Negara Mendanai Perampasan Wilayah Adat

Negara Mendanai Perampasan Wilayah Adat

Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara terhadap Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2020 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

Pada tanggal 19 Mei 2020, Presiden Jokowi menandatangani pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) No.66 Tahun 2020 sebagai pengganti Perpres No.102 Tahun 2012 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Dalam pandangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perpres ini layak dipersoalkan baik secara formil maupun materiil sebagaimana diuraikan di bawah ini:

  1. Perpres No. 66 tahun 2020 cacat formil.

Perpres ini lahir di tengah situasi pandemi COVID-19 yang menyebabkan keterlibatan masyarakat di dalam proses pembentukannya praktis tidak terjadi. Padahal partisipasi masyarakat merupakan syarat penting dan bersifat fundamental yang harus dipenuhi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

  1. Perpres No. 66 tahun 2020 adalah langkah mundur dalam konteks pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan wilayah adat

Jauh sebelum lahirnya Perpres No. 66 Tahun 2020, proses pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan haknya termasuk hak atas wilayah adat tersandera melalui berbagai regulasi yang berbelit-belit, sektoral dan tumpang tindih. Namun yang terjadi, bukanlah percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sejak awal diharapkan menjadi payung hukum dalam proses pengakuan dan perlindungan wilayah adat, Pemerintah justru mengeluarkan Perpres No. 66 tahun 2020 yang berimplikasi pada semakin luas dan massifnya perampasan wilayah-wilayah adat.

Bertolakbelakang dengan seruan solidaritas dari Presiden yang dialamatkan ke seluruh kalangan termasuk Masyarakat Adat, petani, dan nelayan untuk menghadapi ancaman krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Mengatasi krisis pangan hanya bisa diandaikan jika petani dan Masyarakat Adat menguasai dan secara leluasa mengusahakan tanah di dalam wilayah-wilayah adat untuk mengantisipasi krisis pangan.

Hal tersebut menggambarkan ketidaksinambungan ide antara Perpres No. 66 Tahun 2020, dengan seruan Presiden. Di tengah lemahnya pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya, Perpres ini justru akan berimplikasi pada semakin cepatnya proses-proses perampasan wilayah adat yang lebih luas.

  1. Perpres No. 66 Tahun 2020 Melegitimasi Pembentukan Bank Tanah.

Di dalam konsideran menimbang huruf (a) Perpres 66 dinyatakan bahwa,“…untuk mempercepat pendanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pelaksanaan Proyek Strategis Nasional telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2016 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.”

Dari konsideran tersebut di atas, terlihat dengan sangat jelas bahwa pembentukan Perpres 66 dimaksudkan untuk mendapatkan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dengan menjadikan tanah sebagai jaminan pendanaan (Bank Tanah). Ketentuan lebih lanjut mengenai maksud tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perpres 66, yang menyatakan bahwa pendanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional bertujuan untuk pembentukan dana jangka panjang dan/atau dana cadangan.

Arah pembentukan bank tanah tersebut makin diperkuat dengan pernyataan Isa Rachmatawarta (Dirjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI) menyambut penerbitan Perpres 66/2020 sebagaimana dilansir Bisnis.com pada tanggal 22 Mei 2020, yang menegaskan bahwa “…yang dimaksud dengan dana panjang dan/atau dana cadangan adalah kumpulan daya yang cukup sehingga ke depan bila ada kebutuhan pengadaan tanah, dana tersedia dan tidak perlu menunggu APBN tahun depan atau APBN Perubahan.

Menyoal hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjend) AMAN, Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa pembentukan bank tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Perpres 66/2020 berpotensi makin memperparah ketimpangan dan konflik agraria karena dengan adanya bank tanah akan semakin memperlancar proses perampasan wilayah adat atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan serta menjadikan tanah sebagai objek spekulasi. Situasi ini sangat jelas mengancam keberadaan wilayah adat.

  1. Perpres 66 Memperkuat Legitimasi Perampasan Tanah.

Di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa objek pengadaan tanah meliputi; a). tanah instansi, berupa Barang Milik Negara/Daerah dan milik BUMN/BUMD; b). tanah wakaf; c). tanah kas desa; d). aset desa; e). kawasan hutan. Ketentuan pengadaan tanah tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.

Klausul ini semakin memperkuat legitimasi perampasan wilayah adat atas nama pembangunan untuk kepentingan proyek strategis nasional. Di dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Perpres No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menjadi salah-satu dasar hukum pembentukan Perpres 66 disebutkan bahwa terhadap Masyarakat Adat harus diakui terlebih dahulu melalui Peraturan Daerah (Perda). Dengan kata lain, Masyarakat Adat yang belum diakui keberadaannya dengan Perda, tidak dikategorikan sebagai pihak yang berhak menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah.

