AMAN, 22 Oktober 2014. Keindahan alam dan kedamaian masyarakat Muara Tae, Kalimantan Timur, yang dulu pernah ada kini hilang. Hamparan hutan lebat lengkap dengan ekosistemnya hancur seketika, berubah jadi tambang dan sawit.
Hamparan hutan lestari memberikan tempat bagi seluruh makhluk hidup. Memberikan kenyamanan akan keindahan dunia, termasuk manusia. Hidup berdampingan dengan ekosistem alam lainnya, tiada kekurangan, semuanya telah disediakan oleh alam.
Kerukunan sosial antar warga tercipta begitu indah dan damai.Tiada pertengkaran, keserakahan, yang ada adalah kebersamaan, saling bahu membahu menjalani kehidupan duniawi.Rasa syukur selalu dirayakan tiap tahunnya melalui perayaan Gugug Tautn. Semua warga berkumpul dalam satu tempat, tidak ada perbedaan.Semuanya larut dalam kemeriahan, memuja para leluhur dan Pencipta alam semesta.
Sepenggal kenangan indah hubungan warga dengan alam dan sesamanya diceritakan secara detail oleh mantan kepala Kampung Muara Tae Masrani. Seakan hanya menjadi catatan sejarah untuk anak dan cucu mereka. Sebab kini, kondisi itu telah berubah, hamparan hutan lebat lengkap dengan ekosistemnya hancur seketika, berubah jadi tambang dan sawit, air sumber kehidupan warga tidak lagi jernih, keruh bercampur minyak, berlumpur seakan akan membawa wabah penyakit untuk menghilangkan para penghuni di Muara Tae.
Semua itu berubah sejak tahun 1970an, ketika perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) menembang satu persatu kayu khas Kalimantan ulin dan bengkirai dengan menggantikannya dengan pohon akasia. Era industri kayu mulai menipis memasuki era 1990an, berhenti sejenak, kemudian tergantikan dengan era tambang batu bara tahun 1997. Kehancuran massif mulai terjadi pada masa ini.Sejumlah perusahaan pertambangan sudah mulai mengoyak tanah leluhur di Muara Tae.Hampir bersamaan dengan masuknya industri kelapa sawit.Semuanya membutuhkan lahan yang sangat luas, tidak mengenal batas wilayah.Berapa pun luasan yang tersedia, semunya dilahap habis, tidak tersisah yang ada hanya bencana menanti.
Kampung Muara Tae adalah salah satu kampung yang didiami suku asli Kalimantan,dayak Benuaq. Berlokasi di sekitar sungai Nayan atau sekitar 150 Km dari kota Tenggarong, Kutai Kartanegara atau berada di jalan poros Tenggarong-Melak. Ada sekitar 600 Kepala Keluarga atau sekitar 3 ribu jiwa menggantungkan hidupnya pada alam.Bertani dan berladang adalah pencarian utama mereka.Tanaman karet paling banyak dijadikan warga sebagai tanaman utama untuk penghidupan mereka.Meski harga jualnya tidak selalu memberikan harapan.Kini harga per kg-nya hanya Rp500. Jauh dari angka kelayakan yang ideal Rp8 ribu per kg.
“Sudah banyak kegiatan budaya kami yang hilang. Berburu dan mencari ikan tidak ada lagi.Mau cari hewan apalagi, semuanya sudah ditambang dan berubah sawit.Memancing juga tidak ada lagi, airnya sangat kotor dan berminyak. Tidak layak di komsumsi,”kata Masrani yang dipecat oleh Bupati secara tahun 2012 silam.
Masrani menjelaskan ekspansi industri tambang dan sawit menjadikan tanah leluhurnya secara de juree sudah tidak ada, hilang dilahap tambang dan perkebunan sawit melalui Izin Usaha Pertambangan dan Perkebunan (IUP). Kedua industri ini menghancurkan ada istiadat kampung Muara Tae, bahkan memunculkan dendam dan kebencian sesama dayak Benuaq di kampung lain yang juga mendiami kawasan itu.
Lahan kampung Muara Tae seluas 12 ribu ha semunya sudah berubah menjadi Izin Usaha Perkebunan dan Pertambangan (IUP). Perkampungan atau pemukiman warga pun sudah hilang, tidak ada lagi hak warga tinggal di kampung itu. Kendati belum semua IUP berubah jadi lahan tambang dan sawit, namun faktanya kondisi hutan adat yang dikelolah dan dijaga oleh warga dari 12 ribu ha tinggal 40 persen saja yang tersisa.
Hutan adat yang dikuasai oleh sejumlah perusahaan pertambangan dan Kelapa Sawit yakni, PT Gunung Bayan, perusahaan pertambangan batu bara yang masuk melakukan eksploirasi dan ekslpoitasi sejak tahun 1997 memiliki IUP 5 ribu ha, berada di sebelah barat hingga utara kawasan Muara Tae.
Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan izin kepada perusahaan sawit PT London Sumatra (Lonsum) seluas 600 ha sejak tahun 1995 untuk sisi timur. Memasuki tahun 2010 silam, Bupati Kutai Barat Ismail Thomas memberikan izin pada dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP) seluas 638 ha dan PT Borneo Surya Jaya Mining, anak perusahaan dari konglomerat perusahaan kayu perkebunan dan pertambangan Sumatra, Surya Damai yang dimiliki oleh pengusaha Malaysia seluas 476 ha. Satu lagi perusahaan pertambangan yang memiliki IUP adalah PT Gemuruh Karsa.
Ditulis oleh: IGG Maha Adi