Jakarta (19/6/2019), www.aman.or.id - Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di nusantara telah hidup secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Mereka memiliki pengetahuan khas dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alamnya. Salah satunya Masyarakat Adat Kakorotan di Sulawesi Utara.
Aristarkus Samura, wakil Masyarakat Adat Nanusa, Sulut, dalam Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara dengan topik “Pesisir dan Laut” KMAN I, 16 Maret 1999 menulis makalah berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Kakorotan”.
Ia menguraikan secara rinci bagaimana Masyarakat Adat Kakorotan mengelola SDA mereka dengan sebuah tradisi yang disebut Mane’e. Tradisi Mane’e merupakan tradisi menangkap ikan yang disepakati secara serentak oleh semua warga Masyarakat Adat, laki-laki, perempuan, tua, muda.
Ada sembilan tahapan dalam kegiatan menangkap ikan dalam tradisi ini, 1) Maracapundangi, yaitu memotong tali hutan; 2) Mangalompara, yaitu memohon kepada Tuhan agar diberikan hasil yang banyak; 3) Matadu Tampa Paneea, yaitu saat menuju lokasi upacara, biasanya menggunakan 8-10 perahu londe dan dipimpin Ratumbanua (penguasa adat tertinggi); 4) Mamabi’u Sammi, yaitu membuat alat seperti pedang, tali hutan dan janur; 5) Mamoto’u Sammi, yaitu proses menebar alat ketika air mulai surut; 6) Mamoleu’ Sammi, yaitu menarik alat ke darat; 7) Manganuina, yaitu pengambilan hasil yang dilakukan pertama kali oleh Ratumbanua; 8) Matahia Ina, yaitu membagi hasil, pertama kepada Ratumbanua, lalu Inanguwanua, Sasarahe, Wuwaho, Tumani dan dua orang Mangangiape hingga anak yatim dan duda/janda; 9) Manarimma Alama, yaitu syukuran dengan beribadah.
Samura menulis, upacara Mane’e dilakukan setiap bulan Mei bertepatan dengan pasang tertinggi dan surut terendah yang terjadi pada akhir bulan purnama atau awal bulan mati. Kegiatan diawali dengan melakukan puasa/pelarangan melakukan penangkapan hasil laut di lokasi yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan musyawarah adat.
Pengetahuan Masyarakat Adat ini menunjukkan bagaimana pengelolaan lingkungan laut dan SDA-nya secara berkelanjutan. Mereka menunjukkan bahwa pengelolaan dengan pengetahuan Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan tentu saja terjaganya lingkungan.
Meskipun demikian pemerintah khususnya di masa orde baru, menjadikan pasal 33 UUD 1945 sebagai legitimasi untuk mengeruk kekayaan SDA. Bunyi pasal ini hanya difungsikan sepenggal, yakni bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Akibatnya kebijakan yang diturunkan tidak berarah pada penghormatan dan pengakuan Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil beserta hak-haknya. Dalam sarasehan terkait Pesisir dan Laut pada KMAN I terungkap berbagai regulasi berkaitan dengan pesisir dan laut, macam UU No. 9/1985 tentang Perikanan, UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan, Keppres No. 39/1980 tentang Penghapusan Jaringan Trawl, dan SK Menteri Pertanian No. 375/Kpts/IK 250/5/95 tentang Larangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse.
Namun tak satu pun regulasi ini yang benar-benar berjalan dengan seharusnya. Misalnya Keppres No. 39/1980 tentang Penghapusan Jaringan Trawl. Nelayan dirugikan akibat masih beroperasinya kapal trawl (pukat). Selain itu, ada pula penangkap ikan yang menggunakan bahan peledak seperti dikisahkan Rahman, nelayan di Maluku Utara, ketika itu.
Penangkapan ikan dengan pola-pola merusak laut macam inilah yang menjadi persoalan di mana mereka tidak menghormati Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemerintah di sisi lain, mengeluarkan kebijakan, namun tidak menjawab permasalahan. Sebaliknya banyak pula muncul kebijakan yang justru semakin mengabaikan Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Belakangan pemerintah mengeluarkan izin-izin pengusahaan hutan, perkebunan hingga tambang. Saat ini, izin-izin yang mengancam keberlangsungan Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil misalnya terdapat di Kepulauan Maluku.
Mengutip dari website AMAN Wilayah Maluku Utara (12/4/2019), tercatat 313 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi 1 juta hektar. Sementara total luas daratan Maluku Utara yang memiliki 395 pulau hanya 3,1 juta hektar.
Baca Pulau Kecil dan Pesisir Maluku Utara Terancam Punah
Selain itu, ada juga perkebunan kelapa sawit di Gane, yakni PT. Korindo melalui anak usahanya PT. GMM di Halmahera Selatan, Patani (PT. MRS) di Halmahera Tengah. Kemudian ada HPH di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, dan Pulau Obi, juga hutan tanaman industri (HTI).
Dengan berbagai izin demikian, Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil semakin dimarjinalkan. Karena itu, suara Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sejak KMAN I jelas menekankan bahwa penghormatan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat adalah keharusan negara. Dalam rekomendasi sarasehan waktu itu, Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mendesak pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak ulayat laut dan hak adat lainnya serta mendorong pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang berkeadilan, berkelanjutan dan berbasiskan kemasyarakatan.
Jakob Siringoringo