Jamal Bobero
Infokom PW AMAN Maluku Utara
Cuaca cerah yang direkam itu, tampil secara hangat di layar monitor, pohon Kratom dan tanaman padi turut memberikan kesejukan dalam pandang. Rumah betang atau rumah panjai, dan kehidupan di kebun dan aktivitas di pemukiman masyarakat turut membagi pesona indah dari eksistensial masyarakat adat dan keasrian lingkungan.
Panorama di atas berasal dari sebuah film dokumenter karya bocah brilian berumur lima belas (15) tahun asal Komunitas Adat Menua Sui Utik yang diputar untuk menyemaraki perayaan Internasional Day of the World’s Indigenous Poepole atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Minggu (9/8/2020).
Kynan Tegar (15), sutradara film “20 Tahun Perjuangan Masyarakat Adat Sui Utik” merekam kehidupan komunitas adat-nya di Dusun Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Masyarakat Adat Dayak Iban di Sui Utik merupakan salah satu dari 22 komunitas adat di dunia yang pada 2019 lalu mendapatkan penghargaan Equator Award dari UNDP (United Nations Development Programme). Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi terhadap usaha mereka mengatasi perubahan iklim, lingkungan, dan kemiskinan, dengan merawat hutan mereka seluas kurang lebih 9.453,5 hektar. Hal ini melengkapi pencapaian mereka di tahun 2012, saat Hutan Adat Sui Utik menjadi wilayah komunitas adat pertama yang memperoleh serifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia.
“Ini luasan hutan adat terbesar di Nusantara yang memperoleh pengakuan. Namun kita tidak akan berhenti di sini dan masih tetap akan memperjuangkan itu,” ungkap Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi saat memandu diskusi bersama dengan warga Sui Utik.
Untuk menyambut HIMAS 9 Agustus 2020, perwakilan komunitas adat Sui Utik secara khusus meninggalkan kampung untuk ikut menyemangati komunitas-komunitas adat lain meski harus dilakukan secara daring (online). Harapannya, pencapaian Sui Utik yang telah berjuang lebih dari empat puluh tahun dapat menjadi penambah energi bagi komunitas-komunitas adat lain yang tengah berjuang mendapatkan pengakuan atas wilayah adatnya.
Perjuangan Masyarakat Adat untuk memperoleh pengakuan atas tanah ulayatnya di tengah gempuran pembangunan-isme yang bergelora sejak abad ke-19, menjadi salah satu alasan dideklarasikannya HIMAS oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui resolusi 49/214 tertanggal 23 Desember 1994, oleh Majelis Umum PBB, tanggal 9 Agustus kemudian ditetapkan sebagai momentum tahunan bagi Masyarakat Adat di seluruh dunia.
Setiap tahunnya, perayaan HIMAS ini selalu mengusung tema yang merefleksikan kondisi-kondisi kontekstual. Jika tahun lalu, perayaan HIMAS mengusung tema mengenai bahasa Masyarakat Adat, maka di tahun ini secara global PBB mengusung tema “Covid-19 dan Resiliensi Masyarakat Adat”. Resiliensi adalah daya lenting Masyarakat Adat ketika menghadapi Covid-19 dengan aktif dan membuktikan bagaimana kearifan-kearifan lokal dari Masyarakat Adat merupakan solusi terhadap problem yang dihadapi hari ini. Tema internasional ini diadaptasi AMAN dengan kondisi nasional dengan menyoroti “Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”.
Dalam pidatonya, Sekretaris Jendral AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, kehadiran Covid-19 sekaligus menegaskan bahwa apa yang telah diperjuangkan oleh Masyarakat Adat dalam menjaga wilayah adatnya dan mengelolanya secara bijaksana adalah solusi bersama. Ia tidak hanya menyelamatkan nasib Masyarakat Adat, tapi juga kehidupan lain yang bergantung dari upaya-upaya mempertahankan dan menyelamatkan bumi yang telah dan sedang dilakukan oleh komunitas-komunitas adat. “Pandemi memberikan berbagai jawaban sekaligus memberikan petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik. Sebuah kehidupan baru di mana kita harus hidup terus menjaga ibu bumi dan adil dengan sesama manusia,” tegas Rukka dalam pidatonya.
