Masyarakat Adat tidak menolak investasi. Yang pasti Masyarakat Adat menolak dan akan selalu menolak investasi yang dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak beradab melalui perampasan wilayah-wilayah adat, pengabaian, pemaksaan, intimidasi dan kekerasan.
Tentang Catatan Akhir Tahun AMAN 2019.
Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2019 terasa lebih istimewa dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2019, AMAN merespon dan melibatkan diri ke dalam proses Pemilu 2019. Amatan terhadap berbagai tantangan Pemilu menjadi penting untuk disampaikan dalam CATAHU ini.
Tahun 2019 juga istimewa karena menandai berakhirnya Pemerintahan Jokowi-JK dan awal dari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Wakil Presiden yang berbeda tetapi Presidennya tetap sama. Karena itu, CATAHU AMAN 2019 tidak saja memotret apa yang dicapai dan apa yang gagal dicapai oleh Pemerintahan Jokowi-JK tetapi juga apa yang dijanjikan Jokowi-Ma’ruf Amin untuk 5 tahun ke depan bagi Masyarakat Adat.
Tema “Mengarungi Badai Investasi” yang diangkat dalam CATAHU ini adalah tema yang sengaja dipilih untuk memotret situasi yang kerap mempertemukan Masyarakat Adat dengan investasi dan pemerintah pada pusaran konflik sebagai akibat dari investasi maupun pelaksanaan kewenangan negara di atas wilayah-wilayah adat yang berdampak pada kerugian bagi negara, investasi, Masyarakat Adat dan lingkungan hidup, terutama di tengah lemahnya kerangka kebijakan negara dalam mengakui dan melindungi Masyarakat Adat dan wilayah adat. Tema ini pun penting karena Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin memiliki rencana pembentukan Omnibus Law di Bidang Investasi yang didasarkan pada semangat untuk memberi kemudahan bagi investasi.
Penguatan Organisasi, Kader dan Perluasan Jaringan Kerja
Tahun 2019 menjadi tahun yang penting bagi AMAN untuk mempersiapkan organisasi dalam memperjuangkan pengakuan, perlindungan, dan pemajuan Masyarakat Adat di masa depan. Dalam konteks itu, pengenalan terhadap kapasitas organisasi, kader, dan kekuatan jaringan kerja menjadi penting untuk dilakukan. Di samping itu juga perlu pengenalan secara mendalam terhadap berbagai peluang serta tantangan yang dihadapi. Situasi politik, hukum, dan sosial menjadi faktor yang dianalisis secara mendalam. Kesemua faktor tersebut dibahas dengan mendalam pada program penyusunan Rencana Strategis Pengurus Daerah. Pembagian Pengurus Daerah mengikuti wilayah yang secara kebudayaan sama atau berdekatan. Dari prinsip dasar tersebut, sebagian besar Pengurus Daerah AMAN melingkupi satu Kabupaten/Kota dan sebagian Pengurus Daerah melingkupi dua atau tiga Kabupaten/Kota. Terdapat juga dua Pengurus Daerah yang berada di dalam satu wilayah administratif Kabupaten. Dalam melakukan agenda ini, AMAN memilih untuk fokus pada Pengurus Daerah. Pilihan fokus ini didasarkan pada dasar pikir bahwa Pengurus Daerah adalah struktur organisasi yang paling dekat dengan komunitas-komunitas Masyarakat Adat anggota AMAN. Di samping itu juga karena Masyarakat Adat perlu terlibat aktif dalam memperjuangkan haknya proses-proses politik dan penyusunan program pemerintah di unit-unit pemerintahan seperti Kabupaten hingga Desa.
Secara umum, proses tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan:
- Menguatnya kapasitas pengurus daerah dan komunitas anggota AMAN adalah modal dasar dalam menghadapi situasi politik, hukum, dan sosial ekonomi yang semakin menantang di masa depan. Kapasitas yang dimaksud mencakup kapasitas dalam pengembangan organisasi, pengembangan ekonomi, pemetaan wilayah adat, penelitian, kapasitas advokasi, paralegal, legislasi, litigasi dan bantuan hukum, maupun kapasitas pengembangan media dan kampanye publik.
- Proses pengakuan dan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat harus dipercepat di berbagai daerah. Sementara proses yang sama di tingkat provinsi dan nasional harus diperkuat.
- Situasi yang dialami Masyarakat Adat terutama menyangkut hak-hak yang melekat dalam identitasnya sebagai Masyarakat Adat sangat dipengaruhi oleh bagaimana hukum dan kebijakan negara memperlakukan Masyarakat Adat. Karena itu menjadi penting bagi AMAN mempersiapkan kader-kader terbaik Masyarakat Adat untuk merebut posisi-posisi pengambil keputusan mulai dari Kepala Desa, Bupati dan DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur dan DPRD Provinsi sampai pada Presiden dan DPR RI melalui proses-proses Pemilu, Pemilukada, hingga Pilkades.
- Pengembangan ekonomi di komunitas Masyarakat Adat harus segera dilakukan. Hal ini dilakukan terutama untuk menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah adat dengan menggunakan pengetahuan atau kearifan lokal menjadi pilihan yang mampu meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat itu sendiri, berkontribusi pada pendapatan negara, dan selanjutnya lingkungan hidup tetap terjaga.
- Penguatan lembaga adat dan hukum adat. Hal ini penting dilakukan agar proses-proses pengambilan keputusan termasuk yang berdampak pada keutuhan wilayah adat dapat dilakukan secara bertanggungjawab.
- Pengembangan sekolah adat. Ini dilakukan agar generasi muda Masyarakat Adat memahami nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur mereka dan pada gilirannya mereka dapat melanjutkan kearifan-kearifan tersebut.
Sementara itu, AMAN juga telah melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga negara maupun universitas untuk beberapa kepentingan. Pertama, AMAN telah bekerjasama dengan BAWASLU dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2019. AMAN telah secara resmi terdaftar sebagai pemantau pemilu pada Pemilu 2019.
Pada tahun 2019, AMAN telah menandatangani MoU (nota kesepahaman) dengan Fakultas Ilmu Soial dan Imu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Malang. MoU ini secara umum berisikan kerjasama di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat dan program lain yang diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu serta mengembangkan potensi sumberdaya manusia yang ada di FISIP Universitas Brawijaya Malang dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Di daerah-daerah, beberapa Pengurus Daerah AMAN juga melakukan kerjasama dengan Universitas lokal dalam rangka mendorong bersama-sama pengakuan dan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat melalui penyusunan kebijakan daerah. Sebagai contoh, Pengurus Wilayah AMAN Sumba bekerjasama dengan Unkriswina di Waingapu dalam penyusunan naskah akademik dan rancangan peraturan daerah pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Sumba Timur. Di wilayah dan daerah-daerah lain, kerjasama serupa juga dilakukan secara luas.
Diplomasi Internasional Yang Semakin Menantang
Di tengah gempuran usaha pemerintah Indonesia mempromosikan isu HAM dan lingkungan di level sub-regional, regional dan internasional, penting bagi Masyarakat Adat terlibat langsung untuk memberikan informasi berbasis fakta bahwa Masyarakat Adat tidak baik-baik saja. Banyak pihak tidak mengetahui kondisi real yang dialami Masyarakat Adat di Indonesia terkait kriminalisasi, ancaman, intimidasi, bahkan pembunuhan. Pelapor Khusus PBB untuk Masyarakat Adat sedang menyusun laporan terkait kriminalisasi Masyarakat Adat, AMAN sudah memberikan laporan untuk Indonesia.
