Datuk Pekasa: Kami Korban Kriminalisasi Pemerintah, Kembalikan Wilayah Adat Kami

Mataram 12 Nov 2014 – Masyarakat adat Pekasa memberi kesaksian dalam Dengar Keterangan Umum (DKU) Inkuiri Nasional region Bali Nusra. Dua perwakilan komunitas dalam kesaksiannya menyampaikan bahwa mereka adalah keturunan asli Pekasa yang sudah menghuni wilayah adat mereka sejak leluhurnya bermukim di sana. Pada tahun 2011 terjadi pembakaran pemukiman masyarakat adat Pekasa. “Rumah kami dibakar, tidak ada satu pun harta kami tersisa pada saat itu,” ujar Datuk Pekasa. Wilayah adat Pekasa dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTB.

Dalam keterangannya Pemkab, Pemda dan Pemprov (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemkab Sumbawa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan) membantah keberadaan masyarakat adat Pekasa, mereka hanya mengakui lembaga adat Tanah Samawa atau Kesultanan Sumbawa sebagai masyarakat adat yang ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda.

Menurut wakil pemerintah, pada wilayah yang dimaksud hanya ada satu gubuk kecil yang dianggap bangunan liar perladangan,
baru kemudian pada tahun 2009 muncul masyarakat adat Pekasa yang dianggap sebagai pendatang yang mengaku-ngaku sebagai masyarakat adat. “Kami khawatir, jangan sampai masyarakat pendatang ini yang mengaku-ngaku sebagai masyarakat adat, karena mereka baru menempati wilayah tersebut pada tahun 2009,” ujar salah seorang staff.

“Jikalau Masyarakat Adat Pekasa diakui, maka mereka merupakan bagian integral dari masyarakat adat Tanah Samawa,” ujar Lukmanudin, staff ahli Bupati Sumbawa. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengakui bahwa mereka melakukan pembakaran pemukiman pada tahun 2011. “Pemukiman yang kami bakar adalah pemukiman liar jika dilihat dari bangunannya, itu bukan pemukiman masyarakat adat seperti yang diklaim saksi,”kata Lukmanudin.

Pernyataan tersebut ditanggapi keras oleh salah satu komisioner Inkuiri Nasional, Saur Situmorang. “Definisi pemukiman di kota dengan pemukiman masyarakat adat berbeda pak, jangan disamakan begitu saja, rumah diatas pohon pun bisa menjadi rumah bagi masyarakat adat,” tegasnya.

Masyarakat Adat Pekasa mengalami pengusiran sudah 3 kali dilakukan Pemda yaitu pada tahun 1974, 2005 dan 2011.
Sandra Moniaga salah satu komisioner Komnas HAM dan Inkuiri Nasional mengatakan,” jika ada penggusuran pada tahun 1974 bukankah itu mengindikasikan bahwa masyarakat adat sudah ada dan mendiami wilayah tersebut sebelum tahun 2009 yang disebutkan pemerintah?. Lalu mengapa pemerintah mengatakan bahwa di wilayah tersebut tidak ada masyarakat adat?,” lanjut Sandra. Dalam kesaksian salah satu perwakilan Komunitas Pekasa mengatakan,“Selama penggusuran tersaebut tidak pernah ada kompensasi ataupun pembangunan infrastruktur yang diberikan oleh pemerintah,” tegasnya.

Dalam DKU hadir juga perwakilan Kementerian Kehutanan (Sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dari Dirjen Planologi, Trijoko menyampaikan sudah pernah ada penataan batas pada tahun 1986-1994. Dokumen berita acara Penataan Batas ditandatangani oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1996, disahkan pada tahun 2002 dan SK Menteri Kehutanan tentang pengukuhan kawasan hutan baru dikeluarkan pada tahun 2014.

Sandra Moniaga menemukan kejanggalan ketika puluhan SK menteri keluar sebelum pengukuhan kawasan hutan.
“Apakah puluhan SK penetapan menteri sebelum pengukuhan kawasan hutan sudah merujuk pada keputusan MK 35?”.
Tapi Trijoko tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana relasi penerbitan SK Menteri tersebut dengan keluarnya putusan MK 35.
“Puluhan SK menteri itu bisa merujuk pada UU 41 tahun 1999 ps 67, masyarakat adat diakui keberadaannya ketika ada perda sesuai dgn persyaratannya,  jika memang kemudian ada perda pengakuan keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya maka akan diakomodir dengan SK penetapannya untuk direvisi”

Sandra mengusulkan agar Pemda dan Pemkab membentuk tim  penelitian yang independen untuk meneliti tentang keberadaan masyarakat adat yang ada di Sumbawa secara khusus dan Mataram secara umum. “Kalau Pemda dan Pemkab hanya mengakui Kesultanan sebagai masyarakat adat, itu karena kesultanan tunduk dan bekerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda sedangkan masyarakat adat tidak bersedia,” saya harap ada kemauan serius dari pemerintah untuk mengidentifikasi keberadaan masyarakat adat di Provinsi NTB” tegas Sandra.*** Monica Kristiani Ndoen

1 Komentar

Tinggalkan Balasan