Caleg AMAN: Pendeta Kristen, Tapi Caleg Partai Berlambang Ka’bah

Caleg AMAN: Pendeta Kristen, Tapi Caleg Partai Berlambang Ka’bah

Entah yang keberapa pemandangan langka seperti itu ada di negeri ini. Saya beruntung bertemu dengannya dan kemudian berbincang, Kamis pagi (24/1/2019) itu di Hotel Ibis, Wahid Hasyim Jakarta.

Namanya Haroly Chundrat Darakay, S.Si. Dari nama akhirnya, saya menduga ia berasal dari Maluku. Tahun lalu saya bertemu seorang perempuan dari provinsi yang sama, nama belakangnya sama: Erlina Darakay. Erlina Darakay adalah anggota Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) Barisan Pemuda Adat Nusantara/BPAN Region Kepulauan Maluku. BPAN adalah organisasi sayap pertama AMAN.

Dugaan saya tepat. Bukan hanya tepat berdasarkan nama belakang. Mereka adalah kakak - beradik alias saudara kandung.

Haroly datang ke Jakarta memenuhi undangan AMAN. Sejak 22 Januari, ia mengikuti acara “Konsolidasi Kader Utusan Politik Masyarakat Adat dan Perencanaan Agenda Strategis untuk Pemilu 2019”. Ia bergabung dengan rombongan dari Indonesia bagian timur sekaligus gelombang ketiga dari empat gelombang konsolidasi sejak Desember 2018.

Hari itu, hari saya bertemu dengannya, adalah hari terakhir acara konsolidasi. Saya belum mengenal profilnya, sekalipun secara sekilas, hingga malam sebelumnya, Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN meminta saya untuk mewawancarainya.

Malam itu juga saya mencari tahu orangnya. Kami bertemu di restoran hotel dan saya menyampaikan maksud untuk mewawancara. Ia bersama seorang rekannya dari Maluku mengenakan ikat kepala merah khas Masyarakat Adat Nua Ulu duduk di meja makan di salah satu sudut restoran.

Saya menyapanya sambil melihat namanya dicatatan dan memverifikasi langsung. Ia membenarkan. Kami bersalaman. Lalu saya sampaikan maksud untuk wawancara. Seketika ia mengejutkan saya, berkata: “dari mana kita bang?”

Saya sama sekali tak menduga akan mendapat pertanyaan semacam penyelidikan seperti itu. Ia kemudian menjelaskan bahwa beberapa oknum kerap meminta wawancara dia di kampungnya. Di kemudian hari, ia mengetahui tidak semua yang datang untuk mewawancaranya adalah wartawan. Beberapa di antara mereka justru adalah aparat yang berpura-pura menjadi wartawan dengan tujuan mengorek informasi.

Paham dengan penjelasannya, saya sampaikan bahwa saya dari Infokom Pengurus Besar AMAN dan menambahkan untuk meyakinkan,”Sekjen AMAN yang meminta saya mewawancara abang.”

Itulah catatan awal saya tentang dia. Pasti dia orang lapangan dan berurusan dengan advokasi Masyarakat Adat di daerahnya, pikir saya. Malam itu kami bersepakat untuk wawancara keesokan paginya sebelum sarapan.

*

Peserta konsolidasi di gelombang ketiga terdiri dari 26 calon legislatif untuk provinsi dan kabupaten/kota. Tiga saja yang teridentifikasi sebagai caleg provinsi. Sisanya, 23 caleg kabupaten/kota.

Mereka terdiri dari beragam profesi, meskipun sama-sama Masyarakat Adat dan utusan Masyarakat Adat. Haroly, misalnya berprofesi sebagai pendeta di Gereja Kristen Kudus Indonesia. Meskipun demikian, ia juga adalah anggota AMAN Daerah kepulauan Aru.

Para caleg yang maju dalam kontestasi pileg dan memiliki beragam profesi memang biasa. Sebut saja jika si A menyaleg dari latar belakang pekerjaan macam pengusaha, artis, aktivis LSM dan sebagainya. Kita pasti melihatnya sudah biasa, apa pun partai politiknya. Namun bagaimana jika seorang pendeta maju jadi caleg, tapi bukan dari partai yang relatif bisa diterima kenyataan publik Indonesia?