Forum Bisnis dan HAM region Asia Tenggara 2019
Forum ini diselenggarakan setiap tahun bergantian di semua negara Asia Tenggara, tahun 2019 Filipina menjadi tuan rumah. Setelah terakhir kali tahun 2016 di Pontianak, kali ini AMAN kembali terlibat sebagai peserta. Tema tahun ini tentang Energi Terbarukan, Gender dan Masyarakat Adat, ada banyak hal yang dibahas terutama soal konflik tanah. AMAN menyampaikan pengalaman tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, terutama soal kebijakan dan posisi Masyarakat Adat, begitu juga soal situasi terkini dan konflik yang terus terjadi akibat tumpang tindih kebijakan dan absennya negara dalam melindungi Masyarakat Adat. Meski begitu, banyak negara mengalami kondisi yang lebih buruk terutama di Filipina dengan tingkat pembunuhan yang tinggi, Laos dengan absennya pengakuan Masyarakat Adat yang berdampak pada tingkat ancaman yang tinggi, dll. Kita perlu melihat pengalaman di beberapa negara terutama Filipina yang mempunyai UU dan Komnas Masyarakat Adat, namun Masyarakat Adat tetap mengalami kriminalisasi, pembunuhan dan intimidasi. UU sektoral yang tumpang tindih melemahkan implementasi UU Masyarakat Adat, Filipina juga menganut Martial Law (Selatan Filipina), yaitu hukum yang diberlakukan ketika negara dianggap tidak dapat mengatasi keadaan darurat di suatu wilayah dan militer mengambil alih kekuasaan. Beberapa hal tersebut yang perlu dipelajari oleh AMAN, untuk menjadi referensi dalam melakukan advokasi RUU Masyarakat Adat. Forum ini menghasilkan statement dan rekomendasi yang ditujukan pada pemerintah dan investor (pelaku bisnis) yang menyasar isu HAM (termasuk kriminalisasi) dan energi terbarukan.
Forum Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia
Forum ini diadakan di Brussel pada 7 November 2019. Merupakan forum pertama bagi organisasi masyarakat sipil (CSO) Indonesia, jika berkelanjutan maka dapat menjadi platform bagi Masyarakat Adat untuk dapat berdialog dengan EU dan sesama CSOs. Masyarakat Adat menjadi salah satu isu yang didiskusikan bersama dengan isu HAM lainnya, seperti LGBT, anak, dan perempuan. Forum ini menghasilkan pendapat dan rekomendasi yang diserahkan kepada perwakilan EU dan Duta Besar Indonesia untuk Belgia, yang keesokan harinya dibahas secara internal oleh kedua pihak tersebut. Hasil dari pertemuan tersebut tidak dibuka untuk peserta CSO forum, sehingga AMAN tidak mendapatkan update soal tanggapan EU dan pemerintah Indonesia terhadap outcome document di atas. Jika berlanjut, maka forum ini akan diadakan di Jakarta pada tahun 2020. Perwakilan AMAN melihat forum ini sebagai peluang dialog antara CSO, khususnya AMAN dengan EU. Banyak konflik di wilayah adat di Indonesia yang sumber pendanaannya berasal dari negara anggota dan juga EU secara langsung melalui bank-bank internasional, contohnya Kinipan, Sihaporas, Aru, Matteko, dll. Tidak dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia selalu berusaha mengintervensi dan intimidasi, terutama di tengah usaha mempromosikan kembali kelapa sawit setelah pada Juni 2018 EU “memboikot” impor kelapa sawit yang berakibat pada merenggangnya hubungan EU dan pemerintah Indonesia (juga Malaysia). Kebijakan EU tentang kelapa sawit ini hasil dari kampanye internasional yang sudah sejak lama dilakukan oleh CSO Indonesia (dan Malaysia) termasuk AMAN. EU menargetkan sampai dengan tahun 2030, kelapa sawit akan digantikan dengan sumber energi terbarukan. Hal ini harus didukung oleh AMAN, karena sebagian besar anggota AMAN berkonflik dengan perusahaan kelapa sawit.
Seminar tentang Zero Tolerance Initiative
Zero Tolerance Initiative adalah inisiatif yang dibentuk untuk isu pelanggaran HAM yang dialami oleh pembela lingkungan dan HAM, termasuk Masyarakat Adat. Berdasarkan data yang diperoleh dari 14 negara, tingkat pelanggaran HAM sangat tinggi terutama kriminalisasi. Seminar ini diadakan untuk finalisasi platform “Zero Tolerance Initiative” dan mendiskusikan kondisi terkini 14 negara peserta, terutama pada sektor bisnis dan HAM. Seminar ini menghasilkan inisiatif “Zero Tolerance”, Bussiness Pledge, deklarasi peserta dan rekomendasi untuk sektor bisnis, pemerintah, donor dan investor.
Geliat Organisasi Sayap AMAN
Sepanjang tahun 2019 ini, sayap-sayap organisasi AMAN terus memperkuat kerja-kerja AMAN sebagai induk organisasinya. Organisasi Sayap PEREMPUAN AMAN terus melebarkan dan memperbesar basis keanggotaan perempuan-perempuan adat dan terus memperbanyak wilayah-wilayah pengorganisasian di komunitas-komunitas adat. Bersama dengan organisasi masyarakat sipil nasional, PEREMPUAN AMAN sangat aktif terlibat dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat. Koalisi ini menjadi jaringan kerja yang selama tahun 2019 terus menerus menyuarakan pentingnya Pemerintah dan DPR RI segera menetapkan RUU Masyarakat Adat. Tidak hanya itu, koalisi ini juga kritis terhadap draf RUU Masyarakat Adat yang telah dihasilkan Badan Legislasi DPR RI pada tahun 2018 yang lalu.
Organisasi sayap Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) telah memperbanyak anggota-anggotanya di pelosok-pelosok tanah air. Hingga Desember 2019, terdapat penambahan sebanyak 30 orang advokat yang ingin mengabdikan dirinya untuk membela advokasi litigasi Masyarakat Adat. Sebagai sayap organisasi AMAN yang anggotanya terdiri dari para advokat, kiprah PPMAN tentu terlihat dari aksi-aksi pembelaan yang mereka lakukan terhadap Masyarakat Adat yang mengalami kriminalisasi dan kekerasan sebagai akibat dari perjuangan mempertahankan haknya. PPMAN juga telah terlibat di dalam berbagai agenda mendorong perubahan hukum dan kebijakan negara termasuk RUU Masyarakat Adat, RUU Pertanahan, maupun mengkritisi berbagai rencana kebijakan negara.
Sementara itu, tahun 2019 menjadi tahun konsolidasi dan penguatan organisasi bagi organisasi sayap Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Para pemuda adat (perempuan dan laki-laki) yang tergabung dalam BPAN ini sadar betul bahwa masa depan Masyarakat Adat dan gerakan Masyarakat Adat ada di dalam tangan mereka. Karena itu, organisasi sayap ini telah melakukan restrukturisasi organisasi di tingkat nasional agar dapat bergerak lebih lincah dalam merespon berbagai situasi yang memengaruhi Masyarakat Adat.
Proses Pemilu Yang Masih Jauh dari Harapan
Sejak 2014, AMAN telah menempatkan politik elektoral sebagai arena strategis dalam rangka memperjuangkan hak Masyarakat Adat. Pengalaman puluhan tahun menunjukkan bahwa sebagian besar masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Adat bermula dari tidak adanya kader-kader Masyarakat Adat dan/atau kurangnya orang-orang yang memiliki komitmen kuat terhadap kehidupan Masyarakat Adat. Karena itu, Pemilu menjadi arena strategis bagi AMAN dengan tujuan mendorong kader-kader Masyarakat Adat yang tangguh, melalui seleksi dalam Pemilu, untuk menduduki jabatan-jabatan publik yang berwenang mengambil keputusan politik maupun hukum dan kebijakan negara, baik di eksekutif di berbagai tingkatan pemerintahan maupun legislatif di berbagai tingkatan pemerintahan. Para kader Masyarakat Adat maju ke dalam gelanggang Pemilu dengan menggunakan berbagai Partai Politik yang ada sebagai kendaraan politiknya.