Tidak terdapat pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik hak atas tanah Masyarakat Adat yang akan dijadikan lokasi pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional. Perpres ini malah semakin memperkuat legitimasi pemindahan atau resettlement Masyarakat Adat secara paksa dari wilayah adatnya sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Secara khusus Pasal 7 Pepres No. 88/2017 menyebutkan: “Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.” Tidak ada penjabaran lebih lanjut pada bidang tanah yang belum ditunjuk sebagai kawasan hutan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi KLHK (Juli 2017), dari total 122 juta hektar kawasan hutan yang telah ditunjuk, seluas 87 juta hektar atau 86.80% telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap. Artinya kurang dari 14% hutan yang tahapannya masih penunjukan, yang dapat diselesaikan konfliknya melalui mekanisme yang diatur dalam Pepres 88/2017. Dari hasil analisis AMAN (2017) menemukan sedikitnya terdapat 1,62 juta hektar yang tersebar di 609 komunitas adat terancam resetlement karena berada dalam kawasan konservasi. Artinya, dengan pemberlakuan Pepres No. 66 Tahun 2020, ancaman resettlement tersebut semakin nyata. Pemindahan secara paksa yang diletigimasi oleh peraturan perundang-undangan yang berkedok untuk pembangunan strategis nasional.

Sekjend AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan bahwa rangkaian peraturan perundang-undangan tersebut jelas menunjukkan watak rezim yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan selanjutnya ditegakkan secara represif. Maka tidak heran jika ada persepsi bahwa hukum dalam arti peraturan perundang-undangan tidak lagi mengabdi pada keadilan sebagai tujuan dan cita hukum. Sebaliknya, peraturan termasuk Perpres No. 66 Tahun 2020 semakin meneguhkan bahwa hukum melalui peraturan perundang-undangan menjadi pembenar dari serangkaian kejahatan. Dalam era demokrasi yang menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk dalam proses pembentukan hukum, keberadaan peraturan yang represif dan menindas adalah langkah mundur.

  1. Perpres No. 66 Tahun 2020 Memperkuat Penguasaan Tanah oleh Korporasi

Perpres No.66 Tahun 2020 juga memungkinkan korporasi (Badan Usaha) untuk melaksanakan proyek strategis nasional dengan menggunakan dananya terlebih dahulu untuk kemudian digantikan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, melalui Menteri/Kepala Lembaga/Pimpinan BUMN yang melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional berdasarkan Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (3) huruf b jo. Pasal 1 butir 4 Perpres 66. Secara teknis, merujuk pada Pasal 21 ayat (2), Badan Usaha tersebut harus mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian untuk dan atas nama kementerian/lembaga dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum.

Jika melihat Perpres No.3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagai salah satu dasar hukum pembentukan Perpres 66, dalam Bab IV tentang Penyediaan Tanah Pasal 21-23, yang pada intinya badan usaha swasta dapat melakukan penyediaan tanah untuk pelaksanaan proyek strategis nasional dan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan kepada badan usaha tersebut dalam proses penyediaan tanah, yang berbentuk prioritas atas penyediaan tanah dan/atau penggunaan tanah milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Meskipun kenyataannya tanpa fasilitas ‘karpet merah’ sekalipun dari negara, penguasaan lahan oleh korporasi telah menimbulkan tsunami ketimpangan pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI (2019) seluas 20 juta hektar lahan pertanian produktif telah beralih fungsi menjadi izin-izin konsesi perkebunan kelapa sawit. Temuan KPK-GNPSDA (2018) menyebutkan luas wilayah pertambangan minerba seluas 38,8 juta hektar dan izin-izin usaha kehutanan seluas 31 juta hektar.

Ketimpangan pengelolaan SDA oleh korporasi besar juga menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Dalam 15 tahun (1998-2013) Perhutani diperkirakan kehilangan aset hutan Rp 998 miliar per tahun. Di sektor pertambangan dan minerba, terdapat kekurangan pajak hingga Rp15,9 miliar per tahun dari tiga pulau, yaitu Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Pada tahun 2016, KPK juga menemukan potensi pajak tidak terpungut di sektor perkebunan sawit sebesar Rp18,13 triliun (KPK-GNPSDA, 2019).

Kekeliruan pengelolaan SDA ini tidak hanya berimplikasi pada kerugian negara, tetapi juga menjadi penyumbang utama kemiskinan dan pemiskinan masyarakat. Data BPS (Maret 2019) menunjukkan angka kemiskinan penduduk di wilayah perdesaan sebanyak 15,15 juta atau sebesar 12,85 %. Riset KPK (2012) menyatakan bahwa kelompok yang secara langsung dan lebih dahulu terdampak adalah Masyarakat Adat dan lokal yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan serta di areal izin-izin konsesi baik perkebunan maupun pertambangan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, AMAN menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak Presiden untuk mencabut Perpres No.66 Tahun 2020, yang akan melegalkan perampasan wilayah adat atas nama pembangunan proyek strategis nasional dan mengakibatkan konflik dan pemiskinan bagi Masyarakat Adat. Model-model pembangunan harus dilandaskan dan didayagunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana telah dimandatkan secara tegas di dalam kontitusi dan tujuan bernegara.

  2. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang yang menyediakan proses pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat secara menyeluruh.

Jakarta, 22 Juni 2020
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Narahubung:

1. Rukka Sombolinggi (08121060794)

2. Erasmus Cahyadi (081284280644)

Tinggalkan Balasan