Jakarta, www.aman.or.id – Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) jatuh pada 17 Maret bertepatan dengan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) I 1999 di Jakarta. Saat itu, para perwakilan Masyarakat Adat yang senasib sepenanggungan berkumpul dari seluruh nusantara, dari Papua hingga Aceh.
“Hal yang terpenting dari pertemuan itu, setiap peserta mendapat kesempatan banyak untuk saling berbagi pengalaman tentang pelanggaran hak asasi manusia, kolonisasi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah. Peristiwa tersebut menjadi kesempatan untuk menumpahkan seluruh keluhan massa terhadap ketidakadilan yang dialami masyarakat adat selama beberapa generasi,” tulis Down to Earth.
Pertemuan berlangsung dari 15-22 Maret 1999. Pertemuan tersebut diselenggarakan berkat kerja keras LSM Indonesia yang peduli terhadap masalah Masyarakat Adat.
Lembaga-lembaga yang mendukung terselenggaranya KMAN I ketika itu berjumlah 13. Organisasi Masyarakat Adat dan jaringan organisasi pendukung yang menyelenggarakan KMAN 1999 tersebut yaitu:
- Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat
- Baileo Maluku
- BioFORUM
- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
- Jaringan Gerakan Masyarakat Adat Nusa Tenggara Timur (JAGAT)
- Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
- Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA)
- Jaringan Pesisir dan Laut (Jaring PELA) –
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)
- Konsorsium Penguatan Masyarakat Adat (KOPENMA) Irian Jaya –
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Saat itu peserta kongres berjumlah 123 orang perwakilan Masyarakat Adat yang didampingi 50 staf berbagai LSM. Tidak hanya dari dalam negeri, pengamat international juga turut hadir, seperti Down to Earth dan para akademisi bersama 50 anggota yang berasal dari kalangan LSM.
Hadir juga perwakilan organisasi International Alliance of Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest (Aliansi Internasional Masyarakat Adat dan Suku-Suku Hutan Tropis) serta International Workgroup on Indigenous Affairs -IWGIA (Kelompok Kerja Internasional Masyarakat Adat) yang berbicara tentang perangkat-perangkat internasional yang dapat digunakan dalam memajukan kepentingan Masyarakat Adat.
Milik Masyarakat Adat
Kongres ini benar-benar milik Masyarakat Adat. Pemilik suara sah dalam kongres tersebut adalah Masyarakat Adat itu sendiri, bukan pimpinan LSM, pendamping apalagi pengamat.
“Meskipun para pengamat dan media diizinkan untuk mengikuti semua sesi, tetapi hanya para perwakilan Masyarakat Adat yang diizinkan untuk menyatakan pendapat dan mengambil keputusan di dalam kelompok kerja dan dalam sesi konferensi penuh,” tulis Down to Earth.
Kongresnya Masyarakat Adat ini juga ditandai dengan penekanan isu-isu seperti kedaulatan Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia khususnya, negara harus mematuhi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan menghentikan pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat Adat untuk hidup sesuai dengan Undang- undang yang mereka miliki. Selain itu, isu yang paling mendesak yang disuarakan juga adalah isu perempuan.
Jakob Siringoringo-Infokom PB AMAN