Sekolah Adat

Sekolah Adat

Marolop Manalu
Staff Deputi IV Sekjend AMAN untuk Urusan Pendidikan

Pandangan Umum

Sepintas tentang pendidikan nasional kita harus mengacu pada Ki Hajar Dewantara. Lantas bagaimana sebenarnya konsep pendidikan yang dibayangkan oleh Ki Hajar Dewantara dan bandingannya dengan konsep pendidikan saat ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kembali ke masa beliau mendirikan sekolah yang dinamakan Taman Siswa. Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Sekolah yang didirikan untuk anak-anak rakyat jelata yang pada masa itu tidak bisa mengakses pendidikan kolonial Belanda yang sangat diskriminatif.

Sistem pendidikannya disebut Among. Yaitu sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara yang berisi tiga prinsip dasar: tut wuri handayani, in madya mangun karsa, ing ngarso sung tuladha. Secara umum, Among artinya adalah kekeluargaan. Setiap guru atau pendidik akan secara intens mendampingi anak didik seperti di dalam keluarga di mana orangtua mendampingi anaknya. Dalam sistem Among ini juga praktik pendidikan didasarkan kepada apa yang menjadi minat atau ketertarikan anak didiknya. Hal ini menjadikan setiap anak yang memiliki keunikan dan keistimewaan sendiri itu bisa fokus untuk berkembang dan berkarya sesuai dengan minatnya tanpa harus dibebani dengan hal lain yang menurut anak didik kurang menarik baginya.

Bertolak belakang dengan hal di atas, hari ini kita justru tidak menggunakan sistem ini dalam konsep pendidikan nasional.

Kita justru memakai sistem pendidikan yang sama sekali berbeda, sistem pendidikan yang penuh dengan standar yang diberlakukan secara umum kepada setiap siswa yang pada akhirnya membunuh ke-unik-annya. Sistem pendidikan yang menciptakan kelas unggulan dan non unggulan. Sistem pendidikan yang berhasil membuat anak yang gagal dalam ulangan percaya bahwa dirinya bodoh. Sistem pendidikan yang membuat anak bahkan orangtua percaya bahwa tidak ada masa depan di kampung. Sistem yang melahirkan anak didik meninggalkan kampungnya untuk pergi mengadu nasib di kota.

Pendidikan dalam Masyarakat Adat

Sistem pendidikan Among yang digunakan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan dalam komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Nusantara.

Mereka sudah memiliki sistem pengetahuan yang komprehensif, berasal dari pengetahuan empiris leluhur atas alam tempat mereka tinggal yang terakumulasi selama ratusan bahkan ribuan tahun yang sebagian kecil terdokumentasi dalam bentuk tulisan dengan aksara-aksara nusantara di lontar-lontar, pustaha laklak atau kulit kayu, bambu, tulang binatang dan sebagian besar dalam lisan berupa tutur, kisah, legenda, syair, lagu. dan sebagainya.

Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi muda dengan cara yang mirip dengan apa yang dipraktikkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni dengan mendidik anak fokus dengan bidang yang diminati anak dan bisa langsung dia praktikkan di alam atau dengan kata lain kontekstual.

Dalam Masyarakat Adat, pada dasarnya telah ada pembagian-pembagian keahlian dalam komunitas mereka. Pembagian tersebut dalam istilah sekarang itu disebut profesi. Pembagian tugas ini lahir dari kebutuhan Masyarakat Adat itu sendiri dalam mempertahankan keberadaannya di alam tempat tinggal mereka. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Masyarakat Adat sangat mempertimbangkan keberlanjutan atau kelestarian alam. Masyarakat Adat tidak hanya memandang alam sebatas sumberdaya. Namun lebih jauh lagi, alam dan wilayah adatnya merupakan identitas mereka sebagai Masyarakat Adat.

Di sebagian besar komunitas adat di Nusantara kita dapat menemukan pembagian tugas ini. Ada orang yang khusus menangani ilmu perbintangan, yang menangani semua berhubungan dengan penentuan musim tanam dalam pertanian, terkait penentuan hari yang baik dan buruk dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk orang khusus menangani masalah obat-obatan. Belum termasuk ada orang yang khusus menangani masalah bangunan, seseorang yang khusus menangani masalah sastra, mereka yang akan menangani masalah irigasi, bertanggungjawab untuk menjaga keamanan kampung dan wilayah adat, sosok yang akan mengurus masalah ritual, dan mereka yang mengurus masalah hukum, atau masalah pemerintahan.