Haroly contohnya.  Ia satu-satunya caleg AMAN yang memiliki latar belakang kontras di antara yang lainnya. Haroly, notabene seorang pendeta, maju sebagai caleg DPRD Kepulauan Aru dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Seorang pendeta Kristen maju sebagai caleg dari Partai berlambang Ka’bah.

Informasi inilah yang saya sebut di awal tulisan sebagai pemandangan langka. 

Bagaimana ceritanya Haroly Chundrat Darakay maju sebagai caleg AMAN dari PPP? Pagi itu, kami bertemu sesuai janji malam sebelumnya. Pukul 06:45 saya bersantai di lobi hotel ketika pesan aplikasi WhatsApp-nya datang. Ia memberitahu saya kalau ia sudah di lantai dua, di ruangan konsolidasi. Sepi. Belum ada orang, kecuali petugas hotel yang mulai merapi-rapikan ruangan dan mengecek sound system di sudut kiri dari pintu masuk.

Kami duduk di kursi masing-masing yang mengikuti kursi lainnya mengelilingi meja bundar. Saya mengeluarkan alat tulis dan alat rekam dari tas sembari kami memulai obrolan ringan. Ketika saya tiba di lantai dua, ia baru saja bertelepon dengan istrinya. Kami memulai obrolan ringan tentang teleponan dengan istrinya yang orang Jawa.

Ia mengatakan kepada istrinya bahwa pagi itu merupakan wawancara khusus hanya kepada dirinya. Sebelumnya, ia telah memberitahu istrinya bahwa para caleg memang juga diwawancara teman Infokom saya yang lain. Wawancara tersebut dalam bentuk video. Tujuannya untuk mengadministrasikan profil-profil para caleg sehingga akan membantu mereka menyebarkan informasi atau data tentang pribadi mereka sendiri di hadapan konstituennya masing-masing.

Saya mulai menjelaskan tentang maksud wawancara. Alat rekam sudah menyala. Kemudian percakapan mengalir. Lelaki ini murah senyum dan senyumnya manis. Rambut pendek. Perawakan hingga kulit menandakan khas Indonesia timur. Tapi tidak sama dengan Papua. Meskipun demikian, tidak ada pembeda-bedaan ataupun melebihkan dan mengurangkan. Semua sama. Semua juga toleran.

Toleran. Kata itulah yang mewakili Haroly dan dengan demikian merepresentasikan Kepulauan Aru. Ia maju sebagai caleg dari PPP, sementara ia sendiri adalah seorang pendeta. Isu toleransi di Kepulauan Aru bukan sesuatu yang bisa dipermainkan untuk bahan menciptakan kegaduhan. Orang-orang di kepulauan ini justru sudah lama mampu menjaga keragaman lewat kearifan lokal (indigenous knowledge).

Penelitian Sajogyo Institute (2015)—sebuah lembaga yang bergerak dalam produksi dan layanan pengetahuan untuk kemajuan gerakan sosial dan perbaikan kebijakan agraria—melaporkan bahwa toleransi umat beragama di Kepulauan Aru, khususnya di kampung Rebi di Aru Selatan Utara sangat tinggi. Hal ini dilaporkan, misalnya saat pembangunan Masjid, umat Kristen turut serta membantu membangun. Hal yang sama juga terjadi saat umat Kristen membangun Gereja. Mereka juga pergi bersama-sama ke hutan untuk berburu hewan seperti rusa, babi dan lain sebagainya, dan hasil perburuan tersebut diperuntukkan dalam membantu pembiayaan pembangunan rumah ibadah, baik Masjid maupun Gereja.

Jinaknya isu toleransi di Kepulauan Aru dapat dilihat sebagai fakta betapa kearifan lokal bisa menjadi kunci untuk mengikat tali persaudaraan, di atas keruh dan sempitnya cara berpikir sebagian orang. Masyarakat Adat Kepulauan Aru memiliki tradisi ikatan persaudaraan yang dikenal “Duang” atau “Jabu”. Duang mirip dengan istilah Pela Gandong yang merupakan simbol sekaligus praktik untuk saling merangkul orang lain dengan semangat persaudaraan.

“Hanya saja lebih sakral hubungan Duang karena tidak boleh ada hubungan pernikahan antara mereka yang ada dalam hubungan tersebut,” Haroly mengoreksi pemahaman saya yang tahunya hanya Pela Gandong.

