Budi Baskoro
Infokom AMAN Kotawaringin Barat
Pantai Kubu, tempat wisata dan bersantai masyarakat Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah itu sepi. Di musim pandemi COVID-19 ini, akses masuk ke pantai sengaja ditutup. Palang-palang kayu menghalangi jalan kendaraan hingga mendekat pantai.
Di gerbang masuk desa, yang biasanya pada hari libur jadi pos ticketing, kini berubah jadi tempat pemberhentian untuk memeriksa orang yang datang. Orang yang lewat dicek suhu tubuhnya dengan thermo gun. Mereka ditanyai asal dan tujuannya. Tidak mudah bagi mereka yang datang dari kampung atau kecamatan berzona merah dapat masuk ke Kubu, yang sampai saat ini masih zona hijau.
Masyarakat setempat dengan kesadaran, menerima situasi ini. Sebagian mereka adalah anggota Komunitas Adat Sungai Batu, yang selama ini hidup dan menikmati objek wisata ini sebagai sumber penghasilan utama. Mereka mendukung kebijakan kepala desa yang merupakan pendukung gerakan masyarakat adat juga, dalam menjaga kampungnya agar terhindar dari wabah.
Seperti Kamis (7/5/2020) sore itu, didukung Badan Pekerja Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Kotawaringin Barat dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kotawaringin Barat, mereka melakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan pemukiman komunitas dan fasilitas umum kawasan wisata. Jantermas, Ketua Komunitas Adat Sungai Batu, menjadi motor kegiatan ini.
Meski begitu, Masyarakat Adat Sungai Batu mengakui, pandemi ini berdampak pahit bagi pendapatan ekonomi mereka. Turdin, misalnya, mengatakan selama pandemi, omzet usaha keluargannya dari rumah makan di tepi pantai itu praktis terjun bebas. Ini akibat hampir tak ada sama sekali orang yang datang.
Menurutnya, mendapat Rp50 ribu sehari sudah bagus. Padahal, rumah makannya biasa menyajikan menu yang istimewa, seafood dan kelapa muda. “Di hari biasa, bisa dapat pemasukan antara Rp 500 ribu hingga Rp1 juta,” ucapnya
Kesaksian yang sama disampaikan Ulis, istri Jantermas. Ulis kesehariannya membuka warung sederhana, dengan menjual pecal. Ia mengaku, untuk pendapat Rp100 ribu sehari saat ini susah sekali. “Mereka yang menjual kelapa muda, bisa sampai 40-50 sehari, saat ini hampir tak dapat penghasilan,” ungkap ibu dengan lima anak ini.
Namun, mereka masih bersyukur masih bisa bertahan. Turdin bilang, mereka masih bisa mengandalkan tetumbuhan di daratan dan kebun mereka untuk sayur. Dan masih punya laut untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk. “Kalau melihat berita masyarakat di Jawa, kita masih mending,” ucapnya.
Bagi Turdin, di balik pandemi ini ada hikmah, bahwa menjaga lingkungan, berladang dan bercocok tanam menjadi penting. Ia mengatakan, setuju dengan rencana komunitasnya, untuk memanfaat lahan tersisa, dengan menanam kembali pohon, dan tanaman yang menghasilkan. Mereka berencana menanam jengkol, petai dan tumbuhan ujung atap (Baeckea frutescens).