Pemilu 2019 telah mulai dipersiapkan oleh AMAN sejak tahun 2018 yang lalu. Dari serangkaian proses seleksi internal, AMAN memutuskan untuk mendorong 164 orang kader Masyarakat Adat untuk maju dalam pemilihan legislatif 2019. Sejak awal AMAN menekankan bahwa politik uang adalah politik yang tidak diperkenankan karena melanggar prinsip-prinsip etis dan moral perjuangan Masyarakat Adat. Karena itu seluruh kader Masyarakat Adat wajib berpolitik dengan cara-cara etis dan bermoral. Dalam kontkes ini politik uang sama sekali tidak diperkenankan.
AMAN telah bekerja menggerakkan struktur organisasi yang dimiliki untuk memenangkan para kader yang maju dalam Pemilu. Mulai dari kampanye sampai pada training-training dalam rangka mempersiapkan kapasitas para kader. Bahkan dialog dengan Badan Pengawas Pemilu (BANWASLU) akhirnya memasukkan AMAN sebagai salah satu organisasi pemantau pemilu 2019. Hasilnya, sejumlah 34 orang terpilih yang terdiri dari 1 orang terpilih menjadi anggota DPR RI, 3 orang menjadi anggota DPD RI, 9 orang terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi, dan 21 orang menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Dari sisi jumlah, kader Masyarakat Adat yang pada akhirnya terpilih memang tidak banyak. Tetapi belajar dari proses Pemilu tahun 2014, para kader Masyarakat Adat yang terpilih telah menunjukkan semangat juang dan memotori berbagai agenda perubahan termasuk lahirnya kebijakan-kebijakan daerah pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di berbagai Kabupaten.
Khusus untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, AMAN memilih untuk tidak mendukung salah satu calon tertentu. Pertimbangannya sederhana. Memilih Joko Widodo sama artinya AMAN melupakan kegagalan Pemerintahan Joko Widodo pada periode pertama dalam memenuhi enam komitmen bagi Masyarakat Adat dalam Nawacita tahun 2014 – 2019. Penting untuk kembali dicatat, tak satupun dari keenam komitmen Presiden Joko Widodo pada periode pertama berhasil dilaksanakan.
Masyarakat Adat mengalami tantangan yang beragam dalam Pemilu 2019, baik tantangan yang bersifat struktural maupun non-strutural. Tantangan struktural dapat berupa hambatan-hambatan yang muncul dari sistem dan desain Pemilu yang tidak mudah diakses oleh Masyarakat Adat. Tantangan struktural itu antara lain: pertama, konflik tenurial dan desain pendaftaran pemilih Pemilu 2019. Dalam konteks ini, terdapat 1 (satu) juta Masyarakat Adat dalam kawasan hutan tak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak memiliki KTP-el. Situasi ini membuktikan bahwa konflik wilayah adat juga ternyata berimplikasi terhadap hilangnya hak konstitusional Masyarakat Adat dalam Pemilu 2019.
Kedua, tiga dari lima desain surat suara Pemilu 2019 tak dilengkapi foto, melainkan hanya berisi nama calon anggota DPR serta DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten. Hal ini menyulitkan Masyarakat Adat penyandang tuna aksara untuk menyalurkan hak suaranya, apalagi ketentuan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 belum mengatur pendampingan memilih bagi pemilih penyandang tuna aksara. Sebagai contoh, sebanyak 1.400 warga Dayak Meratus kehilangan haknya dalam memilih akibat keterbatasan mereka mengenal aksara.
Selain itu, tantangan non-struktural juga dihadapi oleh Masyarakat Adat dalam Pemilu 2019. Dari hasil evaluasi elektoral yang AMAN lakukan di 8 (delapan) Provinsi yakni Sulawesi Selatan, Banten, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT, selalu ditemukan tekanan-tekanan bahkan upaya pihak eksternal dalam hal ini oknum perusahaan, pemerintah dan elit tingkat lokal yang berusaha menghambat partisipasi politik Masyarakat Adat dalam Pemilu 2019. Upaya itu berlangsung dengan motif yang beragam, mulai dari politik adu domba antara struktur AMAN dan komunitas adat, kampanye hitam (black campaign), tekanan perusahaan melalui birokrasi pemerintah hingga money politics.
Aroma Keberpihakan Terhadap Investasi Semakin Kuat di Tengah Semakin Kaburnya Komitmen Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Tahun 2019 berakhir dengan menyisakan fakta bahwa tak satupun dari enam janji Pemerintahan Joko Widodo berhasil diselesaikan. Tidak hanya gagal menepati janji. Bahkan ada kecenderungan Pemerintah Jokowi melakukan hal-hal lain yang justru tidak bersesuaian dengan komitmen-komitmen maupun prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Berbagai kebijakan maupun rencana kebijakan yang disusun Pemerintah semakin menunjukkan pergerakan ide dan rencana yang menjauh dari komitmen-komitmennya di masa-masa awal. Hal-hal tersebut akan diuraikan berikut:
Gagalnya Pemerintah Menetapkan Undang-Undang Masyarakat Adat
Pembentukan UU Masyarakat Adat adalah salah satu janji Presiden Jokowi kepada Masyarakat Adat pada tahun 2014. Pada akhirnya Pemerintahan Presiden Jokowi gagal mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang. Bukan rahasia lagi, Pemerintah tidak kunjung menyerahkan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) yang mana merupakan syarat pembahasan bersama dengan DPR RI. Keenam Kementerian yang ditugasi Presiden untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama DPR, kalau tidak menjawab, memiliki alasan sendiri-sendiri jika ditanya tentang DIM. Kenyataan ini jelas merepresentasikan ketidakberesan koordinasi di internal Pemerintah dalam membahas RUU Masyarakat Adat. Atau bisa jadi ada satu kekuatan luar biasa di luar keenam Kementerian tersebut yang tidak dapat ditolak keinginannya. Situasi ketidakjelasan memang melahirkan banyak spekulasi.
Kegagalan pengesahan RUU Masyarakat Adat mengingatkan kita pada fakta yang sama di penghujung periode Pemerintahan Presiden SBY dimana RUU Masyarakat Adat gagal ditetapkan karena wakil Pemerintah ternyata bukanlah pejabat yang berwenang untuk mengambil keputusan menyangkut RUU Masyarakat Adat. Suatu kenyataan yang juga tidak masuk akal sehat. Bayangkan berkali-kali pembahasan bersama dengan Panitia Khusus (Pansus) tetapi tidak pernah ada yang mempertanyakan berwenang atau tidaknya wakil Pemerintah yang datang ke Parlemen. Bedanya, Presiden SBY tidak terikat komitmen tertulis seperti Presiden Jokowi. Jadi dapat kita katakan bahwa Komitmen Presiden Jokowi untuk salah satunya segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang gagal dicapai.
Meskipun demikian, RUU Masyarakat Adat harus terus diperjuangkan untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Anggota-anggota DPR RI yang sejak awal berkomitmen memperjuangkan lahirnya Undang-Undang tentang Masyarakat Adat kembali mengusulkan masuknya RUU Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Nasional. Jika pada tahun 2018 RUU Masyarakat Adat hanya diusulkan oleh Fraksi Nasdem untuk masuk ke dalam Prolegnas 2019, maka pada tahun 2019, RUU ini mendapat dukungan dari Fraksi Nasdem, Fraksi PDI Perjuangan, dan Fraksi PKB untuk masuk ke dalam Prolegnas 2019 – 2024.
Sementara itu di luar Parlemen, AMAN maupun Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melaksanakan serangkaian diskusi publik maupun konferensi pers untuk menyampaikan pesan kepada Pemerintah dan DPR RI sekaligus kepada publik bahwa RUU Masyarakat Adat bukan saja merupakan utang konstitusional tetapi juga merupakan Rencana Undang-Undang yang ketika ditetapkan menjadi Undang-Undang dapat menyelesaikan banyak persoalan. Salah satu persoalan yang harus diselesaikan melalui Undang-Undang ini adalah menyangkut hubungan antara hak Masyarakat Adat dengan investasi terutama di atas wilayah-wilayah adat. Persoalan ini serius karena ketiadaan pengakuan atas Masyarakat Adat dan wilayah adatnya telah berdampak pada tidak terkendalikannya investasi yang masuk ke wilayah-wilayah adat. Kerugian yang muncul tidak saja bagi Masyarakat Adat, tetapi juga bagi investasi itu sendiri, Negara, dan tentu saja lingkungan hidup.