Dalam bukunya, Indonesia Zamrud Toleransi, Henry Thomas Simarmata dkk (2017) menulis, dengan Pela Gandong, dua negeri (kampung) yang berbeda agama (Islam dan Kristen) terikat dalam tali persaudaraan. Pengetahuan Masyarakat Adat warisan leluhur ini telah lama hidup dalam praktik sehari-hari mereka. Sekalipun mereka menganut agama yang berbeda, tetapi mereka hidup berdampingan serasa saudara kandung.

Dalam hal soal isu toleransi, Masyarakat Adat di Kepulauan Aru ternyata tidak serupa dengan di Ambon. Meskipun beberapa catatan tentang daerah ini menganggap memiliki kesamaan, seperti sama-sama mempunyai tradisi Pela Gandong (Duang atau Jabu, kalau di Aru Selatan Utara), namun praktik pengetahuan warisan leluhur tersebut kenyataannya justru berbeda antara Kepulauan Aru dengan Ambon. Itu sebabnya, ketika kerusuhan 1999 di Ambon meletus, pandangan publik di luar Provinsi Maluku melihatnya sebagai satu-kesatuan ternyata keliru. Ambon adalah Ambon. Kepulauan Aru hidup berdampingan, tanpa konflik, tanpa gesekan.

Haroly bilang bahwa toleransi sudah lama terbangun di Kepulauan Aru. Berbeda itu sudah sangat lazim. Nyaris tidak ada sekat pemisah antarsesama mereka. Sekalipun partai berbeda-beda atau agama berbeda, isu toleransi di tengah-tengah mereka sudah lama tuntas.

Jadi, ketika ia maju sebagai caleg dari PPP, komunitas dan konstituen lainnya tidak mempermasalahkannya. Sejak resmi jadi caleg, ia sudah berjalan ke komunitas-komunitas adat dan dia disambut dengan antusias.

Sebelum akhirnya Haroly memutuskan maju jadi caleg dari PPP, partai tidak melarang atau menjauhi hanya karena dia seorang pendeta. Sang pendeta sendiri tidak menunjukkan permusuhan atau penolakan sama sekali. Semuanya berjalan tanpa masalah, kecuali hanya perlu pertimbangan dari keluarga, teman kerja dan kolega dan komunitas adat untuk memastikan dirinya tak mengapa jika maju sebagai caleg.

*

Kabupaten Kepulauan Aru berada di sebelah tenggara Provinsi Maluku. Ibukotanya Dobo. Kepulauan Aru berbatasan dengan Papua di sebelah utara dan timur. Sebelah barat berbatasan dengan Kepulauan Kei. Sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura.

Gugusan Kepulauan Aru berjarak sangat dekat satu sama lain. Satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan selat sempit yang oleh masyarakat setempat menyebutnya sebagai sungai padahal laut. Topografi Kepulauan Aru relatif datar dengan titik tertinggi 271 m di pulau Kobror. Di pulau-pulau besar lain titik tertinggi umumnya hanya mencapai 50-100 m.

Kabupaten Kepulauan Aru dimekarkan, berdasarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2003 yang ditandatangani Presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Poetri, bersamaan dengan Kabupaten Seram Timur dan Seram Barat. Kabupaten Kepuluan Aru terbentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara. Kabupaten Kepulauan Aru terdiri dari 3 kecamatan, 2 kelurahan dan 117 desa dengan luas wilayah 54.395 km2 yang terdiri dari 6.425 km2 daratan dan 48.701 km2 lautan. Kabupaten Kepulauan Aru merupakan wilayah kepulauan yang tersusun atas 187 pulau.

Pada 2008 berdasarkan Perda No.15/2005, Kabupaten Kepulauan Aru memekarkan kecamatannya hingga menjadi tujuh. Ketujuh kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Pulau-Pulau Aru, kecamatan Aru Tengah, Kecamatan Aru Selatan, Kecamatan Aru Selatan Utara, Kecamatan Aru Tengah Timur, Kecamatan Aru Tengah Selatan, Kecamatan Selatan Timur.

