Supriyadi Sudirman
Infokom AMAN Maluku Utara
Awal 1 Agustus 2020 lalu, disertai tagar “Menjaga Indonesia”, IDN Times dalam serial webinar mengangkat berbagai problem yang melanda Bangsa Indonesia. IDN Times yang berdiri sejak 2014, meluncurkan #MenjagaIndonesia sebagai rangkaian kampanye sosial untuk memperingati Ulang Tahun ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia.
“Sebagai bangsa, kita perlu bersama-sama, membangun solidaritas sosial untuk melawan serangan virus, dan berjuang untuk tetap menjadi Indonesia yang bangsanya majemuk, menjunjung tinggi hukum dan HAM, menerapkan demokrasi, memelihara toleransi, budaya, dan kearifan lokal, anti korupsi, membangun ekonomi adil yang berkelanjutan,” ungkat Uni Lubis, pimpinan redaksi IDN Times saat membuka seri terakhir diskusi pada 18 Agustus 2020 lalu.
Sektaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi yang menjadi salah satu pembicara di rangkai terakhir webinar dengan topik “75 Tahun Merdeka, Bagaimana Nasib Masyarakat Adat”, mengatakan bahwa penggunaan baju adat oleh Presiden di acara-acara kenegaraan harus mendapat apresiasi. Meski dengan catatan penting yang tidak boleh dikesampingkan.
“Lewat gestur politik pemimpin kita khususnya Presiden, patut kita bangga bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia di setiap ritual-ritual seremonial di Istana menggunakan baju-baju adat. Baju adat sangat menonjol dan itu baru di zaman pemerintahan Jokowi ini pantas untuk kita apresiasi. Bahwa setidaknya, hal itu menunjukkan bahwa Masyarakat Adat masih kelihatan. Tapi di sisi lain, tiap tahun Masyarakat Adat juga semakin sesak napas dengan semakin banyaknya kasus kekerasan dan perampasan wilayah adat. Sehingga sebenarnya sangat sulit untuk berkomentar. Apakah akan mengapresiasi atau justru akan menangis,” kata Rukka membuka pemaparannya.
Menurut Rukka, hal tersebut tidak lepas dari makin suramnya nasib Masyarakat Adat dari tahun ke tahun. Perempuan Adat asal Tana Toraya, Sulawesi Selatan ini juga menyoroti bagaimana janji politik Presiden Joko Widodo untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat masih jauh dari harapan.
“Karena semakin ke sini, setiap tahun, apalagi sejak pemerintahan Jokowi, situasi Masyarakat Adat semakin suram. Undang-Undang Masyarakat Adat yang adalah janji beliau yang termuat dalam Nawacita, di poin ke-6 terkait Masyarakat Adat, hingga sekarang masih di langit,” ucap Rukka kesal.
Sekjend AMAN ini juga menyoroti soal komitmen pengakuan wilayah adat yang hingga kini masih jauh dari harapan.
“Untuk Hutan Adat saja angka Presiden Jokowi baru mencapai sekitar 30 ribu hektar yang sudah diadministrasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Angka ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan 10 juta hektar lebih peta wilayah adat yang sudah ada di tangan pemerintah. Ironisnya, hasil pemetaan wilayah kemudian dicoret dari apa yang disebut sebagai One Map Indonesia,” jelas Rukka.
Lebih lanjut Rukka memaparkan mengenai makin maraknya perampasan wilayah adat yang terjadi di seantero Nusantara.
“Saya tidak mau menyebut ini sebagai konflik. Berbeda. Masyarakat Adat tidak pernah mau berkonflik. Tapi dipaksa oleh perampasan-perampasan wilayah adat. Masyarakat Adat dipaksa untuk harus berhadap-hadapan dengan invasi perusahaan dan investasi oleh Negara di tengah-tengah ketiadaan perlindungan hukum. Apalagi, perusahaan dan Negara datang menyerbu wilayah adat dengan menggunakan kekuatan aparat keamanan dan buldoser,” tegas Rukka.