Agenda Perampasan Wilayah Adat yang Tersembunyi Di Balik Teks RUU Pertanahan
Sejak awal gagasan pembentukan Undang-Undang Pertanahan, AMAN telah mengambil sikap untuk menggunakan gagasan tersebut sebagai salah satu pintu masuk pengakuan dan perlindugan wilayah adat. AMAN pernah menyampaikan gagasan-gagasan pengakuan wilayah adat untuk diadopsi ke dalam Rancangan UU Pertanahan dalam satu Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI.
Pembahasan RUU Pertanahan timbul tenggelam. Tiba-tiba saja pada September 2018 diinformasikan bahwa RUU Pertanahan akan segera ditetapkan. Sementara draf terakhir sama sekali tidak diketahui publik termasuk AMAN. AMAN segera melakukan analisis terhadap Rancangan UU Pertanahan dan kemudian menemukan kesimpulan bahwa RUU tersebut harus ditolak karena: Pertama, dari sisi proses, RUU ini tidak terbuka. Setidak-tidaknya proses pembahasan atas RUU Pertanahan ini tidak lagi melibatkan publik termasuk AMAN. Proses konsultasi terbuka, jika pernah dilakukan, juga tidak pernah melibatkan AMAN. Dari pengurus-pengurus AMAN di wilayah dan daerah pun melaporkan hal yang sama. AMAN bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain beberapa kali pernah memberikan masukan kepada Panja RUU Pertanahan. Masukan dilakukan dnegan mengirimkan tanggapan atau melalui release pers tetapi berbagai masukan tersebut tidak menjadi perhatian.
Kedua dari sisi substantif, RUU Pertanahan ini berisikan sejumlah persoalan, antara lain:
- Pertama, Sikap dasar RUU Pertanahan adalah “menolak” keberadaan Masyarakat Adat dan haknya atas wilayah adat.
- Kedua, RUU Pertanahan melanjutkan tren sektoralisme dalam pembentukan hukum.
- Ketiga, Tanah Objek Reforma Agraria atau TORA menjadi pintu masuk perampasan wilayah adat karena Masyarakat Adat bukanlah sebagai subjek penerima. Bahkan TORA sangat rentan dipakai sebagai alat legal untuk memutihkan hak atas tanah yang di masa lalu berkonflik.
- Keempat, RUU Pertanahan melanjutkan pengakuan bersyarat.
- Kelima, RUU Pertanahan tidak mengakui kewenangan peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di dalam masyarakat.
- Keenam, RUU Pertanahan tidak membuka ruang penyelesaian sengketa masa lalu dimana wilayah-wilayah adat sudah dibebani dengan hak-hak atas tanah seperti HGU dan sebagainya ataupun wilayah-wilayah adat yang sudah dialokasikan pada berbagai peruntukkan kawasan hutan.
- Ketujuh, RUU Pertanahan tidak menghormati hukum adat sebagai salah satu sumber hukum terjadinya hak atas tanah.
- Kedelapan, “tanah ulayat” menjadi salah satu objek yang didaftarkan menurut RUUP. Di sisi lain RUU Pertanahan juga mengatur proses pengakuan “hak ulayat” yaitu harus melalui Peraturan Daerah. Tidak ada jawaban yang disediakan dalam RUU Pertanahan mengenai apakah tanah ulayat didaftarkan hanya jika hak ulayatnya telah diakui atau ditetapkan melalui Perda? Pertanyaan selanjutnya adalah apa status tanah ulayat setelah didaftarkan?
- Kesembilan, RUU Pertanahan sama sekali tidak mengatur soal hak Masyarakat Adat atas FPIC. Ketiadaan pengaturan hak ini menyebabkan tidak adanya perlindungan terhadap atas tanah ulayat Masyarakat Adat.
- Kesepuluh, RUU Pertanahan lebih pro pada pemegang HGU ketimbang Masyarakat Adat dengan memberikan keistimewaan ijin dengan total 90 tahun. Di tengah situasi dimana sebagian wilayah adat dikuasai oleh berbagai investasi termasuk HGU maka semakin kecil peluang tanah-tanah tersebut dikembalikan kepada Masyarakat Adat.
- Kesebelas, RUU Pertanahan berupaya menghilangkan hak Masyarakat Adat atas tanah dengan mengatur proses pendaftaran tanah adat dalam kurun waktu 2 tahun setelah RUU Pertanahan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selain didaftarkan tanah adat tersebut harus pula dikuasai secara fisik. Pengaturan semacam ini jelas jelas mengancam karena tidak semua bagian dari wilayah adat itu dikuasai secara fisik oleh Masyarakat Adat. Sebagian besar dari wilayah adat bahkan sengaja tidak disentuh karena merupakan wilayah yang oleh adat dikonservasi. Sebagian lainnya adalah wilayah-wilayah yang dicadangkan maupun wilayah-wilayah yang merupakan ladang gilir balik.
Sikap Tak Serius Tetap Ditunjukkan Pemerintah dalam Menindaklanjuti Putusan MK 35/2012
Respon pemerintah dalam menindaklanjuti Putusan MK 35/2012 seringkali dilakukan dengan menerbitkan regulasi yang tidak layak, disusun untuk kepentingan sektoral dan parsial. Tidak juga tampak adanya usaha untuk menyinkronisasi dan mengharmonisasi berbagai regulasi yang dihasilkan tersebut. Alhasil, pelaksanaan pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat berjalan di tempat. Bayangkan saja, regulasi mengenai wilayah adat yang dibungkus dalam istilah hak komunal dan hak ulayat diganti hampir setiap tahun sejak tahun 2015. Padahal, pergantian demi pergantian tidak menghasilkan apa-apa. Regulasi hutan adat pun tak jauh beda. Hutan adat yang telah dikembalikan kepada Masyarakat Adat hanya mencapai kurang lebih 32 ribu hektar setelah hampir 7 tahun putusan MK 35/2012 dibacakan. Suatu pencapaian yang sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan besarnya komitmen dan kampanye publik tentang itu. Padahal hingga hari ini telah ada 85 Peraturan Daerah mengenai Masyarakat Adat yang menjadi syarat legal dari proses pentapan hutan adat. Prinsip clean and clear dalam penetapan hutan adat ini seolah menjadi alibi untuk memaklumi kelambanan ini. Pemerintah pun tampak enggan beranjak dari masalah. Padahal ada banyak sekali usulan AMAN dan masyarakat sipil lainnya termasuk kalangan akademik dalam rangka mempercepat proses pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Salah satu usulan yang seringkali disuarakan adalah agar Pemerintah segera menetapkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang. Tetapi faktanya RUU ini tidak kunjung ditetapkan sebagai Undang-Undang. Pemerintah tidak kunjung menghasilkan DIM sebagai syarat pembahasan bersama dengan DPR RI.
Di lapangan, Masyarakat Adat seringkali diperhadapkan pada godaan untuk meninggalkan perjuangan pengembalian hak Masyarakat Adat. Atau dengan kata lain, melupakan putusan MK 35 yang bersifat mendasar itu. Masyarakat Adat seringkali digoda untuk menerima skema perhutanan sosial sembari dijelaskan bahwa proses perhutanan sosial lebih mudah.
Bagi Masyarakat Adat, perhutanan sosial selain pengakuan wilayah adat dan hutan adat sama sekali tidak berguna dalam rangka menterjemahkan pengakuan konstitusional hak Masyarakat Adat. Perhutanan sosialpun sama sekali di luar kerangka implementasi Putusan MK 35/2012. Jika perhutanan sosial adalah ijin dari negara selama 35 tahun, hutan adat adalah pengembalian hak Masyarakat Adat atas atas wilayah adatnya. Tidak mengherankan jika AMAN telah menyatakan penolakan terhadap perhutanan sosial di wilayah adat bahkan sejak tahun 2013 yang lalu melalui Deklarasi Rongkong.