Profesi adat ini mempunyai namanya sendiri-sendiri dalam bahasa ibu komunitas adat setempat.

Pada awalnya setiap anak mendapatkan pengajaran dari tingkat keluarga. Sejak seorang anak bisa merangkak, anak diajar cara berjalan sampai bisa berbahasa ibunya dengan baik. Anak kemudian belajar banyak hal lain dari pengamatannya atas perilaku orangtuanya. Seperti cara mencangkul di ladang, menanam padi, memanen dan seterusnya.

Pada tingkatan selanjutnya si anak akan belajar dari lingkungan di komunitas Masyarakat Adatnya sendiri. Sampai pada akhirnya dia akan memutuskan lebih tertarik ke bidang-bidang yang sudah tersedia dan dibutuhkan oleh komunitasnya. Begitulah pola pendidikan adat yang berlangsung di komunitas adatnya, semua dipelajari dengan cara melihat, mengamati dan praktik langsung di lapangan.

Gerakan Pulang Kampung dan Sekolah Adat

Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya sejak pendidikan nasional yang mengadopsi sistem pendidikan barat diterapkan, di kampung-kampung Masyarakat Adat telah terjadi perubahan yang secara signifikan. Perubahan ini mengubah pola tatanan Masyarakat Adat yang sudah terbangun sejak ratusan tahun lalu.

Anak-anak yang sudah mendapatkan pendidikan “nasional” di sekolah-sekolah pemerintah atau swasta dan mendapatkan ijazah memilih untuk meninggalkan kampungnya. Mereka diajarkan bahwa yang disebut dengan kesejahteraan tidak berada di tengah komunitas, atau di dalam lingkup wilayah adatnya. Mereka diyakinkan bahwa kemajuan, perkembangan dan keterbukaan hanya akan mungkin jika memutuskan untuk pergi mengadu nasib ke kota-kota kabupaten sampai ke ibukota negara.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi hal ini.

Pertama, ijasah yang didapatkan dari sekolah-sekolah baik pemerintah dan swasta. Selembar surat ini dianggap sahih karena menjadi legitimasi atas stempel terhadap sebuah keahlian yang tidak atau belum bisa dipraktekkan di kampungnya. Kedua, si anak yang sudah mendapatkan pendidikan dari sekolah-sekolah pemerintah atau swasta tersebut telah terbius akan segala sesuatu yang disebut “kebaruan” yang diyakini hanya berada di kota. Segala macam “yang baru” ini membuat mereka lalu berkeinginan meninggalkan kampungnya. Ketiga, adanya stigma negatif bahwa Masyarakat Adat adalah masyarakat yang terbelakang. Terlebih khusus Masyarakat Adat yang masih menjalankan dan memegang teguh kepercayaan leluhur mereka.

Dengan hijrahnya para anak muda dari komunitas adat ini tentu saja membuat kampung menjadi sepi. Yang tersisa hanya orangtua dan anak kecil. Pemandangan ini bisa dengan mudah kita dapatkan jika kita pergi mengunjungi komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi tatanan Masyarakat Adat yang sebelumnya sudah mempunyai sistem pengelolaannya tersendiri.

Absennya generasi muda ini berakibat tidak berlanjutnya transfer pengetahuan dari orangtua kepada generasi muda yang lambat laun mengakibatkan kekosongan profesi adat yang ditinggal para orang tua yang sudah berpulang kepada sang pencipta.

Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kehadiran modal atau perusahaan-perusahaan ekstraktif yang merusak wilayah adat. Berubahnya fungsi hutan dalam wilayah adat, sebagai contoh merupakan bukti yang berbanding lurus dengan hilangnya pengetahuan dan kebudayaan Masyarakat Adat itu sendiri.

Kompleksitas dari kondisi inilah yang kemudian disadari betul oleh para pemuda-pemudi adat yang tergabung dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), salah satu organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kesadaran ini memuncak dan tampak jelas dalam sebuah pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan di Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat oleh AMAN, BPAN, Lifemosaic dan The Shamdana Institute pada 31 September sampai 24 Oktober 2015.

Pertemuan ini melahirkan sebuah keputusan penting untuk merealisasikan satu ide yang mereka namai Gerakan Pulang Kampung.