Kepulauan Aru terkenal dengan aneka jenis burung. Sayangnya burung-burung eksotik yang terdapat di kepulauan ini justru menjadi komoditi sejak berabad-abad lampau. Dua Jenis burung, di antaranya yang paling dicari para pe-niaga luar adalah Kakatua dan Cendrawasih. Ririmasse (2013) mencatat Aru lekat dengan perdagangan komoditi eksotik yang langka dan mahal. Selain burung, kepulauan Aru juga dikenal sebagai sentra produksi mutiara laut yang dikonsumsi pasar dunia. Demikian halnya dengan beberapa produk laut unggulan seperti Teripang dan Telur Ikan Terbang juga diekspor dari Kepulauan ini.

Kepulauan Aru juga merupakan salah satu tempat penelitian naturalis ternama Alfred Russel Wallace. Catatan naturalis ini banyak membantu peneliti atau siapa saja yang ingin mengenal Kepulauan Aru. Tercatat, dalam sehari kunjungannya saja ke Kepulauan Aru, ia telah menemukan 30 jenis kupu-kupu. Selanjutnya, ia menemukan ragam burung dan aneka binatang lainnya.

Namun Kepulauan Aru tidak hanya dikenal sebagai “rumahnya” beragam jenis binatang eksentrik dan langka. Kepulauan ini juga menyimpan potensi sumber daya alam yang besar. Di sana ada potensi tambang dan perkebunan. Saat ini, Masyarakat Adat Kepulauan Aru tengah menghadapi ragam persoalan seperti illegal logging hingga perkebunan dan pertambangan.

Menurut penelitian Sajogyo Institute, pada 2010, misalnya Masyarakat Adat Kepulauan Aru dikejutkan dengan adanya kabar buruk bahwa 484.493 Ha dari 626.900 Ha luas daratan Kepulauan Aru atau sekitar 77% wilayah daratan Aru telah dimiliki oleh 28 anak perusahaan di bawah konsorsium PT Menara Group untuk perkebunan gula.

Luas konsesi daratan yang dikantongi PT Menara Group ini kentara menjelaskan betapa pilihan menjadi orang Aru benar-benar dalam arena pertarungan antara Masyarakat Adat yang mempertahankan mutu hidup dengan menjaga hutan, laut dan segala isinya lewat kearifan lokal untuk kepentingan masa depan anak cucu mereka dengan harus berhadapan dengan kelompok rakus yang sesuka hatinya saja hendak menelan Kepulauan Aru mentah-mentah.

Tujuh tahun kemudian, 2017, perusahaan logging masuk tanpa izin. Kedatangan illegal logging menambah ancaman pada Masyarakat Adat Kepulauan Aru, khususnya di Aru Selatan Utara. Penebang liar menebang pohon-pohon di hutan secara sembarangan yang akibatnya selain merusak ekosistem, juga menghentikan relasi budaya antara Masyarakat Adat dengan hutannya. Satu contoh, fungsi hutan bagi Masyarakat Adat setempat adalah berburu. Berburu merupakan tradisi turun-temurun yang hidup sampai sekarang tanpa menyebabkan hutan mereka gundul.

Kebijakan pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru lebih condong pada pihak ketiga yang ingin memanfaatkan alam Kepulauan Aru sebagai lahan bisnis atau investasi semata. Kebijakan yang tidak berpihak kepada Masyarakat Adat di Kepulauan Aru tidak hanya terjadi dalam hal pemberian izin konsesi perkebunan, tambang dan illegal logging. Pasar sehari-hari mulai dari pasar ikan yang merupakan mata pencaharian pokok para nelayan juga timpang.

Pendeknya, ada masalah distribusi politik yang tidak adil dan kecemburuan sosial akibat tata kelola yang buruk. Berbagai kebijakan pemkab tidak mendukung masyarakatnya untuk menikmati sumber kekayaan alamnya sendiri. Bahkan sekadar untuk mengakses infrastruktur pun tidak.

Sebaliknya Masyarakat Adat harus berulang kali menghadapi kriminalisasi dari perusahaan atau illegal logging. Mereka berjuang mendapatkan haknya, melawan perampas wilayah adatnya. Dibandingkan pemerintah daerah yang memiliki kekuasaan, Masyarakat Adat Kepulauan Aru sehari-hari berhadapan dengan intimidasi, kriminalisasi hingga perlakuan diskriminatif lainnya.

Haroly Chundrat mengalami seluruh situasi tersebut. Ia bersama-sama dengan BPH AMAN Maluku bergerak mengadvokasi Masyarakat Adat. Tanpa lelah, tanpa pikir panjang dan atau alasan untung rugi. 