Habis Permen Hak Komunal terbitlah Permen Penatausahaan Tanah Ulayat: Pergantian Demi Pergantian Tanpa Hasil
Pada tahun 2016 Menteri Agraria dan Tataruang menerbitkan Permen ATR No. 10 Tahun 2016 tentang Tatacara Penetapan Hak Komunal Masyarakat Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Permen ini mengganti Permen yang Nomor 9 Tahun 2015 dengan judul yang sama. Permen Nomor 9 tahun 2015 itu mengganti Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Permen yang satu diganti dengan Permen yang lain dan begitu seterusnya. Jika dulu ada hasil dari Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999, tidak begitu dengan dua Permen Hak Komunal. Tak menghasilkan apa-apa karena faktanya tidak ada wilayah adat yang telah diakui melalui kedua Permen tersebut.
Lalu, Permen Hak Komunal-pun diganti dengan Permen Agraria dan Tataruang Nomor 18 tahun 2019 tentang Tatacara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Ini adalah gebrakan pertama Menteri Sofyan bagi Masyarakat Adat tidak lama setelah dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Permen ATR ini sekaligus mencabut Permen ATR No. 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu.
Permen ATR No 18/2019 ini segera saja menuai kontroversi karena materi pengaturannya yang dinilai justru berisikan “langkah mundur” dalam kerangka pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat yang merupakan objek dari hak ulayat Masyarakat Adat dan agenda Reforma Agraria.
Permen ini sama sekali jauh dari harapan. Tidak tampak adanya spirit untuk menjalankan mandat TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Permen ini pun jauh dari kesan sebagai kebijakan yang menjalankan atau menterjemahkan putusan MK 35/2012.
Dalam Pasal 2 TAP MPR No. IX/2001 dijelaskan bahwa “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan, berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pemerintah sendiri telah menetapkan tujuan dari pelaksanaan Reforma Agraria, antara lain: Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, Menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan pangan, menyelesaikan konflik agraria, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, dan mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja.
Akan tetapi, Permen ATR No. 18 tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang baru diterbitkan itu justru bergerak menjauh dari mandat TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta tujuan pelaksanaan Reforma Agraria yang telah dicanangkan Pemerintah sendiri. Beberapa alasan berikut diuraikan untuk membuktikan bahwa dalam kerangka pengakuan wilayah adat sebagai bagian dari pelaksanaan Reforma Agraria, Permen ATR ini sama sekali jauh dari harapan.
Pertama, Permen ATR No. 18 tahun 2019 sekali tidak mengatur mekanisme penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah-wilayah adat. Dengan kata lain, Permen ini SENGAJA LUPA pada kenyataan bahwa wilayah-wilayah adat telah dirampas melalui berbagai kebijakan sehingga dipandang legal dan di atas itu negara menyelenggarakan berbagai ijin investasi dan peruntukan penggunaan tanah dan sumberdaya alam lainnya. Konsekuensi dari sikap “SENGAJA LUPA” tersebut justru malah memperkuat legitimasi perampasan termasuk memperkuat keberadaan berbagai investasi dan peruntukan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya di atas wilayah-wilayah adat.
Kedua, Permen ini menyatakan bahwa Penetapan Pengakuan dan Perlindungan Kesatuan masyarakat Hukum Adat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Permen ini pada dasarnya menyampaikan bahwa penatausahaan tanah ulayat baru akan dilaksanakan apabila Masyarakat Adat telah diakui dan dilindungi melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun Permen ini tidak mengatur bagaimana dan melalui produk hukum apa Masyarakat Adat diakui dan dilindungi. Ini artinya prosedur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat diserahkan ke dalam prosedur tentang itu yang telah diatur oleh kebijakan yang lain. Sebagai catatan, saat ini ada beberapa prosedur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, antara lain melalui Peraturan Daerah dan melalui Keputusan Kepala Daerah. Dalam prakteknya, berbagai prosedur tersebut tidak mudah. Di samping itu juga masing-masing prosedur tersebut dikerjakan dengan logika sektoral. Dengan menyerahkan ke dalam prosedur demikian, artinya Permen ATR ini sama sekali tidak ingin keluar dari kerumitan dan kesulitan yang telah ada.
Investasi dan Pelaksanaan Kewenangan Negara Yang Abai terhadap Masyarakat Adat:
Kriminalisasi 5 orang warga Dayak Limbai, Melawi
A. Basry, Seli, Deris, Yohanes Bando dan Adrianus Joni, anggota Masyarakat Adat Dayak Limbai di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat harus menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Sintang. Mereka dituduh melakukan perusakan kebun sawit milik PT. Bintang Permata Khatulistiwa. Faktanya, perusahaan tersebutlah yang telah merampas tanah-tanah mereka. Pengadilan Negeri Sintang tak mengindahkan pembelaan dan fakta yang mereka sampaikan. Pengadilan Negeri sintang menjatuhkan hukuman penjara 4 bulan 15 hari untuk 5 orang warga tersebut.
Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Matteko
Awal bulan Januari 2019, terjadi angin kencang dan hujan deras di Dusun Matteko, Desa Erelembang, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Akibatnya banyak pohon pinus yang tumbang, merintangi jalan akses, menimpa tiang dan memutus kabel aliran listrik ke Desa Matteko. Masyarakat melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah desa dan PLN. Masyarakat selanjutnya melakukan kerja bakti membersihkan pohon tumbang yang merintangi jalan akses desa dan telah menimpa kabel aliran listrik. Mereka juga termasuk melakukan penebangan beberapa pohon lapuk yang berpotensi tumbang dan merusak jalan. Inisiatif penebangan pohon lapuk ini dilakukan warga mengingat peristiwa tumbangnya pohon, mangganggu jalan dan memutus aliran listrik bukan kali pertama terjadi.
Rupanya tindakan masyarakat melakukan penebangan pohon lapuk tersebut dianggap sebagai sebuah tindakan melawan hukum dan melanggar Undang Undang Pencegahan Pemberantasan dan Perusakan Hutan. Akibatnya, 6 orang anggota Masyarakat Adat Matteko menjadi pesakitan dan menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Sungguminasa Kabupaten Gowa dengan dakwaan melakukan penebangan pohon dikawasan hutan tanpa izin menteri (kehutanan). Mereka adalah Nurdin bin Mangnge, Dahlan, Nurdin Sako, Muhammad Nasir, Saddam, dan Abdul Latif.
PN Sungguminasa menjatuhkan vonis 6 bulan 3 hari untuk 6 orang warga tersebut. Atas vonis ini, Jaksa mengajukan banding.
Peristiwa kriminalisasi ini membuktikan bahwa UU P3H untuk kesekian kalinya telah dipakai untuk mengkriminalisasi Masyarakat Adat. Bagi Masyarakat Adat Matteko, peristiwa ini bermakna lebih dalam dari sekadar kriminalisasi. Status kawasan hutan di wilayah adat Matteko dan keberadaan perusahaan yang mengelola pohon pinus di wilayah adat Matteko telah disorot oleh Komnas HAM melalui Inkuiri Nasional. Tetapi kriminalisasi yang lagi-lagi terjadi membuktikan bahwa negara sengaja untuk melakukan perubahan yang dibuktikan dengan tidak dijalankannya rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM termasuk kepada Pemerintah Daerah untuk segera membentuk Perda Masyarakat Adat dan kepada aparat negara untuk menahan diri dalam menangani kasus-kasus di wilayah adat dan mengedepankan dialog ketimbang tindakan represi.
