Pemerintah, melalui Kementerian Perekonomian telah menyerahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR pada 12 Februari 2020 di Gedung DPR RI.
Sejak itu gelombang penolakan terhadap RUU CILAKA semakin besar. RUU ini mengancam keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya (wilayah adat, hutan adat dan tanah ulayat, masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil).
Berikut pandangan umum AMAN, dari kajian cepat terhadap RUU CILAKA ini.
Pertama, substansi pengaturan RUU CILAKA bertentangan dengan Hak Konstitusional Masyarakat Adat sebagaimana dimandatkan dalam pasal 18B ayat 2 dan pasal 28I UUD 1945, yang telah diteguhkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012.
Kedua, berbagai peraturan perundangan terkait masyarakat adat dihapus, dipotong substansinya dan diinterpretasi ulang. RUU CILAKA bahkan semakin memperkuat Pengakuan Bersyarat masyarakat adat yang panjang dan berbelit-belit. RUU CILAKA selanjutnya melanggengkan bahwa Masyarakat Adat tidak boleh bertentangan dgn kepentingan nasional (baca: kepentingan investasi).
Ketiga, RUU CILAKA akan semakin menghilangkan pekerjaan tradisional masyarakat adat (berladang, nelayan, pengumpul madu, kemenyan dan lain-lain).
Keempat, RUU CILAKA tidak menyiapkan kerangka pengaman untuk mencegah dan menyelesaikan konflik di wilayah adat. Hal ini akan menyebabkan pejuang-pejuang pembela Hak Masyarakat Adat semakin terancam mengalami kriminalisasi.
Kelima, RUU CILAKA disusun secara tertutup. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan organisasi masyarakat sipil lainnya terutama yang bekerja pada isu-isu agraria dan lingkungan hidup tidak pernah dilibatkan.
Saat ini yang dibutuhkan dan sifatnya mendesak bagi Masyarakat Adat adalah Undang-undang Masyarakat Adat, yang akan mengharmonisasi tumpang tindih berbagai perundangan dan peraturan terkait Masyarakat Adat.
#TolakOmnibusCILAKA
#OmnibusCILAKA
#SahkanRUUMasyarakatAdat
Rukka Sombolinggi
Sekretaris Jendral
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN