Gotong Royong Menanam Padi

Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalimat tersebut menggambarkan pola kerja sama yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Barambang Katute yang terletak di Desa Barambang, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Belakangan ini, saya kembali merasakan dan melihat perwujudan dari nilai gotong royong dan solidaritas yang kuat di antara masyarakat melalui aktivitas bertani padi. Kami menyebut kebersamaan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan itu dengan sebutan sibalii.

Persawahan di wilayah adat Barambang Katute. Foto oleh Khaeruddin.

Di kampung, kami sedang memasuki masa tanam padi. Orang-orang pun sibuk dan banyak menghabiskan waktu di siang hari dengan bekerja di ladang. Sebagian besar dari kami, masih berprofesi sebagai petani sawah.

Saya ikut berada di sawah dan mengobrol dengan salah satu petani di kampung saya. Seorang petani yang saya temui di sana bilang, “Iyaro namagatti pura tanennengnge pa sisulle tawwe sibalii.” Artinya, penanaman (padi) selalu selesai cepat karena kami melakukannya dengan kerja sama secara bergantian. Setiap pemilik sawah mendapatkan giliran sesuai kesepakatan yang telah ditentukan melalui musyawarah dengan mengacu pada umur benih.

Sibalii adalah tradisi yang diwariskan oleh leluhur kami dan masih dipraktikkan dari generasi ke generasi. Ibarat sebuah pohon, kerja sama itu terus tumbuh, bertangkai, dan berpucuk. Kami semua merawatnya. Anak-anak muda di kampung telah mengenal dan melakukannya sejak dini. Begitulah yang diutarakan oleh Kepala Dusun Balang Lukman ketika saya menemuinya.

Wilayah adat dari Masyarakat Adat Barambang Katute, berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Sinjai dan terletak pada ketinggian seribu meter di atas permukaan laut. Udara di tempat tinggal saya sejuk dan pada saat-saat tertentu bisa dingin. Kami membangun persawahan berupa terasering karena lahan berada di kawasan dengan kontur perbukitan.

Gotong royong dan kerja sama dalam menanam padi. Foto oleh Khaeruddin.

Selain diterapkan dalam penanaman padi, sibalii juga menjadi keseharian kami dalam mengerjakan berbagai hal, termasuk pembuatan saluran air maupun irigasi. Terkadang, ada saja persoalan sepele yang membuat aliran tersumbat. Pada situasi tertentu, tanah longsor kerap terjadi, sehingga aliran air di kampung atau sawah perlu dipantau terus-menerus. Sistem pengairan dan irigasi kami bersumber dari sungai yang berada di Pegunungan Batummencing. Air dari sana ikut menyuburkan padi kami. Kawasan Pegunungan Batummencing yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng, tergolong kawasan hutan larangan bagi kami Masyarakat Adat.

Dalam penanaman padi, umumnya kami menanam padi dua kali setiap tahunnya. Jika disesuaikan dengan arah mata angin, kami terbiasa menyesuaikan penanaman padi dengan mengikuti dua arah mata angin dari timur dan barat. Masa tanam padi di musim kemarau disebut dengan mattaneng timo’, sedangkan di musim penghujan, dikenal dengan istilah mattaneng bare’.

Pada satu atau dua hari sebelum masa tanam, biasanya kaum perempuan punya peran utama di sawah. Mereka akan mencabut bibit padi yang akan ditanam. Kami menamakan kegiatan itu dengan mangngubbu bine ase. Untuk kerja tersebut, kelak perempuan adat yang terlibat, akan mendapat jaminan upah setelah panen.

Setelah memasuki hari penanaman padi, umumnya para perempuan adat akan berganti peran dengan suami-suami mereka. Istri-istri menjadi sibuk di ladang dan dapur untuk memasak dan menyuguhkan makanan untuk keluarganya. Hidangan yang dibuat itu juga menjadi bekal bekerja di sawah.

Biasanya, panen dilakukan setelah enam bulan masa tanam. Ketika memasuki masa panen padi atau massangki ase, tiba giliran untuk perempuan adat mengambil peran terkait tradisi sibalii. Ada aturan yang berbeda-beda untuk setiap tahapan. Untuk pekerjaan di sawah itu, upah padi diberikan kepada pekerja dengan hitungan dua wadah yang setara dengan 30 liter padi. Pengerjaan tersebut bisa dilakukan oleh lima sampai tujuh orang dalam satu kepemilikan sawah. Sistem sibalii juga bisa dilakukan karena ada panggilan dan kesepakatan dari pemilik sawah.

Tradisi gotong royong, terutama dengan menegaskan keterlibatan dan kontribusi perempuan adat dalam menanam padi di kampung, mencerminkan bahwa setiap tetesan keringat perempuan adat punya arti dan penting untuk dihargai. Sibalii pun punya pengaturannya sendiri dalam hal imbal balik yang layak terkait keterlibatan mereka yang ikut dalam proses menanam benih hingga memanen padi secara gotong royong.

***

Oleh Khaeruddin

*Penulis adalah pemuda adat dari Masyarakat Adat Barambang Katute di Desa Barambang, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Ia pernah mengikuti program magang di Infokom Pengurus Besar AMAN di Jakarta.

Tinggalkan Balasan