Penangkapan dan Kekerasan terhadap Anggota Masyarakat Adat Sihaporas
Senin16 september 2019 Masyarakat Adat Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan penanaman benih jagung secara gotong royong di wilayah adat Sihaporas. Wilayah adat tersebut telah turun temurun dikuasai oleh leluhur mereka sampai ke generasi saat ini. Di saat masyarakat sedang beraktivitas menanam jagung, tiba-tiba pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) dikomandoi Humas TPL Sektor Aek Nauli (BS) menghampiri mereka dan melarang untuk menanam benih jagung. Kemudian merampas paksa cangkul serta berlanjut memukul warga dan mengenai Mario Ambarita (balita usia 3 tahun) yang sedang digendong orangtuanya yang juga sedang mendapat pukulan. Warga tidak terima terhadap tindakan kekerasan tersebut. Kericuhan pun terjadi. Beberapa warga melerai, yang mengakibatkan pekerja PT. TPL terjatuh. Warga yang lain melarikan Mario Ambarita, anak balita yang dipukul tersebut untuk mendapatkan pertolongan ke Puskesmas Sidamanik.
Selanjutnya, warga mengadukan tindakan Humas PT TPL tersebut ke Polisi Sektor (Polsek) Sidamanik. Tetapi oleh Polsek Sidamanik menyarankan untuk membuat pengaduan langsung ke Mapolres Simalungun. Tanpa diketahui warga, pihak PT. TPL mengadukan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh warga kepada pihak kepolisian. Polisi menetapkan 2 (dua) orang warga sebagai tersangka. Kini perkaranya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Simalungun. Polisi juga mencari 8 orang warga lainnya, tanpa menyebut nama siapa kedelapan orang tersebut. Intimidasi juga dilakukan oleh kepolisian dengan mendatangi kampung, untuk mencari laki-laki. Akibatnya, banyak laki-laki yang lari, keluar dari kampung, khawatir akan mengalami penangkapan.
Tindakan kekerasan yang berujung pada upaya kriminalisasi Masyarakat Adat Sihaporas tersebut sesungguhnya meggambarkan sikap aparat negara yang jelas-jelas memihak perusahaan. Bukannya memproses tindakan kekerasan yang dilakukan karyawan perusahaan, kepolisian malah menerima laporan karywan perusahaan yang jelas-jelas memelintir atau memutarbalikkan fakta yang terjadi.
Penangkapan Anggota Masyarakat Adat Sakai, Bongku bin Jelodan
Bongku, salah seorang anggota Masyarakat Adat dari suku Sakai, ditangkap pada 3 November 2019 dengan dugaan melakukan tindak pidana “Melakukan Kegiatan Perkebunan Tanpa Izin Menteri di Dalam Kawasan Hutan”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprin-Kap/107/XI/2019/Reskrim dan diperpanjang dengan Surat Perintah Perpanjangan Penangkapan dengan Nomor: Sprin-Kap/107.a/XI/2019/Reskrim tertanggal 5 November 2019 dan Surat Perintah Penahanan Nomor Sprin-Han/93/XI/2019/Reskrim tertanggal 8 November 2019.
Saat ini Bongku masih ditahan di Polsek Pinggir Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Menurut Kepolisian, objek yang dikerjakan Bongku merupakan konsesi PT. Arara Abadi. Sementara Bongku dan Suku Sakai mengatakan, bahwa wilayah yang mereka olah untuk menanam ubi dan tanaman penghidupan lain, merupakan wilayah adat Suku Sakai.
Lagi-lagi kasus penangkapan Bongku ini menggambarkan sikap negara yang lebih pro pada investasi dan sikap pro investasi tersebut dilakukan dengan cara-cara mengabaikan hak Masyarakat Adat dan wilayah adat. Bahkan keberpihakan kepada investasi tersebut ditunjukkan lebih lanjut oleh negara melalui aparat penegak hukum dengan cara menangkap Masyarakat Adat seperti Bongku.
Pembangunan Waduk Lambo, Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur
Kasus ini telah dilaporkan dalam Catatan Akhir Tahun AMAN pada tahun 2018. Tetapi hingga hari ini negara tidak melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan kasus tersebut. Berbagai aksi penolakan telah dilakukan Masyarakat Adat Rendu sebagai pemilik wilayah adat dimana Waduk tersebut direncanakan. Bahkan Masyarakat Adat Rendu pernah mendatangi Kantor Presiden yang ditemui oleh KSP dan Menteri PUPR pada tahun 2018 lalu. Pertemuan itu menyepakati bahwa pembangunan waduk Lambo hanya boleh diteruskan jika ada telah ada penyelesaian dengan Masyarakat Adat Rendu.
Pembangunan Waduk Lambo merupakan lanjutan dari rencana pembangunan Waduk Mbay yang pernah direncanakan oleh pemerintah melalui Pemerintah Daerah Ngada sejak tahun 1999. Waduk ini berlokasi di 3 Desa dari 3 kecamatan : 3 (tiga) desa di 3 (tiga) kecamatan, Desa Labolewa di Kecamatan Aesesa, Desa Rendu butowe di Kecamatan Aesesa Selatan dan Desa Ulupulu di Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat, luas waduk tersebut lebih kurang 1.048 ha. PembangunanWaduk Lambodi Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Alasan utama penolakan masyarakat, lahan yang akan dijadikan waduk tersebut memiliki arti dan nilai sejarah, budaya dan tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan warga Rendu Butowe sebagai Masyarakat Adat dan pemilik lahan yang akan dijadikan waduk tersebut. Masyarakat mengusulkan tempat atau area lain untuk dijadikan waduk. Lokasi lain itu masih merupakan milik Masyarakat Adat Rendu Butowe. Usulan masyarakat ini hanya didengar oleh pemerintah tetapi usul tersebut tidak dilaksanakan.
Perampasan wilayah adat Kinipan untuk Perkebunan Sawit
Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah sudah menempati wilayah adat mereka yang terletak di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau sejak tahun 1500-an. Hingga kini masih bisa ditemukan situs-situs peninggalan leluhur berupa makam-makam dan batu-batu tempat pemujaan. Di dalam hutan adat mereka, masih dapat ditemukan tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan tradisional. Keseharian Masyarakat Adat Kinipan adalah berburu, berladang dan berladang yangs ecara turun temurun mereka lakukan secara gilir balik.
PT. Sawit Mandiri Lestari (SML), merupakan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Lamandau propinsi Kalimantan Tengah. Perusahaan mendapatkan izin lokasi dari Bupati Kabupaten Lamandau seluas 26.995,46 hektare. Dari total luasan tersebut, telah keluar Hak Guna Usaha seluas 9.435 ha yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan overlay peta wilayah adat, diatas izin lokasi tersebut, seluas4.762,95-ha merupakan bagian dari wilayah adat kinipan. Desa Kinipan berbatasan langsung dengan Desa Ginih, Desa Batu Tambun, DesaTapin Bini, Desa Sujadan Desa Karang Taba. Tapal batas antar desa telah disetujui oleh 4 desa diatas kecuali dengan Desa Karangtaba. Sejak tahun 2012, PT. Sawit Mandiri Lestari untuk menjadikan wilayah adat kinipan menjadi perkebunan kelapa sawit tetapi ditolak oleh warga. Berbagai langkah dan upaya yang dilakukan warga kinipan hingga hari ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Perusahaan terus melakukan penggusuran lahan/perkebunan yang dimiliki oleh warga kinipan, hingga mendekati perkampungan.
Perampasan wilayah adat untuk dijadikan peternakan sapi di Kecamatan Aru Selatan Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku
Pada tanggal 16 Juli 2019 Bupati Kepulauan Aru mengeluarkan 4 (empat) ijin lokasi usaha peternakan sapi di Kepulauan Aru. Keempat ijin tersebut adalah:
- PT. Bintang Kurnia Raya dengan luas areal 13.916 ha,
- PT. Kuasa Alam Gemilang luas areal 16.408 ha,
- PT. Cakra Bumi Lestari luas areal 14.940 ha,
- PT. Ternak Indah Sejahtera dengan luas areal 16.263 ha.
Beberapa tahun silam, areal yang direncanakan untuk dibangun peternakan sapi ini pernah masuk dalam rencana konsesi PT. Menara Group untuk membangun perkebunan tebu skala besar. Rencana pembangunan tebu tersebut gagal dilanjutkan setelah mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, termasuk adanya reomendasi dari Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial untuk menghentikan rencana tersebut.