*

Saat PPP meminang Haroly ibarat kisah muda-mudi yang ingin berpacaran. Si pemuda datang mendekat merayu pemudi yang ingin jadi kekasihnya. Kisahnya mudah ditebak: maksud kedatangan si pemuda tidak langsung begitu saja diterima si pemudi. Ada proses yang diperlukan. Tapi akhirnya si pemudi bersepakat menjadi teman si pemuda dan si pemudi diperlakukan bahagia.

Bermula pada 2014, Ketua DPC PPP Kepulauan Aru, Muhammad Saifinomai Ainomay mulai menghubungi Haroly melalui paltform media sosial Facebook. Komunikasi lewat Facebook ini ditindaklanjuti dengan bertatap muka. Ketika bertemu, Ketua DPC PPP menyampaikan maksudnya agar Haroly bergabung dengan PPP.

“Saya bilang saya masih fokus sama advokasi AMAN. Terus saya ada kegiatan di ELSAM waktu itu di Jakarta,” kata Haroly.

Ketua DPC PPP tak habis akal. Ia membuktikan keseriusannya untuk “meminang" Haroly. Ketika Haroly di Jakarta, ia mendatangi orangtuanya. Ia menyampaikan hal yang sama seperti yang dia katakan pada Haroly. Dia menyampaikan bahwa PPP Kepulauan Aru sedang mencari caleg, namun belum ada yang tepat. Haroly dinilai sebagai sosok yang dicari. Berbeda dengan yang mendaftarkan diri.

Meskipun Ketua DPC PPP sudah mendatangi keluarga Haroly, partai ini belum mendapat jawaban dari Haroly. Oleh karena itu, partai tersebut menunjukkan keseriusannya, dengan pendekatan yang berbeda. Kali ini PPP datang ke rumah orangtua Haroly dengan maksud menyewa salah satu rumah mereka untuk dijadikan sekretariat PPP.

“Jadi istilahnya ngambil hatilah gitu,” Ketua Mahasiswa ARU se-Jogja (2009-2014) itu tersenyum.

PPP mendapatkan niatnya untuk menyewa salah satu rumah orangtua Haroly sebagai sekretariat partai. Ketua DPC PPP kembali menyampaikan niatnya untuk “meminang” lelaki kelahiran Masohi, 8 Agustus 1987.

“Saya bilang riset saya belum selesai. Ada riset tentang pelanggaran HAM di Rebi yang saya kerjakan bekerja sama dengan ELSAM,” katanya. Di saat bersamaan, partai lain juga menghubunginya dan kembali memberikan jawaban yang sama: masih sibuk riset.

Ayah Haroly sebenarnya tidak keberatan dengan maksud PPP. Ia mengatakan bahwa Partai berlambang Ka’bah tersebut baik. Haroly sendiri mulai menimbang tawaran tersebut. Setelah memegang dukungan dari sang ayah, berikutnya ia menemui ibunya.

Setelah menyampaikan isi hatinya, ibu Haroly mencoba menguji anaknya. Sang ibu bilang kalau mau gabung politik kayaknya nanti bertentangan dengan ilmumu (ilmu teologi). Haroly kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Jogjakarta. Ia memulai kuliah pada jurusan Ilmu Teologi pada 2007 dan menamatkannya pada 2014.

“Saya jelaskan kepada ibu saya bahwa Ilmu Teologi yang kami pelajari justru mengajarkan bahwa kita diutus bukan di tengah Domba, melainkan di tengah Serigala. Pelayanan yang sesungguhnya itu bukan di dalam kandang, tapi di luar kandang. Bagaimana kita bisa menjadi berkat di ruang yang sangat berdosa. Bagaimana kita bisa bertahan di tengah-tengah politik yang dianggap kotor, karena sesungguhnya politik itu tidak kotor. Sistem dan oknum-oknum itulah yang selama ini kotor,” katanya, dan akhirnya “ibu saya merestui”.

Awal 2018, Ketua DPC PPP, Ainomay menghubunginya untuk yang keempat kalinya. Saat itu juga Haroly menjawab “pinangan” tersebut dengan mengatakan bersedia. Ia langsung mendaftarkan diri di PPP. Namun ia memberitahu dengan lugas bahwa ia tidak memiliki uang. “Katanya masuk aja. Kita enggak butuh duit, yang kita butuhkan adalah anak-anak muda yang berani dan kritis,” katanya meniru pernyataan Ainomay.

Setelah resmi maju jadi caleg DPRD Kabupaten Kepulauan Aru dari PPP dengan nomor urut 1 dan dari daerah pemilihan (dapil) Aru 4, ia dan BPH AMAN Wilayah Maluku dan BPH AMAN Daerah Kepulauan Aru dan tim memulai kerja dengan mendatangi komunitas-komunitas adat yang merupakan basis pemilihnya.

Ada hal sederhana, tapi mendalam dari penyampaian Haroly yang menurut saya berkesan. Saat kunjungannya ke komunitas anggota AMAN, ia dan tim berencana untuk meninggalkan bendera partai agar dipasang di wilayah-wilayah adat dapilnya. Namun, Masyarakat Adat yang mereka kunjungi tersebut menolak.

“Mereka tidak mau memasang bendera partai. Sebaliknya mereka justru meminta bendera AMAN. Itu makanya saya meminta kepada teman-teman sekretariat (PB AMAN) untuk menyediakan bendera AMAN untuk saya bawa pulang,” ujarnya sambil tertawa.

Hal lain juga yang tampak berbeda adalah ketika ia menemui para pemilihnya, ia justru mendapat sambutan dengan menyiapkan segala sesuatu untuk kehadirannya. Ia meyakini hal tersebut sebagai suatu praktik yang tidak lazim. Jika seorang caleg mendatangi dapilnya biasanya si caleg telah menyiapkan beragam tawaran yang disiapkan untuk meminang para pemilih agar memilihnya, tidak lari kepada caleg saingannya. Umumnya, para calon pemilih pun bersedia menghadiri kedatangan si caleg dengan perhitungan akan mendapat sesuatu pegangan dari si caleg, sebut saja misalnya minimal atribut si caleg dan partai. Lebih penting lagi adalah uang. Namun, hal itu tidak terjadi pada Haroly.   

“Harusnya kita yang menyiapkan segala sesuatunya kalau berkunjung ke daerah pemilihan kita. Ini berbeda. Justru mereka (pemilih-red) memfasilitasi,” katanya kepada saya.

Haroly mengatakan, selama ini ia sudah dikenal sebagai orang AMAN. Kedatangannya ke komunitas dalam menyampaikan maksud sebagai caleg pun tetap bersama-sama BPH AMAN Wilayah Maluku dan Daerah Aru Kepulauan. Meskipun kini ia datang sebagai caleg, namun Masyarakat Adat yang dikunjunginya lebih menganggapnya sebagai orang AMAN, sebagai saudara.

Masyarakat Adat di komunitas-komunitas di dapilnya mengenalnya tanpa jarak. Ia bersama BPH AMAN Wilayah Maluku kerap mengadvokasi Masyarakat Adat. Selain itu, mereka juga selalu menyempatkan diri mengadakan pendidikan politik, baik dalam bentuk Diskusi Grup Terfokus (FGD) maupun diskusi informal lainnya.

Menurut Haroly, mengadvokasi Masyarakat Adat dalam menolak perusahaan-perusahaan besar tidak cukup hanya menggalang massa. Ia berpendapat, Masyarakat Adat juga harus dibagikan pengalaman tentang politik itu sendiri. Lelaki 31 tahun tersebut menyebut salah satu metodenya adalah pendidikan politik.

“Kita bikin seminar, FGD, diskusi-diskusi kecil. Kita katakan bahwa politik itu hanya sarana untuk merebut kekuasaan. Kemudian kita sampaikan juga bahwa jika kita tidak punya orang di legislatif, kita akan sulit memperjuangkan hak-hak kita,” jelasnya.

Dengan demikian, lanjutnya, mereka berpikir bahwa ternyata apa pun partai politiknya, kita harus punya perwakilan. Dia juga menegaskan, baginya parpol hanyalah perahu, hanyalah sarana yang akan membuat si caleg bertanggung jawab terhadap masyarakat bukan kepada parpol.

Ketika PPP meminangnya untuk maju sebagai caleg, Haroly memilih dapil di Kecamatan Aru Selatan Utara. Dapil ini merupakan lokasi komunitas AMAN yang dia temani dalam mengadvokasi kasus-kasus yang dihadapi Masyarakat Adat. Selain itu, ia juga memegang pertalian keluarga.

