengan membangun suatu sistem pencatatan dan pengadministrasian wilayah adat atau ulayat.”
Prof. Maria Sri Wulan Sumardjono pernah pula menegaskan dengan bilang bahwa Masyarakat Adat itu sudah ada sebelum Indonesia ada dan sudah diakui dan dihormati keberadaan dan hak-hak adatnya dalam konstitusi UUD ‘45. Sementara itu, menurut Guru Besar Hukum Agraria Univ. Gadjah Mada tersebut, yang belum ada hanya administrasinya oleh pemerintah. Dari situlah, Abdon berpendapat kalau pemerintah selama ini telah lalai karena hak Masyarakat Adat itu bukan berian negara, melainkan hak bawaan yang melekat dalam diri Masyarakat Adat dan hak itu tidak akan pernah hilang, kecuali Masyarakat Adatnya punah.
“Seharusnya proses pengukuhan kawasan hutan itu menjadi proses yang memastikan hak Masyarakat Adat untuk diakui dan dihormati,” komentar Abdon. Ia mengutarakan bahwa dalam sejarah kehutanan, konsep kawasan hutan justru digunakan sebagai instrumen pemerintah untuk melakukan pengambilalihan secara sepihak tanah-tanah di wilayah adat. Di masa lalu, rezim Orde Baru telah mengabaikan UU Pokok Agraria lewat penerbitan berbagai UU sektoral. Pada saat itulah konsep kawasan hutan awalnya diadopsi lewat pemberlakuan sistem konsesi yang kemudian dominan sekaligus menjadi instrumen pengelolaan pemanfaatan hutan, di mana persoalan hak ulayat tidak disebut sama sekali.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, penerbitan wilayah konsesi maupun lokasi fungsi kawasan hutan, mengacu pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan yang sebetulnya tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga, hampir seluruh wilayah adat masuk kawasan hutan tanpa persetujuan Masyarakat Adat dan pengusahaannya pun diserahkan kepada perusahaan kayu, pertambangan, dan perkebunan. Politik kawasan hutan dan politik konsesi, termasuk eksploitasi sumber daya alam, akhirnya memunculkan berbagai konflik, kerusakan lingkungan, dan bencana.
Koreksi mendasar terhadap persoalan tersebut, diakui Abdon sudah dilakukan lewat beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Putusan MK No. 45 Tahun 2011 terkait pengukuhan kawasan hutan melalui proses penataan batas , pemetaan, dan penetapan; Putusan MK No. 34 Tahun 2011 terkait penguasaan hutan oleh negara yang wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak Masyarakat Adat; dan Putusan MK No. 35 Tahun 2012 terkait hutan adat yang tidak lagi berstatus hutan negara, melainkan hutan hak yang tak terpisahkan dari wilayah adat.
Meski begitu, pria berdarah Batak yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal AMAN selama dua periode itu mengatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan sesungguhnya dapat menjadi pintu masuk untuk percepatan penyelesaian konflik tenurial bagi Masyarakat Adat dan masyarakat lokal lainnya dengan berlandaskan pada penetapan dan pengukuhan kawasan hutan (sesuai Putusan MK). Ia menyayangkan fakta masih banyaknya perusahaan yang kemudian tidak melakukan proses penataan batas dan pemetaan di areal konsesi.
“Artinya, hak atau izin (konsesi) yang sekarang sudah diberikan itu, statusnya separuh nyolong. Jadi, setengah barang curian.” Tanpa proses penataan batas dan pemetaaan dalam pengukuhan kawasan hutan, kegagalan penyelesaian konflik tenurial pun menyeret Masyarakat Adat menjadi target intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi yang kerap dilakukan oleh pihak perusahaan. Sedangkan ketidakjelasan tata batas hutan, menurutnya juga menjadi peluang tindak korupsi di sektor kehutanan.
Mewakili Masyarakat Adat, Abdon memberikan empat masukan utama kepada Panitia Kerja (Panja) Penggunaan, Pelepasan, dan Perusakan. Pertama, memastikan KLHK membuka data dan peta untuk kawasan hutan sebagai kategori informasi publik yang bisa diakses masyarakat. Kedua, melakukan audit menyeluruh terhadap proses pengukuhan kawasan hutan, tertama di areal konsesi. Ketiga, memastikan agar KLHK mengintegrasikan peta wilayah adat dan hutan adat ke dalam perencanaan dan penataan kawasan hutan. Keempat, mendorong percepatan pencadangan dan/atau penetapan hutan adat di kawasan hutan, terutama di areal konsesi yang berkonflik dengan Masyarakat Adat.
Saat ini, menurut AMAN, dari sebaran dan luasan hutan yang tersisa di Indonesia, sebagian besar yang masih berada dalam kondisi baik, umumnya adalah yang berada di wilayah adat yang dijaga, dikelola, dan diawasi oleh Masyarakat Adat.
“Kami yakin kalau pengakuan dan penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan wilayah adatnya bisa dilakukan segera, maka saya percaya 40 juta hektar hutan alam kita, akan bisa selamat,” tegas Abdon Nababan.
***
Oleh Nurdiyansah Dalidjo