Rencana peternakan sapi ini mendapatkan sikap kritis dari Masyarakat Adat terutama karena tidak bekerjanya kerangka legal pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan wilayah adat di Kepulauan Aru.
Konflik Suku Tukan Hoken versus PT. Rero Lara Larantuka
Suku Tukan Hoken, Desa Pululera Kecamatan Wulanggitang Kabupaten Flores Timur telah puluhan tahun berjuang untuk mengembalikan wilayah adat mereka yang dijadikan Hak Guna Usaha De Romsh Katolieek Missie De Klene Soenda Eilanden berdasarkan sertifikat No. 1/Hokeng dan atas nama PT. Rero Lara Larantuka Sertifikat No. 1/Pululera Lara.
Pemanfaatan areal HGU ini bermula sejak tahun 1922. Kala itu terjadi kesepakatan antara Sang Tony Tukan (Tuan Tanah Suku Tukan) dan Dua Tukan (Kepala Kampung Suku Tukan) dengan Misionaris Belanda. Isinya adalah penyerahan lahan di Hokeng Bele’en seluas 110 Ha kepada De Romsh Katolieek Missie De Klene Soendaeilanden untuk usaha perkebunan. Kesepakatan itu disaksikan oleh anggota komunitas adat Suku Tukan dan warga kampung lainnya.
Jangka waktu kontrak adalah 75 tahun dengan perjanjian bagi hasil 75% untuk Misi Belanda, 25% untuk Masyarakat Adat. Namun kesepakatan tersebut tak pernah dijalankan.
Informasi yang diperoleh Masyarakat Adat Suku Tukan, HGU tersebut telah mengalami beberapa kali perpanjangan kontrak yakni pertama sepanjang 1922-1929, kedua tahun 1929-1947 dan ketiga 1947-1997. HGU pun mengalami perluasan tanpa diketahui masyarakat, dari awalnya 110 ha hingga meluas menjadi 638,24 ha. Masyarakat Suku Tukan baru mengetahui tatkala keluar Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/HGU/BPN/92 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama PT. Rero Lara, Larantuka, Flores Timur.
Dalam memperjuangkan kembalinya Tanah Ulayat Suku Tukan, belasan orang anggota suku tukan telah menjadi korban kriminalisasi.
Peristiwa terakhir pada tanggal 19 November 2019, manakala perusaan berkeras untuk melakukan pengukuran ulang areal HGU yang akan dimohonkan untuk perpanjangan, meskipun izini HGU perusahaan telah kedaluarsa lebih dari 9 bulan. Masyarakat melakukan penghadangan hingga terjadi kericuhan. Akibatnya, 7 orang warga Suku Tukan diproses secara hukum dan ditetapkan sebagai tersangka.
Pasca kericuhan, situasi intimidatif terus terjadi. Aparat keamanan bersenjata mendatangi, menghampiri, atau sekedar berkeliling melewati kampung. Masyarakat berharap agar tanah eks HGU dapat dikembalikan menjadi hak ulayat mereka, demi kehidupan, ketentraman dan kesejahteraan anak-anak dan generasi mereka nanti.
Perampasan Wilayah Adat Masyarakat Adat Tobelo Dalam
Hutan Akejira adalah salah satu ruang hidup Orang Tobelo Dalam. Hutan Akejira ini merupakan jantung Pulau Halmahera. Hutan Akejira dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam menghadapi ancaman serius akhir-akhir ini. Saat ini ada 2 perusahaan tambang Nikel raksasa yang sudah beroperasi untuk mengeksplorasi serta mengeksploitasi hutan Akejira, yaitu PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan PT. Weda Bay Nikel (WBN). Dua perusahaan tambang tersebut merupakan perusahaan dari dalam Negeri, yang bekerjasama sama dengan pihak pemerintah Cina dan Prancis.
Pada tanggal 26 September 2019 sekitar 8 orang warga O’Hongana Manyawa melakukan pemblokiran alat berat dan memasang spanduk yang bertuliskan “Tanah ini Bukan Tanah Negara” untuk menghentikan aktivitas pembangunan akses jalan menuju lokasi tambang yang dilakukan oleh PT. IWIP di Akejira. Namun upaya ini belum berhasil dan pembangunan jalan masih berlanjut. PT IWIP hingga saat ini masih terus melakukan pembangunan jalan dan mulai persiapan kegiatan penambangan di wilayah jelajah orang Tobelo Dalam. Akibatnya orang Tobleo Dalam merasa sangat terganggu karena wilayah adatnya terancam hilang. Belum lagi aktivitas-aktivitas perusahaan secara langsung berdampak pada semakin terbatasnya sumber-sumber makanan orang Tobelo Dalam ini.
Perusahaan menggunakan 2 orang laki-laki anggota kelompok Masyarakat Adat Tobelo Dalam sebagai pekerja di perusahaan. Perusahaan bahkan menugaskan kedua orang ini untuk berkomunikasi dengan Masyarakat Adat Tobelo Dalam lainnya. AMAN telah melakukan pengaduan kepada pemerintah terkait kasus ini. Tetapi hingga hari ini tidak ada respon berarti dari pemerintah.
Kriminalisasi peladang tradisional
Krimininalisasi peladang tradisional terjadi cukup massif di Kalimantan. Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat setidaknya 7 orang anggota Masyarakat Adat yang dikriminalisasi. 6 (enam) orang di Kabupaten Sintang, dan 1 (satu) orang di Kabupaten Kapuas Hulu. Sementara itu, di Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 35 orang peladang tradisional menjadi korban kriminalisasi. Beberapa diantara mereka menjalani proses hukum hingga ke persidangan. Sementara sisanya, selesai ditingkat penyidikan kepolisian. Adapun yang menjalani proses hukum hingga persidangan adalah:
- Gusti Mauludin dan Sarwani dari Desa Rungun Kabupaten Kota Waringin Barat;
- Saprudin anggota dari Lebu Juking Pajang, Kecamatan Murung Kabupaten Murung Raya;
- Nadirin bin Abdul Rahman dan Akhmad Taufiq bin Amin Desa Riam Panahan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimatan Tengah;
- Layur bin Juri, Desa Sei Tatas, RT 04, Kec. Pulau Petak Kabupaten Kapuas;
- Reto anak dari Petrus Sabut dan Hero anak dari Reto Desa Riam Panahan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimatan Tengah;
- Antonius bin Alm. Darma dari Desa Kamawen, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara
Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang mempraktekkan kearifan tradisionalnya jelas adalah pelanggaran hukum, khususnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU tersebut memang terdapat larangan untuk membakar tetapi UU yang sama mengecualikan larangan tersebut kepada masyarakat (adat) yang melakukan aktivitas pembakaran lahan secara terbatas dan didasarkan pada kearifan tradisional yang dimiliki dan dijalankan secara turun temurun. Jadi cukup jelas tampak bahwa negara yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukum “memilih” pasal yang tidak tepat dalam menyelesaikan masalah perladangan tradisional dengan cara membakar dan “melupakan pasal lain” yang melindungi aktivitas perladangan tradisional dengan cara membakar yang diatur di dalam Undang-Undang yang sama.
Selain kasus – kasus diatas, tercatat juga kasus lain lain:
- Suku Anak Dalam Bathin IX Sungai Bahar Batanghari Jambi yang belasan tahun berjuang untuk mengembalikan sebagian wilayah adat mereka seluas 3550 hektar dari okupasi PT. Asiatic Persada,
- Penggusuran wilayah adat Suku Daa Inde di Sulawesi Barat sebagai akibat keserakahan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berafiliasi dengan PT. Astra,
- Konflik perusahaan tambang emas PT. Indomuro Kencana dengan Masyarakat Adat di Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah.
