AMAN, 22 Oktober 2014. Setelah kehadiran perusahaan sawit dan tambang, kedamaian masyarakat Muara Tae terkoyak. Hutan yang dijaga sejak ratusan tahun silam pun, hanya dalam sekejap hilang dan rata oleh mesin modern- alat berat (bulldozer).
“Pada dasarnya kami tinggal di atas tambang dan sawit. Kami sudah tidak memiliki lahan.Semuanya ditergantikan sawit dan tambang. Tapi kami sampai mati akan mempertahankan daerah kami. Sisa hutan kami,”tegas Masrani
Masuknya dua perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP) dan PT Borneo Surya Jaya Mining menjadi klimaks pemicu perpecahan masyarakat adat dayak Benuaq antara dua kampung, yakni kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang dengan kampung Muara Ponak, Kecamatan Siluq Ngurai.
Awalnya, kedua perusahaan tersebut meminta izin kepada warga Muara Tae untuk berinvestasi dengan memanfaatkan lahan dan hutan adat warga untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.Izin ini merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh perusahaan dalam membuka lahan sebelum izin resmi dari Bupati dikeluarkan.
Namun, usaha meminta izin kepada warga Muara Tae terhambat, warga memilih tidak memberikan izin lahan atau menolak secara tegas kedua perusahaan masuk wilayahnya karena telah merasakan dampak lingkungan akibat eksploitasi secara massif oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit sebelumnya.
Keinginan untuk merebut lahan warga Muara Tae terus dilakukan oleh kedua perusahaan. Berbagai cara ditempuh agar lahan dan hutan adat bisa berubah menjadi hamparan sawit. Salah satu cara atau modus yang dilakukan perusahaan adalah memanfaatkan kampung tetangga atau saudara Mauara Tae, Muara Ponak untuk menjual lahan itu seharga Rp 1 juta per hektarnya. Jauh dari angka layak sebuah tanah adat yang dipenuhi pohon pohon bernilai ekonomis tinggi dan menjadi tumpuan hidup warga.
Sebuah hutan yang terus dijaga turun temurun sejak ratusan tahun silam, hanya dalam sekejap hilang dan rata oleh mesin modern- alat berat (bulldozer). Konflik warga dua tetangga yang sebelumnya hidup berdampingan dan damai berubah menjadi konflik horizontal.Sebuah harga yang harus dibayar mahal dan diterima oleh masyarakat akibat keserakahan perusahaan dan penguasa.
Setelah lahan tersebut dikuasai oleh kedua perusahaan, pemerintah Kutai Barat (Kubar) melalui Bupatinya Ismail Thomas melegalkan cara itu dengan mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan (IUP).Dukungan otoriter dari pemerintah daerah sebagai pemegang kebijakan dan wewenang dalam mengatur warganya semakin menjadikan warga Muara Tae tersingkir dari tanah leluhurnya. Tidak diam, protes keberatan dilakukan kepada warga kampung Muara Ponak, perusahaan, dan Bupati Kutai Barat karena telah merebut hutan adat.
Tahun 2011, warga Muara Tae melaporkan kasus ini kepada Bupati terkait keluarnya izin perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanah leluhur mereka yang tidak pernah disetujui alih fungsi kawasan tersebut.Sejumlah pertemuan dilakukan untuk menyelesaikan konflik lahan adat, namun tiada titik temu.Semuanya berdiri pada alasan rasional masing masing kubu untuk menyakinkan kepemilikan sah.
Warga kampung Muara Ponaq secara tegas menyatakan lahan itu adalah milik mereka.Perusahaan pun berdalih, lahan itu sudah dibeli dari warga Ponak dan telah diberikan izin dari Bupati sehingga secara hukum berhak mengelolah dan memanfaatkan lahan untuk kepentingan bisnisnya.Karena Bupati Kutai Barat dalam menyelesaikan konflik lahan dan mendukung kampong Muara Ponaq dan perusahaan sebagai pemilik lahan yang sah dianggap menggeser garis tapal batas kedua kampung. Ini ditegaskan dengan dikeluarkannya SK (Surat Keputusan) Bupati Kutai Barat Nomor 146.3/K.525/2012 Tentang Penetapan dan Penegasan Garis Batas Wilayah Antara Kampung Muara Ponaq, Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang.
Dalam isi SK yang memuat delapan penetapan antara lain menyebutkan, garis batas wilayah Kampung Muara Ponak dengan Kampung Muara Tae adalah masyarakat Kampung Muara Ponaq dan Masyarakat Kampung Muara Tae secara perorangan maupun berkelompok atau berbadan hukum mempunyai hak yang sama untuk melakukan kegiatan berkebun atau berladang atau mendirikan bangunan atau pengalihan hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan kepemilikannya yang sah.
Selanjutnya ditegaskan pula dalam SK itu pengurusan administrasi tanah yang dikelolah oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan wilayah administrasi kampung letak tanah dan batas wilayah kampung tidak menghilangkan hak perorangan atau masyarakat atau badan hukum yang sudah dikuasai diatas tanah tersebut.
“Perusahaan awal pemicu konflik antar warga dayak Benuaq di dua kampung. Dulu tidak begini. Dan parahnya Bupati dalam menyelasikan tapal batas kedua kampung seenaknya saja, yakni menggeser garis batas wilayah Muara Tae masuk kedalam Muara Ponaq sesuai luasan izin perkebunan kelapa sawit kedua perusahaan. Ini kan sama saja kami ingin dibuat berperang dengan sudara kami sendiri hanya kepentingan bisnis,”jelasnya.
Munculnya SK legalitas Bupati yang menyatakan kawasan izin perusahaan adalah milik kampung Muara Ponaq, warga kampung Muara Tae merespon dengan melakukan protes kepada Bupati Ktai Timur, namun tidak digubris.
Pada akhirnya warga melaporkan kasus ini kepada Polda Kalimantan Timur yang didampingi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur dan melakukan gugatan SK Bupati Kutai Barat terkait garis tapal batas kedua kampung dan IUP kedua perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui Pengadilan Usaha Tata Negara (PTUN) di Samarinda. Upaya hukum ini kandas setelah PTUN tidak mengabulkan permohonan gugatan hingga tingkatan banding sekalipun.Sedangkan Polda Kaltim mengembalikan kasus ini ke Polres Kutai Barat.
Ditulis oleh: IGG Maha Adi
Permalink
Saya bangga dengan kubar dipimpin putra daerah tapi ga bisa melestarikn hak-hak adat setempat