Menurut Rukka, janji-janji pembangunan bahwa perusahaan akan menciptakan lapangan kerja, akan ada sekolah, akan ada akses yang lebih baik terhadap pelayanan sosial, akan lebih sejahtera dan lain sebagainya terbukti sebagai omong kosong belaka.
“Terbukti, bahwa wilayah-wilayah adat yang dirampas justru tidak membawa kesejahteraan. Yang ada, justru menimbulkan lebih banyak penderitaan bagi Masyarakat Adat yang kehilangan tanah,” ungkap Rukka.
Hal tersebut dalam analisis Rukka disebabkan karena ketiadaan perlindungan hukum hingga 75 tahun umur kemerdekaan Indonesia. Perlindungan hukum yang bersifat operasional yang merupakan turunan dari mandat konstitusi seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Pasal 18B, ayat (3). Sebaliknya yang terjadi hari menurut Rukka ini justru berkebalikan dengan hal tersebut.
“Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, tapi hingga kini belum ada Undang-undang Masyarakat Adat yang membantu pemerintah untuk mengoperasionalisasikan hak konstitusional Masyarakat Adat. Sebaliknya, yang lahir justru berbagai undang-undang yang digunakan untuk menjustifikasi perampasan wilayah adat secara sepihak oleh pemerintah untuk kemudian diserahkan kepada perusahaan,” tegas Rukka.
Menurut Rukka, ketiadaan niat politik tersebut justru diperparah dengan hadirnya RUU Omnibus Law yang dinilai akan menjadi cara Indonesia menjagal dirinya sendiri.
“Saat RUU Masyarakat Adat hingga kini belum disahkan, Pemerintah justru datang dengan RUU Omnibus Law yang akan menjadi macan pemangsa wilayah adat. Ini artinya, Indonesia melalui Pemerintah dan DPR RI sedang menjagal dirinya sendiri. Memaksakan pengesahan Omnibus Law di tengah maraknya berbagai penolakan dan lemahnya perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat dan kelompok rentan lain dapat disebut sebagai upaya bunuh diri,” tutur Rukka.
Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa bahkan tanpa Omnibus Law, perampasan wilayah adat saat ini masih marak terjadi. Kehadiran Omnibus Law diprediksi akan makin memperparah kondisi tersebut.
“Ini namanya development fallacy atau kebohongan pembangunan. Ini menciderai janji kemerdekaan. Menciderai mandat Pemerintah untuk menyejahterakan warga negaranya. Menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada perusahaan dan investor, justru menunjukkan kegagalan Negara. Artinya, Indonesia sedang menyongsong krisis yang lebih besar di segala sektor,” tegas Rukka.
Perempuan yang terpilih sebagai Sekjend AMAN di Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-V di Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatra Utara ini menegaskan bahwa borok janji kosong kesejahteraan yang terekspos karena pandemi Covid-19 tampaknya tidak cukup untuk membuat Pemerintah mengubah strategi pembangunan yang sudah terbukti gagal. Menurut Rukka, ini adalah tanda bahaya akan datangnya krisis yang lebih besar yang harusnya mesti segera diantisipasi dengan memperkuat Masyarakat Adat.
“Pandemi global yang berlangsung saat ini menyodorkan kita pada dua pilihan yang tampaknya berbeda antara Pemerintah dan Masyarakat Adat. Jika Pemerintah tetap bersikeras untuk menyerahkan masa depan kepada para investor, Masyarakat Adat justru sebaliknya harus memperkuat perannya untuk menjadi penyangga bagi kelompok-kelompok rentan di daerah perkotaan. Krisis pangan yang kini sedang menjelang akan menjadi bencana nasional jika Masyarakat Adat tidak mampu memainkan peran penting untuk mendukung masyarakat di perkotaan yang sangat bergantung dengan suplai dari kampung-kampung dan wilayah adat yang masih berdaulat,” tutup Rukka.