5 Masalah UU Minerba Bagi Masyarakat Adat

5 Masalah UU Minerba Bagi Masyarakat Adat

Kertas Posisi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas Perubahan Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara

Pengantar

Pada 12 Mei 2020, DPR RI bersama Pemerintah mengesahkan UU Perubahan terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bagi Masyarakat Adat, pengesahan UU ini jelas menunjukkan sikap pemerintah dan DPR yang sangat sigap dalam menyusun undang-undang yang melayani kepentingan investasi tambang meski berbahaya bagi keselamatan dan masa depan Masyarakat Adat. Sementara di sisi lain, terkesan sangat lamban dalam merespon tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang.

Perubahan UU Minerba dibahas secara diam-diam dan sangat jauh dari partisipasi masyarakat yang disyaratkan pada UU No. 12 tahun 2011. Secara substantif, UU Minerba yang baru ini di satu sisi memberi keistimewaan bagi pemegang konsesi tambang, dan melindungi kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan pejabat negara dalam memberikan ijin pertambangan. Sementara di sisi lain, UU Minerba yang baru ini akan menghancurkan ruang hidup dan wilayah adat serta semakin melemahkan posisi Masyarakat Adat, melanggengkan praktik korupsi pada sektor minerba, meningkatkan eskalasi konflik di wilayah-wilayah adat, dan berbahaya bagi keberlanjutan lingkungan.

Selain masalah pada aspek formil, AMAN mencatat sedikitnya terdapat lima masalah utama yang terkandung di dalam UU Minerba yang baru, sebagai berikut:

UU Minerba yang Baru Menghancurkan Ruang Hidup Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan wilayah adatnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Identitas Masyarakat Adat pada hakikatnya terbentuk dari interaksi dinamis antara manusia baik secara individual maupun secara bersama-sama dengan segala sesuatu di dalam wilayah adat yang menjadi ruang hidupnya. Jadi, hilangnya wilayah adat yang salah satunya disebabkan oleh perampasan berkonsekuensi pada hilangnya identitas Masyarakat Adat. Berdasarkan Pasal 1 ayat (28a) perubahan UU Minerba, Wilayah Hukum Pertambangan mencakup ruang darat, laut, bawah bumi di kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landasan kontinen. Ini adalah norma sapu jagat tanpa pengecualian terhadap ruang, termasuk ruang hidup Masyarakat Adat.

Faktanya, tanpa norma sapu jagat sekalipun, sudah banyak Masyarakat Adat yang harus kehilangan wilayah adat yang berkontribusi langsung terhadap pelemahan identitasnya. Salah satu contoh yang masih berlangsung hingga saat ini adalah hilangnya wilayah Masyarakat Adat Cek Bocek yang disebabkan oleh adanya ijin dari negara kepada PT. Newmont Nusa Tenggara, yang sekarang sudah berganti nama menjadi PT. AMNT. Kerusakan yang ditimbulkan tak terkira. Makam leluhur, kebun, sungai, dan tempat-tempat keramat menjadi rusak karena proyek tambang emas tersebut. Masyarakat Adat Cek Bocek terancam kehilangan tempat tinggal, wilayah kelola dan identitasnya.

Konflik tersebut bersama 7 konflik lain yang terjadi antara Masyarakat Adat dengan perusahaan tambang yang lain pernah diperiksa dalam Nasional Inkuiri yang dilaksanakan oleh Komnas HAM pada tahun 2014. Kedelapan konflik pertambangan di wilayah adat tersebut menjadi representasi dari puluhan konflik antara Masyarakat Adat dengan perusahaan tambang di seluruh Indonesia. Melalui penyelidikan atau Inkuri tersebut, Komnas HAM mengemukakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat dan pelanggaran tersebut sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan Masyarakat Adat. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, serta suramnya masa depan Masyarakat Adat akibat dari hilangnya wilayah-wilayah adat mereka.

UU Minerba yang Baru Melanggengkan Praktik Korupsi di Wilayah Adat

Berdasarkan data yang dihimpun AMAN, hingga 2019 luasan konsesi tambang di seluruh Indonesia mencapai 19.224.576 Ha. Sebanyak 77% dari luasan tersebut merupakan konsesi illegal.

Sementara hasil penelitian Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menemukan ada 326 Kepala Daerah, politisi dan birokrat yang terjerat korupsi dan diproses hukum oleh KPK dalam rentang waktu 2011-2017. Hingga Januari 2018, masih terdapat 8.710 izin tambang di Indonesia yang sarat masalah dan pelanggaran. Permasalah tersebut berupa tumpang tindih perijinan dengan kawasan hutan, tidak membayar pajak dan royalti, tidak memiliki NPWP, serta adanya dugaan korupsi.

