Di Tengah Pandemi Covid19 dan Ancaman Krisis Pangan, Perusahaan Perkebunan dan Aparat Menggusur & Membunuh Petani
Duka di wilayah konflik agraria kembali terjadi.
Di tengah ancaman krisis pangan akibat wabah Covid19 yang semakin meluas, petani digusur perusahaan perkebunan sawit. Kabar yang diterima dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatra Selatan dan Komite Reforma Agraria Sumatra Selatan (KRASS), PT. Artha Prigel menggusur secara paksa petani di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Penggusuran tersebut dibantu oleh security (tenaga pengaman) perusahaan, preman sewaan dan aparat kepolisian.
PT. Artha Prigel merupakan anak perusahaan PT. Bukit Barisan Indah Permai Group, dari Sawit Mas Group.
Petani yang menolak tanahnya digusur mencoba menghalangi hingga terjadi bentrokan di antara kedua pihak. Akibatnya, dua orang petani, yakni Suryadi (40) dan Putra Bakti (35) tewas di tempat. Sementara dua lainnya, Sumarlin (38) dan Lion Agustin (35) mengalami luka parah akibat bacokan senjata tajam. Hingga kini, dari kabar yang diterima kedua petani yang terluka masih dalam kondisi kritis di rumah sakit.
Tindakan penggusuran dan brutalitas yang dilakukan PT. Artha Prigel didampingi aparat kepolisian ini menunjukkan wajah buruk penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Kejadian ini juga menambah daftar panjang letusan konflik agraria di Indonesia yang disertai korban dari pihak petani.
Di tahun 2019 saja, terjadi 279 letusan konflik agraria di Indonesia, 87 di antaranya terjadi di wilayah perkebunan akibat tindakan penggusuran dan intimidasi yang dilakukan perusahaan perkebunan. Kejadian tersebut diikuti banyak korban dari pihak petani dan Masyarakat Adat akibat tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan perusahaan dan aparat. Sebanyak 258 orang di antaranya mengalami kriminalisasi, 211 orang dianiaya, 24 orang tertembak dan 14 orang di antaranya tewas.
Sangat disayangkan, di tengah ancaman krisis akibat wabah Covid19 yang terus meluas, korporasi perkebunan dibantu aparat kepolisian justru membuat kekacauan di lapangan.
Seharusnya, perusahaan-perusahaan perkebunan, aparat keamanan maupun pemerintah daerah tidak melakukan langkah-langkah kontraproduktif di wilayah-wilayah konflik agraria dan tanah masyarakat.
Dalam situasi ancaman pandemi virus dan krisis ekonomi seperti ini, perusahaan-perusahaan besar yang selama ini sudah mendapatkan banyak keistimewaan dari kebijakan pemerintah justru seharusnya turun tangan membantu Negara menghadapi wabah, ancaman krisis pangan dan ekonomi nasional.
Bukan melakukan tindakan yang memancing kemarahan petani dan masyarakat kelas bawah. Jika pemerintah tidak tegas menyikapi situasi ini, maka kebijakan social distancing (penjarakan sosial) guna mencegah penyebaran wabah tidak akan efektif. Karena aparat di bawah justru melegitimasi perusahaan membuat kekacauan dan keresahan di bawah.
Kejadian di Lahat ini menunjukkan ada pengkhianatan di masa prihatin atas wabah virus Corona dengan hawa nafsu bisnis, dengan menghalalkan nyawa. Kelompok swasta seperti perusahanaan seharusnya meliburkan diri turut serta dalam masa tegang cegah virus, bukan justru membunuh. Polisi seharusnya turut serta dalam kerja negara untuk memaksimalkan pencegahan virus, menyelamatkam nyawa bukan justru membunuh rakyat. Pelaku Kebiadaban ini harus dihukum berat!!
Atas situasi tersebut, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengutuk keras tindakan tak berperikemanusiaan yang dilakukan perusahaan yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa petani pada hari ini. Oleh sebab itu, kami bersikap dan menuntut:
1. Pemerintah pusat dan daerah harus tegas melindungi hak petani atas tanah dengan segera menghentikan penggusuran yang dilakukan oleh PT. Artha Prigel;
2. Menangkap pelaku dan mengusut tuntas tindakan brutalitas yang dilakukan perusahaan yang telah menganiaya dan menewaskan petani.
3. Memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang sengaja memancing keresahan, menggunakan kekekerasan dan memobilisasi penggusuran, di tengah situasi krisis yang mengancam negara dengan cara mencabut HGU perusahaan;
4. Kapolri segera lakukan tindakan tegas kepada anggotanya karena telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.: Mak/2/III/2020 Tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid19).
5. Tegakkan Perpres Reforma Agraria dengan melindungi dan menjamin hak-hak rakyat atas tanah pertanian dan wilayah hidupnya, hentikan cara-cara kekerasan dan keberpihakan aparat terhadap perusahaan di wilayah-wilayah konflik agraria.
Kami akan melihat langkah konkrit dan keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam merespon tuntutan di atas. Atau kami bersama serikat-serikat tani akan menyalakan tanda bahaya di wilayah-wilayah konflik agraria, memastikan tak ada lagi perampasan tanah dan kekerasan oleh perusahaan yang dibekingi aparat.
Demikian pernyataan sikap ini sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak.
Tanah Untuk Rakyat, Bukan Investor!
Jakarta, 21 Maret 2020
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
- Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
- Yayasan Pusaka
- Sajogyo Institute
- Lokataru Foundation
- Solidaritas Perempuan
- Bina Desa
- Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
- Sawit Watch
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- Indonesian Human Rights Commitee for Social Justice (IHCS)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
Kontak:
Benni Wijaya (KPA): 0853 6306 6036
Untung Saputra (KPA Sumsel): 0812 1070 4953
Dedek Chaniago (KRASS): 0853 7818 5071