Aksi Jalan Kaki Toba – Istana

Aksi Jalan Kaki Toba – Istana

AMAN – Aksi jalan kaki AJAK TUTUP TPL yang dilakukan Togu Simorangkir bersama TIM 11 adalah puncak akumulasi konflik-konflik pertanahan tanah ulayat dan sosial antara pabrik pulp PT Toba Pulp Lestari dengan komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Tano Batak yang sudah berlangsung 30 tahun lebih.

Trio Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Irwandi Sirait dengan 8 orang anggota tim pendukung berjalan kaki dari Balige ke Jakarta, sejauh 1.800 kilometer, untuk menemui Presiden Joko Widodo mendesak TPL ditutup.

“Ini puncak kemarahan dan kegeraman. TPL dan perusahaan-perusahaan perusak lingkungan di Danau Toba harus ditutup, untuk menyelamatkan lingkungan dan kehidupan di kawasan Danau Toba,” kata Togu dalam salah satu siaran langsungnya dari aksi Ajak Tutup TPL.

Mereka memulai aksi jalan kaki dari Makam Pahlawan Nasional Raja Si Singamangaraja XII di Balige, pada Senin, 14 Juni 2021. Komunitas Masyarakat Adat melepas mereka dengan ritual dan doa. Kebetulan, momen itu bersamaan dengan peringatan 114 tahun gugurnya Si Singamangaraja XII. Dan kebetulan pula, Togu Simorangkir adalah cicit Pahlawan Nasional tersebut. Poernama Rea Boru Sinambela, nenek Togu (ibunda dari bapak Togu), adalah putri terkecil Raja Si Singamangaraja XII.

Trio Togu, Anita, dan Irwandi berjalan kaki dengan dukungan dua mobil logistik dan delapan tim pendamping, salah satunya adalah Bumi (7 tahun), putra nomor 3 Togu. “Dia minta ikut. Biarkan saja. Dia belajar sangat banyak dari perjalanan ini,” ujar Togu.

Trio Jalan Kaki 

Togu Simorangkir (45 tahun) seorang aktivis lingkungan dan penggiat literasi yang terkenal dengan ide-ide kreatif dan agak “gila”.

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta, ia menjadi relawan Yayasan Orangutan Indonesia di Kalimantan. Kemudian ia menyelesaikan pendidikan pascasarjana dibidang Primata Conservation di Oxford Brookes University, di Inggris (2002).

Pulang dari Inggris Togu kembali ke kota kelahirannya, Pematang Siantar. Ia menjadi petani di Silulu, sebuah desa berjarak belasan kilometer dari Siantar. Ia bertani beras organik, sambil memelihara sapi, lele, bebek, dan ayam. Ia juga jualan air isi ulang dari mata air alami yang ada di tanah miliknya.

Sepuluh tahun yang lalu Togu menggagas Yayasan Alusi Tao Toba yang mendirikan dan mengelola sopo (pondok) belajar di berbagai pelosok Pulau Samosir. Tiap sopo belajar itu dikelola satu atau dua relawan. Alusi Tao Toba juga membeli dua kapal belajar yang rutin mendatangi desa-desa terpencil di pinggiran Danau Toba.

Togu dua kali melakukan aksi merenangi Danau Toba untuk mencari dana bagi sopo-sopo belajar tersebut. Tahun 2019 ia berjalan kaki 300 kilometer lebih, mengelilingi tujuh kabupaten sekeliling Danau Toba untuk mencari dana operasional untuk dua kapal belajar Alusi Tao Toba. Terakhir, Togu memotori kegiatan membagikan makanan untuk orang-orang marjinal dan mengurusi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di kota Pematang Siantar.

Kegiatan di bidang literasi mengantar Togu menerima penghargaan Nugra Jasadarma Pustakaloka Kategori Masyarakat dari Perpusatakaan Nasional RI. Togu pernah diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara bersama para penggiat literasi dan aktivis rumah-rumah belajar. Presiden Joko Widodo menyumbangkan satu sopo belajar berupa bangunan bambu bertingkat dan dua bangunan homestay untuk Alusi Tao Toba, di Pusat Pelatihan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dikelola Togu, di Lumban Sitiotio, Lontung, Samosir. Togu juga terpilih sebagai salah seorang penerima penghargaan Kick Andy Heroes tahun 2019.