Hal tersebut membuktikan morat-maritnya perizinan pertambangan di Indonesia. Sebagian dari rangkaian masalah di atas juga terjadi dalam praktek-praktek perijinan pertambangan di wilayah-wilayah adat.

Pada tahun 2018, AMAN menemukan bahwa terdapat potensi korupsi sumberdaya alam sebanyak 262 kasus di atas wilayah adat, termasuk tambang. Sementara, UU Minerba yang baru justru abaik terhadap berbagai persoalan yang terjadi dan menjadikannya sebagai acuan dalam melakukan revisi terhadap UU Minerba yang lama. Sebaliknya, UU Minerba yang baru justru melindungi kesalahan dan pelanggaran dari jerat hukum. Hal ini dibuktikan dengan dihapusnya sanksi pidana yang sebelumnya terdapat di dalam UU Minerba yang lama bagi pejabat negara yang berwenang mengeluarkan izin-izin pertambangan. Keistimewaan ini membuka peluang korupsi yang lebih besar lagi.

Sentralisasi Kewenangan Pengelolaan Sumberdaya Alam

UU Minerba No.4 tahun 2009 telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Minerba sebagai wujud dari semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Namun demikian, perubahan UU Minerba justru melemahkan hal tersebut. Melalui UU Minerba yang baru, kewenangan Pemerintah Daerah, Provinsi dan Kabupaten dalam pengelolaan mineral dan batubara kembali ditarik ke Pemerintah Pusat. Melalui UU Minerba yang baru, kewenangan untuk melakukan pengelolaan anggaran, sarana-prasarana, serta operasional inspektur tambang maupun pejabat pengawas pertambangan ditarik ke pusat untuk pelaksanaan IUP, IUPK, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan, dan Penjualan atau IUJP. Pembinaan dan pengawasan yang seharusnya dilaksanakan Pemerintah Daerah pun digugurkan dengan perubahan tersebut.

UU Minerba yang Baru Meningkatkan Kekerasan dan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat

Dalam Catatan Akhir Tahun 2018 AMAN, terdapat 262 Masyarakat Adat yang dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya. Termasuk Masyarakat Adat yang wilayah adatnya telah diberikan ijin oleh negara kepada perusahaan tambang. Ironisnya, UU Minerba yang baru justru melindungi kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan pejabat negara dalam memberikan ijin tambang. UU Minerba yang baru ini justru bersifat sangat represif terhadap Masyarakat Adat.

Misalnya, Pasal 162 dan 164 sebagai ketentuan yang dapat digunakan untuk menyeret Masyarakat Adat ke penjara. Apalagi ketentuan ini tidak dijelaskan sehingga sangat memungkinkan multi-tafsir dalam implementasinya. Sifat UU Minerba yang di satu sisi melindungi pejabat negara dan di sisi lain represif terhadap Masyarakat Adat jelas menunjukkan bahwa UU Minerba ini adalah instrumen yang melayani kekuasaan semata.

UU Minerba yang Baru Memberikan Keistimewaan Bagi Pemegang Konsesi Tambang

UU Minerba yang baru jelas memberikan keistimewaan bagi para pemegang konsesi tambang. Bahkan dapat dinilai sebagai bentuk yang jauh lebih buruk dari UU Minerba sebelumnya. Dalam perubahan ini, pengaturan mengenai perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dilakukan tanpa melalui lelang.

Dalam pasal 169A dijelaskan bahwa KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan secara otomatis 2×10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya. Hal ini akan menambah panjang penderitaan Masyarakat Adat, terutama komunitas-komunitas yang wilayah adatnya sedang menghadapi konflik dengan konsesi tambang.

Selain itu, UU Minerba yang baru juga mengatur bahwa pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini memberikan keistimewaan lain bagi pemegang IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan. Ketentuan ini jelas mengancam Masyarakat adat dan wilayahnya terutama di tengah lamban dan tidak pastinya pengakuan dan perlindungan hukum atas Masyarakat Adat dan wilayah adat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka AMAN menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak Presiden RI dan DPR RI untuk segera mencabut UU Perubahan No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
  2. Meminta kepada Presiden RI dan DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Jakarta, 21 Juni 2020

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Narahubung

  1. Rukka Sombolinggi +628121060794
  2. Erasmus Cahyadi +6281284280644

Tinggalkan Balasan