Dalam pidatonya, mewakili AMAN, Rukka melakukan refleksi terhadap perjalanan penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Tim Tanggap Darurat AMANkanCovid19 yang terbentuk sejak Maret 2020. Selama perjalanan tersebut, Rukka menemukan empat jawaban yang hadir melalui praktek Masyarakat Adat selama menghadapi penularan dan penyebaran Covid-19.
Pertama, Masyarakat Adat yang mampu bertahan di tengah krisis yang sedang melanda saat ini adalah mereka yang masih menjaga keutuhan wilayah adat, dan setia menjalankan nilai-nilai dan praktek luhur nenek moyang. “Masyarakat Adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan telah terbukti mampu menyelamatkan warga Masyarakat Adat-nya, sesama kelompok Masyarakat Adat bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan,” jelas Sekjen AMAN.
Temuan yang kedua adalah, bahwa Masyarakat Adat yang tanahnya sudah dirampas oleh perusahaan dan pemerintah, kemudian terpaksa menjadi buruh atau petani kelapa sawit tidak memiliki daya tahan mengahadapi krisis pangan akibat pandemi. “Masyarakat Adat yang seperti ini, yang sudah kehilangan kedaulatan atas wilayah adatnya, bernasib sama dengan masyarakat yang hidup di wilayah perkotaan, tempat yang mengalami masalah paling serius di soal pangan,” jelas Rukka.
Ketiga, selama masa pandemi telah dibuktikan bahwa rasa senasib sepenanggungan antara Masyarakat Adat, dengan kelompok marginal lain seperti petani, nelayan dan buruh telah mempu menciptakan pertahanan berkat kekuatan gotong royong. “Solidaritas antar kelompok inilah yang jauh lebih efektif dalam menghadapi pandemi,” tegas Perempuan Adat asal Toraja, Sulawesi Selatan ini.
Poin keempat, adalah bukti yang tidak lagi dapat disangkal bahwa paradigma pembangunan yang mengandalkan ekonomi-politik neoliberalisme telah gagal total. Seruan kesejahteraan dari mode kerja ini telah memperlihatkan kegagalan. “Penutupan pabrik, industri skala besar yang terancam bangkrut, PHK massal yang terjadi dimana-mana, meningkatnya biaya hidup di perkotaan, dan meningkatnya angka pengangguran merupakan bentuk kegagalan dari sistem ekonomi neoliberal,” pungkas Rukka.
Menutup pidatonya, Rukka Sombolinggi menyerukan agar wabah Covid-19 dijadikan momentum untuk memperkuat gotong royong dan gerak bersama untuk memutus lingkarang setan ekonomi kapitalistik dan neoliberalisme yang telah menindas kita semua selama ini.
Perayaan HIMAS secara daring (online) ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi. Misalnya adalah ucapan-ucapan selamat dari para politisi Masyarakat Adat yang menjadi anggota DPRD, Kepala Desa dan bahkan wakil bupati. Selain itu, AMAN juga menampilkan siaran langsung pementasan dari beberapa komunitas adat anggota, seperti Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, Jawa Timur, Komunitas Adat Mataue, Kulawi, Sulawesi Tengah dan Komunitas Adat Bakalewang, Samawa, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Meski terputus-putus karena memiliki sambungan internet yang kurang baik, tampak jelas antusiasme dari berbagai komunitas adat anggota AMAN. Ketimpangan digital tidak menjadi alasan untuk tidak berpartisipasi dalam HIMAS tahun ini. Berbagai seruan yang meminta agar DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat juga memenuhi media sosial dan ruang percakapan selama siaran langsung HIMAS.
Di sore hari, rangkaian acara juga dimeriahkan dengan peluncuran majalah “Pemuda Adat” yang merupakan produksi dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Mewakili sayap pemuda, Jakob Siringoringo sebagai Ketua Umum, meluncurkan majalah yang diharapkan akan menjadi ruang elaborasi dan dokumentasi Gerakan Pulang Kampung yang menjadi semangat utama para pemuda adat.