aman.or.id – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara memperingati 13 Tahun Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau UNDRIP (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples). Peringatan UNDRIP yang jatuh pada tanggal 13 September kemarin dilaksanakan secara virtual dengan menampilkan panggung budaya dari beragam seni dan budaya Masyarakat Adat di Nusantara.
Sebelum acara dimulai, pada pembukaan dilakukan ritual adat melalui cuplikan video Bagendang Mayo dari Sui Utik, Kalimantan Barat dan dilanjutkan dengan tarian Gawi dari Masyarakat Adat Saga, Nusa Tenggara Timur. Selain itu, menghadirkan 3 pembicara untuk menyampaikan sambutan dan pengantarnya masing-masing, diantaranya Rukka Sombolinggi – Sekjen AMAN, Rizaldi Siagian – Etnomusicolog, dan Hilmar Farid – Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Dalam sambutannya, Rukka menyampaikan bahwa UNDRIP penting bagi Masyarakat Adat di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. “Hari ini, 13 September kita merayakan salah satu capaian terbesar yang historical, fundamental dan fenomenal di dalam sejarah perjuangan Masyarakat Adat di seluruh dunia, yakni Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyararakat Adat”, kata Rukka.
“Perjalanan deklarasi ini, saya sempat mengikutinya dari awal tahun 2000 ketika masih disebut sebagai Draft Deklarasi dan belum masuk ke Sidang Umum, tapi masih di working group (kelompok kerja) yang dibuat oleh PBB ketika itu”, jelas Rukka.
Rukka pun menegaskan bahwa UNDRIP penting bagi kita semua karena merupakan standar minimum untuk perlindungan dan pengakuan serta pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat. Berbagai instrumen dan hukum internasional yang diadopsi oleh negara-negara anggota PBB ternyata tidak mampu melindungi Masyarakat Adat.
“Jadi, UNDRIP ini dibuat untuk merangkum semua instumen dan standar hak asasi manusia yang sudah ada dari berbagai konvensi dan kovenan serta perjanjian-perjanjian internasional lainnya untuk kemudian dituliskan dalam sebuah dokumen agar memastikan standar hak asasi manusia itu bisa digunakan sesuai dengan situasi Masyarakat Adat”, tegas Rukka.
“Apa yg kita saksikan dari peringatan 13 Tahun UNDRIP hari ini adalah tidak terlepas dari budaya dan keberagaman Masyarakat Adat. Oleh karena itu, UU Masyarakat Adat yang akan disahkan nanti harus memastikan hak atas budaya Masyarakat Adat diakui”, lanjut Rukka.
Rukka pun menjelaskan bahwa wilayah adat merupakan sumber identitas, batas yurisdiksi kekuasaan hukum, melaksanakan segala praktek budaya, termasuk apa yang ditampilkan dari tarian-tarian, tenunan, menyanyi, bersenandung, ritual yang merupakan praktek dan manisfestasi dari kebudayaan Masyarakat Adat.
“Semuanya itu tak akan ada lagi dan hilang kalau wilayah adatnya dirampas. Inilah tantangan terbesar yang kita hadapi saat ini karena belum adanya UU Masyarakat Adat, apalagi dengan adanya Omnibus Law yang secara serius mengancam wilayah-wilayah adat baik yang sedang berkonflik maupun yang masih tersisa termasuk akan mengancam berbagai ekspresi budaya yang akan kita saksikan hari ini”, lanjut Rukka.
Di akhir sambutannya, Rukka kembali menegaskan bahwa Undang-Undang Masyarakat Adat akan menjaga berbagai keberagaman budaya sebagai bangsa Indonesia, karena itulah kekuatan kita sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
“UNDRIP penting bagi kita, apalagi saat ini Undang-Undang Masyarakat Adat masih sedang dibahas di DPR RI. Persoalannya, isi dari draft RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini masih jauh dari harapan kita semua. Kalau memang draft ini tidak diperbaiki, maka tidak akan berguna mengatasi persoalan kita. Saya ucapkan selamat merayakan 13 Tahun UNDRIP, dan mudah-mudahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang saat ini menjadi aspirasi kita dan seluruh Masyarakat Adat di nusantara disahkan oleh DPR RI tahun ini.
Rizaldi Siagian dalam pengantarnya, menceritakan dan menyampaikan inti dari kebudayaan yang terdapat di dalam UNDRIP dari perspektif akademis sebagai seorang etnomusikologi.
“Saya ingat, ketika diundang AMAN untuk hadir di forum internasional, saya menyaksikan sekelompok Masyarakat Adat Indian di Amerika melakukan ritual di pintu dekat gedung ruang sidang PBB. Saya tidak pernah menduga, gedung yang sangat terhormat bisa diselenggarakan sebuah ritual yang sangat luar biasa. Mereka bernyanyi dan bermain gendang. Apa yang saya tonton Hollywood itu sifatnya hiburan, beda ketika mereka tampil secara langsung dan hampir membuat semua orang bergetar, sampai hari ini saya merasakan harunya”, ujar Rizaldi.