Hubungan kekerabatan yang disebut Duang menjadi pengikat antara dirinya dengan dapilnya. Bahkan Muhammad Saifinomai Ainomay, Ketua DPC PPP masih saudaranya. Hubungan kekerabatan ini merupakan salah satu penanda Masyarakat Adat Aru yang mengedepankan kesatuan genealogi dan menepis perbedaan yang melekat dalam badan atau penampilan.

Begitu saya hadir dengan PPP, tuturnya, mereka tidak kaget sebab partai ini sudah terbukti pro terhadap Masyarakat Adat Aru. Di tingkat legislatif sendiri, Perda Masyarakat Adat Kepulauan Aru belum ada, salah satunya karena hanya PPP yang bersuara dan mereka hanya mendapat dua kursi di DPRD Kepulauan Aru. 

*

Haroly Chundrat maju sebagai caleg bukan tanpa misi. Majunya dia jadi caleg sebagai utusan Masyarakat Adat jelas mengemban amanah besar. Ia dan Masyarakat Adat sudah saling memahami keadaan tersebut. Ia meneguhkan langkah untuk tetap fokus pada tujuan kolektif mereka sebagai Masyarakat Adat.

Haroly mengatakan kepada saya bahwa visi yang dia emban dalam pencalegan kali ini ada tiga: adil, sejahtera, dan mandiri. “Yang jelas isu toleransı bukan yang akan saya kedepankan karena masyarakat sudah mempraktikkan itu dalam kehidupannya sehari-hari,” tuturnya.

Tantangan terdepan yang menurut Haroly harus segera dijawab adalah mengenai ketidakadilan yang terjadi. Satu, soal mengambil bagian dalam politik pemerintahan. Ia mencontohkan dengan perbandingan kuota PNS yang didapat orang Aru sendiri jumlahnya dapat dihitung jari. Selebihnya para PNS justru didapat oleh orang pendatang.

“Logikanya kan kalau pemerintahannya di Aru, mayoritas dong yang jadi PNS di sana adalah orang Aru. Misalnya para kepala dinas di Pemkab Kepulauan Aru. Tapi kenyataannya tidak. Bukan karena kita bodoh, tapi karena kita tidak diberikan kesempatan. Kemudian ada beasiswa bagi para pelajar/mahasiswa untuk berkuliah di luar Kepulauan Aru, yang mendapatkan kesempatan itu pun justru anak para pendatang. Masyarakat Adat Aru sendiri tidak. Nah, ini kan tidak adil!,” nadanya kesal.

Ia melanjutkan: kemudian ada juga ketidakadilan dalam bidang ekonomi, misalnya menjual hasil kopra mereka ke pengusaha di kampung dengan harga sangat murah. Para pengusaha kemudian akan menjualnya dengan harga mahal, bisa tujuh sampai sembilan kali lipat dari harga di Maluku, misalnya saat dikirim ke Jawa.

Di sisi lain, para pengusaha pun mendapatkan keringanan pajak dari pemerintah. Dalam usaha perdagangannya, para pengusaha justru tidak membayar pajak yang besar ke Pemkab Kepulauan Aru. Bahkan mereka mau menunda membayar pajak. “Saya tahu itu persis karena kakak saya kerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan mereka data informasi itu. Jadi segalanya tercatat. Itu tidak adil dari sudut ekonomi,” nadanya makin tegas.

Begitu juga dengan hasil-hasil seperti kopra, ikan, telur ikan, dan rumput laut. Harga semua komoditi ini dipermainkan para pengusaha. Pengusaha mempermainkan harga cenderung menurun dari waktu ke waktu, tidak pernah naik. Sifatnya tidak fluktuatif, sehingga arahnya justru terus merugikan nelayan, petani dan secara keseluruhan Masyarakat Adat Aru.

Kalau dulu harga kopra per kilogram Rp 9.000, kini hanya Rp 2.000 per kilogram. “Nah yang mengatur permainan harga itu adalah para pengusaha besar. Pengusaha-pengusaha besar tersebut memiliki saudara di pemerintahan dan partai politik. Bupati dan Ketua DPRD adalah termasuk saudara para pengusaha besar tersebut.”

