Dua Pejuang Adat Lamtoras Bebas dari Tahanan, Penyambutan di Lapas Batal karena Penyebaran COVID-19

Dua Pejuang Adat Lamtoras Bebas dari Tahanan, Penyambutan di Lapas Batal karena Penyebaran COVID-19

Pematangsiantar — Dua pejuang komunitas masyarakat adat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara  bebas dari tahanan hari ini, Sabtu (4/4/2020). Pengurus dan tetua Lamtoras akan menyambut mereka dalam upacara adat upa-upa.

Mereka yang bebas adalah Bendahara Umum Lamtoras Thomson Ambarita dan Sekretaris Umum Lamtoras Jonny Ambarita.

Keduaanya menjalani penahanan sejak 24 September 2019 setelah terlibat dalam kasus bentrok memperjuangan dan mempertahankan tanah warisan nenek moyang yang telah dihuni secara turun-temurun selama 8-11 generasi, sejak tahun 1800-an.

Kebebasan para pejuang masyarakat adat setelah menjalani penahanan 2/3 dari 9 bulan ini akan disambut meriah dengan acara adat. Namun situasi dan kondisi penyebaran penyakit akibat Corona Virus Desease 2019 (COVID-19), yang sudah menyebar sampai ke Pematangsiantar, maka upacara penyambutan di Lapas Pematangsiantar, ditiadakan.

“Kami bersyukur, dua pejuang adat Lamtoras bebas hari ini. Semula direncanakan saat Thomson dan Jonny bebas dari Lapas, kami akan menyambut secara adat. Namun tidak memungkinkan karena Covid,” ujar Wakil Ketua Umum Lamtoras, Mangitua Ambarita, pada Sabtu pagi.

Pemuda Masyarakat Adat Lamtoras sekaligus guru Sekolah Adat Sihaporas Risnan Ambarita, menyambut baik masa bebasnya Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita.

“Kami bersyukur, dan senang dua pejuang ada ini bebas. Tadinya kami akan sambut secra adat, tapi situasi penyebran virus Corona saat ini tidak memungkinkan,” kata Risnan Ambarita yang juga anak dari Ketua Umum Lamtoras Judin Ambarita.

Thomson dan Jonny selanjutnya akan langsung dibawa ke Sihaporas di Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.

Mangitua melanjutkan, akan diselenggarakan acara adat sederhana namun penuh makna.

“Nanti di kampung lah baru kami bikin acara adat “Mangupa-upa” sekaligus penyambutan kepada pejuang adat ini. Setelah itu makan bersama,” ujar Mangitua.

Ia memerinci penyambutan berupa upacara adat stukur sekaligus upa-upa.

“Kepada mereka disajikan manuk mira na niatur ima sitolu masak. Adong namata, nai panggang, na iloppa. Bahenon mardongan pangurason. Pasahaton ma mangupa-upa pejuang on, asa dao sialni badan, mulak tondi hu ruma. Dungi Martangiang hu Debata Mulajadi Nabolon dohot leluhur,” kata Mangitua.

Saat ritual upa-upa disajikan makanan khas, yakni memotong ayam kampung bulu mira (warna merah). Daging diolah tiga jenis masakan; namata yakni daging khas dari bagian bagian tertentu yang diiris dan disantap dalam kondisi mentah atau setengah matang, kemudian panggang dan dimasak dengan bumbu rempah-rempah. Hidangan disertai pangurason atau air suci.

Selain selamatan, upacara upa-upa juga sekaligus doa untuk buang sial.

“Dungi bahenan boras sipirni tondi tu simanjujungna (beras akan dijumput tetua lalu diletakkan ke kepala),” ungkap Mangitua sembari mengimbuhkan sebelum bersantap dipimpin dalam doa. (*)

Tinggalkan Balasan