“Bukan masalah seni yang mereka sajikan. Itu adalah ritual, komplesitas kebudayaan yang didalamnya terekan sistem kepercayaan, keragaman ekspresi seni, yang didalamnya terdapat vocal, music, sastra, terdapat unsur-unsur, kemudian terdapat ilmu pengetahuan yang sekaligus menjadi alat dan instrument untuk memperlihatkan dan mengungkapkan siapa diri mereka dan identitas mereka sebagai Masyarakat Adat”, urai Rizaldi.
Rizaldi pun menguraikan bahwa apa yang Masyarakat Adat Indian lakukan tersebut merupakan warisan budaya yang dalam beberapa dekade belakang ini sangat popular dengan sebutan heritage. Beliau pun melanjutkan uraiannya bahwa ada 2 jenis heritage, baik yang bersifat tangible (nyata) seperti yang bisa kita lihat, raba, bisa kita lihat tarian dan properti yang ada dalam tarian-tarian serta yang kedua disebut sebagai yang lebih kaya tapi tidak terlihat (intangible heritage atau intangible cultural heritage), yang disebut sebagai warisan budaya tak terlihat. Para ahli di Indonesia sepakat menyebutnya budaya tak benda.
“Apa yang kita saksikan hari ini adalah kombinasi 2 hal itu”, kata Rizaldi.
“Warisan budaya tak benda dan benda tidak turun dari langit, tapi diciptakan oleh manusia, leluhur Masyarakat Adat. Mereka penuh dengan daya kreativitas dan menjadi sangat unik. UNDRIP melindungi Masyarakat Adat mengekspresikan budayanya. Masyarakat Adat sangat peka dan canggih terhadap fenomena budaya tak benda ini, luar biasa. Seharusnya kita sebagai orang modern belajar terhadap kemampuan mereka, menangkap symbol-simbol yang tidak pernah kita pelajari di sekolah-sekolah resmi ini”, jelas Rizaldi.
Senada yang disampaikan Rukka sebelumnya, Dirjen Kebudayaan Kementerian Kebudayaan RI, Hilmar Farid mendukung proses pembahasan RUU Masyararakat Adat.
“Saya ingat, ketika UNDRIP disahkan tahun 2007 sangat meriah dan ramai sekali kita mendiskusikannya. Saya memaknai deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat ini adalah buah dari perjuangan Masyarakat Adat di seluruh dunia. Termasuk RUU Masyarakat Adat yang sedang dibahas saat ini, ketika disahkan menjadi Undang-Undang harus dimaknai sebagai buah dari perjuangan Masyarakat Adat. Saya sepakat dengan Sekjen AMAN, bahwa secara substansi RUU MA ini perlu dikawal”, kata Hilmar.
“Kita tahu, bahwa kita hidup di masa modernisasi. Hari ini kita merayakan peringatan 13 tahun UNDRIP melalui Zoom, tapi bukan berarti kita melupakan pengetahuan dari apa yang sudah dipraktekkan oleh Masyarakat Adat secara turun temurun. Ini adalah momentum global, saat ini kita harus secara sungguh-sungguh untuk belajar lebih banyak dari Masyarakat Adat”, lanjut Hilmar.
Setelah sambutan dan pengantar dari masing-masing narasumber, acara kemudian dilanjutkan dengan penampilan pertunjukan seni dan budaya dari komunitas adat yang menyebar di seluruh nusantara.
Sebagai informasi, bahwa Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) merupakan suatu deklarasi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 13 September 2007 oleh mayoritas negara-negara anggota PBB.
UNDRIP merupakan komitmen konkrit negara-negara anggota PBB untuk untuk bergerak kearah yang lebih baik sebagai sebuah standar penting untuk perlakuan terhadap masyarakat adat yang menjadi alat yang signifikan untuk menghapuskan pelanggaran HAM ratusan juta Masyarakat Adat di dunia dan membantu memerangi diskriminasi dan marginalisasi.
Deklarasi ini menetapkan hak individu dan kolektif Masyarakat Adat, serta hak atas budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan masalah lainnya. Deklarasi juga menekankan hak-hak Masyarakat Adat untuk memelihara dan memperkuat kelembagaan/institusi adat, budaya dan tradisi mereka sendiri, dan untuk mengejar perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi Masyarakat Adat sendiri.
Deklarasi juga melarang diskriminasi terhadap Masyarakat Adat dan mempromosikan partisipasi penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam semua hal yang menyangkut kehidupan Masyarakat Adat. Salah satu tujuan Deklarasi PBB ini adalah mendorong negara-negara untuk bekerja sama dengan Masyarakat Adat dalam memecahkan masalah global, seperti pembangunan, demokrasi multikultural dan desentralisasi.*
Infokom PB AMAN