Jamal Bobero
Staff Infokom PW AMAN Maluku Utara
Perempuan Adat adalah kelompok yang kelangsungan kehidupannya sangat bergantung pada keadaan lingkungan, pun dapat menjadi penentu keberlanjutan hidup komunitasnya. Jauh dan susah untuk mengakses sumber daya kehidupan, oleh perempuan adat, menjadi masalah serius untuk sebuah komunitas Adat.
Melalui Seri Diskusi Masyarakat Adat ke-4 yang diselenggarakan oleh BRWA, Fokker LSM Papua, Econusa Foundation dan WRI Indonesia, masalah Perempuan Adat dikemas dalam webinar bertajuk “Perempuan Adat dan Hak-hak atas Wilayah Adat dan Kekayaan Alamnya di Tanah Papua”, Rabu (29/8). Komunitas Adat dan Perempuan Adat seperti dua sisi mata uang, keduanya harus tetap beriringan dalam kehidupan dan saling menentukan.
Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, salah satu narasumber pada diskusi tersebut, menuturkan, peran perempuan sangat menentukan eksistensi sebuah komunitas masyarakat adat, sebagaimana keberadaan perempuan adat sangat ditentukan dari keberadaan masyarakat adat itu sendiri. “Posisi Perempuan Adat, itu, lahir dari peran kuncinya di kampung-kampung. Peran yang berakar dari identitas yang melekat dengan wilayah adatnya beserta sistem sosial,ekonomi, politik dan budaya masyarakat adat,” terang Rukka.
Rukka mencatat, secara umum terdapat peran penting Perempuan Adat dalam ruang hidup dan sekaligus menjadi ruang kuasanya. Peran ini sangat terkait dengan sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat adat. Dalam pengobatan tradisional dan ritual, misalnya, perempuan memiliki pengetahuan obat-obatan tradisional dan berperan penting dalam pelaksanaan ritual. Keduanya terkait erat dengan sumber daya yang ada di wilayah adatnya dan, terkait dengan akses dan kuasa mereka (perempuan) atas wilayah adat itu.
Pada aktivitas kriya dan seni, perempuan adat jelas sangat menguasai seni tenun dan anyaman-anyaman serta berbagai kerajinan tangan lainnya. Dan, Dia (Rukka) menambahkan, hasil studi di seluruh dunia menyebutkan bahwa, perempuan adat menjadi penghasil pangan utama di komunitas dan juga ikut berperan penting sebagai pilar ekonomi masyarakat di komunitas dan keluarganya. Peran penting lain yang dimainkan oleh perempuan adat adalah konservasi, penjaga pengetahuan dan bahasa.
“Ekosistem-ekosistem yang masih bagus di permukaan bumi ini, itu semua menunjukkan peran kuat perempuan. Di mana terdapat Perempuan Adat yang kuat, di situ pasti ekosistemnya terjaga. Saya menyebut perempuan sebagai penjaga bumi, kemudian penjaga pengetahuan. Perempuan juga berperan untuk memastikan pengetahuan itu ditransfer ke generasi. Inilah konsep dasar yang kami sebut sebagai Sekolah Adat,” tambah Rukka.
Peran penting Perempuan Adat sebagaimana dijelaskan Rukka, sangat didukung oleh sistem nilai yang mengatur dan membentuk cara pandang masyarakat adat setempat. Hal ini dikuatkan oleh pendapat oleh Mardiyha Chamim, yang menjadi moderator pada diskusi tersebut.
Menurut Mardiyah, Masyarakat Adat di mana pun, memandang alam (hutan, gunung, sungai, dan lain sebagainya) sebagai dewa mereka. Karenanya, tidak ada ideologi penaklukan dari Masyarakat Adat. Sebaliknya adalah bagaimana menjalin harmoni dengan alam. Berbeda dengan masyarakat modern, yang memandang alam sebagai hal yang harus ditaklukan dengan berbagai cara dan teknologi.
Walaupun begitu, masih banyak praktek-praktek di dalam Masyarakat Adat yang opresif terhadap perempuan, meski peran utama perempuan sebagai sokoguru komunitas tidak diingkari. Rukka menyebut ini sebagai kekerasan struktural. Di tingkat internal (komunitas-komunitas Masyarakat Adat), perempuan sering tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan. Perempuan sering kali dianggap tidak mengerti apa-apa. Bahkan, glorifikasi Perempuan Adat seringkali mendudukan perempuan pada posisi kaku dan menjadi terbelakang.
“Saya sudah membicarakan peran central-nya, tetapi Perempuan Adat itu terus mengalami diskriminasi berlapis, sebagai perempuan dalam keluarga dan dalam komunitas. Realitas kita saat ini di mana ada banyak sekali praktek-praktek tradisi yang melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka tidak memiliki akses pada proses pengambilan keputusan. Dan ketika terjadi kekerasan perampasan wilayah adat secara khusus, maka Perempuan Adat juga yang akan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Di dalam keluarga, perempuan lebih banyak digiring untuk mengurus masalah dapur daripada terlibat dalam pengambilan keputusan,” tegas Rukka.
Namun akar kekerasan terbesar terhadap Perempuan Adat menurut Rukka adalah kebijakan pembangunan yang merampas wilayah adat, yang secara langsung mencerabut perempuan adat dari ruang kehidupan dan ruang kuasa mereka. Dalam pemaparannya, Sekjend AMAN ini menjelaskan bagaimana pentingnya hadir UU Masyarakat Adat sebagai bentuk proteksi terhadap akses Perempuan Adat terhadap sumber daya alam dan atas wilayah adatnya.
“Tanpa pengakuan Masyarakat Adat dan wilayahnya, serta jauhnya Perempuan Adat dari akses sumber daya, berpeluang menciptakan kerusakan lingkungan hilangannya kedaulatan Masyarakat Adat,” tutup Rukka.