Anita Martha Hutagalung (54 tahun), yang populer dengan panggilan Oni, adalah penulis dan aktivis perempuan gereja dan sosial. Ia antara lain terlibat dalam Aliansi Sumut Bersatu (ASB), organisasi masyarakat sipil yang begerak di bidang penghormatan dan penguatan keberagaman. Ibu tiga anak laki-laki dan nenek dua cucu ini seorang penulis medsos yang memiliki banyak penggemar. Tulisannya tentang pengasuhan anak dan kehidupan keluarga di facebook sering jadi viral. Sebagian dari tulisan Oni, begitu panggilan populernya diterbitkan Penerbit Aseni dalam buku “Kek Ginilah Caraku Mengajar Anak” (2019).

Ibu yang sering tampil dengan Bulang Sulampai, tutup kepala perempuan dari tenunan kain adat khas Simalungun ini tinggal di Binjai. Ia hidup sendiri sejak MH Damanik, suaminya, berpulang tujuh tahun lalu. Apa motivasi Oni mau ikut aksi jalan kaki Ajak Tutup TPL? “Aku lakukan ini untuk Bio, cucu-cucuku. Aku ingin cucu-cucuku nanti bisa menikmati Danau Toba seperti yang aku nikmati waktu masa kecil dan waktu masa remaja,” ujar Oni.

Irwandi Sirait (40 tahun) seorang penyandang disabilitas daksa, bertubuh pendek dan berjalan timpang. Sehari-hari ia berprofesi sebagai penjahit. Tapi ia sudah lama menjadi aktivis kegiatan lingkungan di sekitar Ajibata, Parapat. Antara lain bersama kelompoknya melakukan pembersihan sampah di pantai Danau Toba.  Ia juga selalu ikut dalam aksi-aksi protes terhadap perusahaan-perusahan perusak lingkungan di Danau Toba.

Kenapa Irwandi, yang penyandang disabilitas mau ikut dalam aksi jalan kaki ini? Ia ingin menunjukkan, penyandang disabilitas pun bisa makan tanpa adanya TPL. “Hidup kita akan lebih baik tanpa adanya perusahaan perusak lingkungan,” katanya.

Trio Anita, Togu, Irwan, mendapat dukungan dari masyarakat (foto: Tim 11)

Berbagai Sambutan Dukungan

Tim 11, trio Togu, Irwandi, Oni dan 8 orang pendukungnya berjalan kaki antara 20-50 kilometer per hari. Sepanjang perjalanan, secara bergantian, kadang bersamaan, Tim 11 melakukan siaran langsung lewat facebook.

Siaran itu membuat aksi mereka diketahui dan mendapat dukungan publik medsos. Banyak orang yang datang, atau mencegat mereka, sekedar memberi dukungan dan foto bersama. Banyak juga yang memberikan sekadar oleh-oleh. Pada hari kedua seorang bapak muda, sambil menggendong anak di punggung, mencegat dan memberikan tiga buah pepaya. Oni menerimanya dengan mata mengaca.

Rombongan menginap di tempat yang bersedia menampung mereka. Di gereja, di panti asuhan, kantor Koramil, dan sebagainya. Ada juga keluarga-keluarga orang Batak yang menerima menginap dan menjamu mereka. Pada hari ke-13 dan 14 rombongan memasang dekat Danau Singkarak. Mereka istirahat sehari di sana, sebelum meneruskan perjalan menuju Solok.

Kapan rombongan tiba di Jakarta? “Ya, kita tidak tahu. Memang prediksinya 40-45 hari. Itu kalau lancar,” kata Togu. “Ya, kita nikmati saja. Kita bergembira dalam pelajaran ini. Kita belajar banyak tentang lingkungan hidup, kita belajar banyak tentang budaya, kita belajar banyak tentang macam-macam. Karena, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru,” lanjutnya.

Togu kembali menegaskan, tidak ada tujuan lain dari aksi ini, selain menuntut TPL dan perusahaan-perusahaan perusak lingkungan lain di Danau Toba ditutup. “Yang penting aku, kami sudah berusaha. Kita akan tahu hasilnya ketika kita semua, ketika Tim 11, dan semua orang nanti berkumpul di depan Istana. Baru kita tahu responnya Presiden seperti apa,” ujar Togu.

Selamat berjuang, Pahlawan Lingkungan dan Masyarakat Adat Tano dan Bangso Batak!

Nestor Rico Tambunan

Tinggalkan Balasan