Omnibus Law Investasi dan Potensi Ancaman Bagi Keamanan Wilayah-Wilayah Adat Serta Masa Depan Masyarakat Adat
Isu Omnibus Law seketika mengemuka setelah Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin dilantik. Barangkali memang rencana ini dilempar sebagai respon terhadap kurang sigapnya rezim Joko Widodo pada periode pertama (2014 – 2019) yang hanya sanggup menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%. Angka ini tidak beranjak jauh dan karenanya tidak salah kalau disebut pertumbuhan ekonomi stagnan. Publik selalu disajikan dengan argumen bahwa stagnasi tersebut merupakan dampak dari perang dagang yang dimotori China dan Amerika Serikat dimana Indonesia disebut-sebut kurang mendapatkan keuntungan darinya karena terbelenggu dengan berbagai regulasi terkait investasi yang dituding menghambat.
Penting untuk dicatat bahwa berbagai kasus perampasan wilayah adat, kekerasan dan kriminalisasi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya terjadi dalam situasi dimana belum ada gagasan pembentukan Ominibus Law. Artinya, tanpa Omnibus Law sekalipun pada dasarnya investasi di atas wilayah-wilayah adat telah mengalir deras tak terbendung. Tanpa Omnibus Law, Pemerintah bahkan pernah dengan enteng mengubah larangan menambang secara terbuka di hutan lindung hanya untuk memfasilitasi 13 perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/PERPPU No. 1 tahun 2004.
Omnibus Law di bidang investasi ini berkonsekuensi pada penghapusan atau perubahan sejumlah undang-undang. Paparan Kementerian koordinator perekonomian pada 30 Oktober 2019 menunjukkan setidaknya terdapat 71 Undang-Undang yang berhubungan dengan rencana pembentukan Omnibus Law Investasi. Sejumlah Undang-Undang tersebut terbagi ke dalam 6 cluster, yaitu persyaratan investasi sebanyak 15 UU, kegiatan usaha berbasis resiko meliputi (perizinan dasar sebanyak 9 UU dan perizinan sektor sebanyak 45 UU), penataan kewenangan sebanyak 2 UU, pembinaan dan pengawasan sebanyak 20 UU, sanksi sebanyak 26 UU dan pendukung ekosistem (kemudahan dan insentif) sebanyak 8 UU.
Rencana ini perlu diantisipasi oleh gerakan Masyarakat Adat. Pengalaman selama lebih dari 30 tahun menunjukkan bahwa investasi dan pelaksanaan kewenangan negara dalam mengalokasikan peruntukan kawasan hutan telah merugikan negara itu sendiri, merugikan investasi, lingkungan hidup, dan tentu saja menghadirkan penderitaan berkepanjangan bagi Masyarakat Adat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konflik yang disebabkan oleh adanya investasi yang merampas wilayah adat yag kemudian melahirkan konflik justru telah merugikan investasi itu sendiri dan tentu saja merugikan Masyarakat Adat. Pertama, penelitian yang dilakukan KARSA dan CRU (2018). Penelitian itu menyebutkan bahwa konflik tanah dan SDA akibat masuknya konsesi perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada meningkatnya angka kemiskinan akibat hilangnya lahan Masyarakat Adat dan lokal yang dikonversi menjadi HGU perkebunan kelapa sawit skala besar. Dampak utama yang dirasakan masyarakat adalah adanya penambahan biaya tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena sumber-sumber kebutuhan rumah tangga lebih mudah didapatkan sebelum masuknya perusahaan. Dari berbagai amatan di lapangan yang dilakukan oleh AMAN juga menunjukkan kerusakan lain mulai dari semakin menyempitnya ruang hidup Masyarakat Adat sampai pada kerusakan ekologi dan hilangnya identitas kultural Masyarakat Adat.
Kedua, peneitian yang dilakukan Daemeter (2018). Disebutkan bahwa konflik sosial yang dihadapi oleh perusahaan telah mengakibatkan kerugian berkisar 70.000 hingga 2.500.000 dolar AS atau 51-88 persen dari biaya operasional dan 102-177 persen dari biaya investasi per hektare per tahun. Penelitian tersebut selanjutnya merekomendasikan agar Pemerintah membenahi tata kelola pemberian izin lahan untuk menghindari potensi konflik kedepan. Juga diperlukan institusi yang kuat dan bertanggung jawab dalam mengatur perizinan lahan yang clear and clean. Hasil penelitian Daemeter tersebut menunjukkan bahwa privat sektor pun menghendaki adanya perubahan regulasi dan tata ulang kebijakan pengelolaan SDA.
Investasi yang melawan hukum juga merugikan negara. Studi GNPSDA KPK pda tahun 2012 menemukan bahwa kerugian negara dari penerimaan bukan pajak pada sektor pertambangan mencapai 15,9 trilyun. Ini disebabkan karena usaha pertambangan sebanyak 1.052 perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Jumlah kerugian negara akibat pembalakan liar bahkan mencapai Rp 35 triliun akibat land clearing izin usaha pertambangan. Keberadaan tambang ini juga faktanya tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Laporan JATAM menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskina justru terdapat di wilayah-wilayah tambang dan sekitarnya. Artinya, investasi bukanlah satu-satunya obat mujarab yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan berpotensi kuat menimbulkan konflik, pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.
Selain kerugian ekonomi, kerugian negara juga bersifat mendasar. Kegagalan melindungi Masyarakat Adat sebagai bagian dari tumpah darah Indonesia adalah salah satu kerugian. Bahkan tidak ada kerugian yang lebih hebat lagi dari ini karena langsung berhubungan dengan alasan mengapa dan untuk apa kita bernegara.
Lalu bagaimana jika wilayah adat dikelola oleh Masyarakat Adat itu sendiri? Studi valuasi ekonomi wilayah adat yang dilaksanakan AMAN pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tanpa investasi pihak ketiga, pendapatan per tahun Masyarakat Adat jauh lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR). Apalagi, lahirnya regulasi terutama di daerah yang memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat dapat memicu geliat ekonomi Masyarakat Adat. Hal ini tidak saja meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat itu sendiri tetapi juga berkonstribusi positif terhadap pendapatan negara.
Regulasi pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat pada umumnya bertujuan agar Masyarakat Adat mendapatkan kepastian hak atas wilayah adat dan sumberdaya alam yang ada di dalam wilayah adat. Bagi AMAN, investasi di wilayah adat yang menguntungkan semua pihak hanya dapat dilakukan di atas kepastian hak Masyarakat Adat. Hal tersebut berdampak pada adanya kepastian usaha bagi investor dan tidak dibebani dengan biaya-biaya yang disebabkan oleh konflik yang terjadi.
Karena itu gagasan pembentukan Omnibus Law Investasi harus dibarengi dengan pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat. Bahkan sangat logis jika Undang-Undang Masyarakat Adat itu diposisikan atau dikonstruksikan pula sebagai Omnibus Law. Dengan posisi demikian maka UU Masyarakat Adat dapat membatalkan berbagai UU lain yang selama ini menjadi penyebab dari lambannya proses pengakuan Masyarakat Adat dan wilayah adat.
Jika tidak demikian maka Omnibus Law Investasi justru memicu lahirnya konflik yang lebih massif. Kembali disampaikan bahwa tanpa Omnibus Law sekalipun selama ini pelaksanaan investasi di wilayah-wilayah adat telah melahirkan konflik berkepanjangan dam semakin meningkat dari tahun ke tahun. Padahal berbagai konflik tersebut telah merugikan Masyarakat Adat, negara, lingkungan hidup dan investasi itu sendiri.
KPA (2015-2018) mencatat telah terjadi 1.769 letusan konflik agraria yang melibatkan Masyarakat Adat, petani dan masyarakat perdesaan. Peningkatan konflik agraria yang terjadi setiap tahunnya mencapai 13-15 % . Sementara itu, YLBHI (2018) menunjukkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. Konflik ini diakibatkan penerbitan izin-izin konsesi diatas tanah masyarakat (adat) oleh pemerintah kepada pengusaha dan proyek pembangunan infrastruktur lainnya.
Tanpa langkah langkah besar tersebut maka kepastian hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya tidak dapat dicapai dengan mudah. Ini berdampak pada siklus pelanggaran dan kekerasan yang tak pernah putus.