Apa Itu Gerakan Pulang Kampung?

Gerakan Pulang Kampung ini sendiri diterjemahkan menjadi beberapa inisiatif oleh para pemuda peserta pelatihan tersebut. Beberapa inisiatif yang muncul di antaranya berupa pilihan untuk mendirikan sekolah adat, kembali memulai pertanian oganik, beternak, dan berbagai inisiatif lainnya yang pada intinya kembali mengelola wilayah adat.

Pasca-pelatihan kepemimpinan pemuda adat di Sungai Utik tersebut, ada 3 peserta yang kemudian mendirikan sekolah adat di kampungnya masing-masing. D

i antaranya: Modesta Wisa yang menginisiasi berdirinya Sekolah Adat Samabue (SAS) di Desa Menjalin, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat; Nedine Helena Sulu menginisiasi berdirinya Sekolah Adat Koha di, Koha, Kec. Pineleng, Kab. Minahasa, Sulawesi Utara; dan Sri Tiawati menginisiasi berdirinya Sekolah Adat Punan Sumeriot (SAPS).

Para pemuda adat yang menginisiasi sekolah adat berkesimpulan bahwa sistem pendidikan nasional kini (bukan ala Ki Hajar Dewantara) tidak sesuai dengan konteks lokal dan mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Sistem ini mencerabut anak-anak Masyarakat Adat dari orang tua, budaya, pola pikir, cara hidup dan pengetahuan di wilayah adat. Secara luas, sistem pendidikan nasional ini berimbas pada melemahnya kesadaran akan pemenuhan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. Implikasi serius dari hal tersebut adalah hilangnya rasa percaya diri dan hilangnya identitas seseorang sebagai anak dan bagian utuh dari komunitas adat.

Dari poin-poin di atas, dapat dipahami bahwa konsep pendidikan adat yang melatarbelakangi berdirinya sekolah-sekolah adat memilih landasan yang berbeda dari filosofi pendidikan nasional. Perbedaan tersebut secara umum dapat dirumuskan ke dalam 15 Prinsip Pendidikan Adat sebagai berikut:

  1. Pendidikan adat harus berbasis komunitas Masyarakat Adat, harus dimulai dari dan oleh komunitas,
  2. Isi pendidikan adat harus ditentukan oleh komunitas Masyarakat Adat,
  3. Pendidikan adat mulai dari visi para tetua dan berakar dalam kehidupan dan budaya Masyarakat Adat setempat,
  4. Pendidikan adat mulai dalam Bahasa ibu setempat,
  5. Pendidikan adat harus sesuai dengan jati diri, pola pikir, cara hidup dan sistem pengetahuan setiap Masyarakat Adat,
  6. Pendidikan adat mengembalikan jati diri anak-anak Masyarakat Adat,
  7. Pendidikan adat membuka cakrawala anak-anak Masyarakat Adat untuk hidup di wilayah adat, daripada memisahkan mereka dari akar budaya dan wilayah adat,
  8. Pendidikan adat mendukung pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk hak menentukan nasib sendiri,
  9. Pendidikan adat menyiapkan pemimpin generasi penerus di wilayah adat,
  10. Pendidikan adat sesuai dengan kehidupan sehari-hari di wilayah adat,
  11. Pendidikan adat dirancang untuk mencapai impian masa depan bersama, bukan hanya mimpi perorangan,
  12. Pendidikan adat memajukan budaya sebagai landasan untuk berkembang sebagai manusia,
  13. Pendidikan adat mengutamakan cara berpikir yang menyeluruh daripada cara berpikir yang terkotak-kotak,
  14. Kegiatan belajar-mengajar dalam pendidikan adat tidak hanya di ruang kelas tetapi menggunakan semua tempat yang adat di wilayah adat,
  15. Pengajar dalam pendidikan adat juga mencakup para tetua dan pemegang sistem pengetahuan Masyarakat Adat,

Saat ini sekolah adat terus mengalami perkembangan pesat. Dalam data yang dikumpulkan AMAN per Maret 2020, total sudah ada sejumlah 53 sekolah adat. Semuanya tersebar di 7 Region yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara serta Papua.

Berdirinya sekolah-sekolah adat ini tentu saja menjadi penjabaran dari apa yang diucapkan oleh Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN bahwa “sekolah adat bukanlah alternatif, tetapi jalan keluar”.

Tinggalkan Balasan