Ia menambahkan bahwa mereka terkenal sebagai orang maritim yang menghasilkan banyak ikan, namun kadang-kadang bisa enggak ada ikan di kota Dobo. Lucunya, Haroly bilang, tidak ada ikan di pasar tradisional, tapi mereka bisa melihat ada truk lewat membawa banyak ikan dimuat dalam kontainer untuk dibawa ke luar Dobo”.

Praktik kecurangan terjadi di depan mata. Ketidakadilan khususnya dalam bidang ekonomi menganga tanpa seorang anggota DPRD pun yang memprotes. “Saya mengangkat isu ketidakadilan ini dalam pencalegan,” katanya.

Dia menambahkan hal paling mendesak juga adalah adanya ketidakadilan terkait tanah dan hutan. Pemerintah selalu datang dengan pola serupa dengan di daerah-daerah lain yakni merampas tanah adat atas nama pembangunan.

“Makanya ketika kami datang membawa kabar tentang Putusan MK 35 tentang Hutan Adat bukan lagi Hutan Negara, komunitas-komunitas senang sekali. Ternyata selama ini kita ditipu. Namun sekarang mereka sudah berani melawan piha-pihak yang datang mencoba mengelabui Masyarakat Adat dengan alas aturan-aturan dari Kementerian Kehutanan yang lama.”

Dua, kesejahteraan yaitu tadi ada kaitannya di sana, sambung sang pendeta. Bagaimana masyarakat mau sejahtera sedangkan perekonomian pun dimonopoli? APBD Kab. Kepulauan Aru hanya dinikmati penguasa dan pengusaha. Bahkan anggaran dana desa (ADD) sendiri yang harusnya beredar di dalam desa juga sudah dipatok pemerintah kabupaten. Pemkab mengarahkan para kepala desa untuk berbelanja bahan-bahan pembangunan desa ke usaha-usaha milik pengusaha yang juga mitra pemkab.

Tiga, soal kemandirian. “Kita juga tidak mandiri. Buktinya ada UKM-UKM yang dari daerah misalnya, tetapi UKM-UKM tersebut harus mengambil barang dari toko-toko atau CV yang ada di Dobo. Banyak UKM maupun warga tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan usahanya sendiri. Semuanya diatur agar para warga tergantung ke Dobo, ketergantungan kepada para pengusaha. Mereka memelihara keuntungan terus berjalan untuk mereka. Jadi ada ketergantungan terus. Tidak mandiri. sangat menghisap,” jelasnya.

Itulah visi “pelayanannya” selaku caleg yang dia sampaikan kepada saya. Seorang pendeta maju bertarung di dunia politik yang familiar dengan dunianya yang hitam. Haroly, seorang pemuda adat berjuang untuk membawa perjuangan Masyarakat Adat di dapilnya hingga mendapat penghormatan dan pengakuan dari pemerintah, dari negara.

Perihal dia sebagai pendeta, Haroly mengatakan bahwa pilihan tersebut sudah menjadi jalan yang harus ditempuh untuk menunjukkan nubuat-nubuat yang tampak seakan hanya teori dalam kotbah-kotbah Minggu.

“Kebetulan skripsi saya juga tentang Masyarakat Adat. Jadi, dunia teologi sekarang yang lagi nge-tren itu adalah teologi kontekstual. Bagaimana Alkitab menjawab permasalahan lokal. Kearifan-kearifan lokal itu dibahas menjadi sesuatu yang nyambung dengan Alkitab.”

Haroly pun menambahkan bahwa dirinya sudah mendapat pemberkatan dalam konteks ia maju sebagai caleg. Saya ini sudah diberkati di Gereja sama pendeta bahwa saya harus menang, katanya. Jadi orang-orang di sekelilingnya sama-sama mengutus, baik dari lingkungan gereja maupun komunitas AMAN.

*

Perjumpaan langka tersebut berakhir. Bagi saya sosok Haroly Chundrat Darakay, S.Si bukanlah caleg biasa yang asal menumpang ke suatu partai politik. Bukan juga bertujuan untuk mencari sensasi karena seorang pendeta mencaleg dari PPP. Menurut saya ini adalah perjuampaan kebhinnekaan yang bisa terjadi dan bukan suatu kebetulan dengan Masyarakat Adat nusantara.

AMAN selalu mengatakan bahwa realita Bhinneka Tunggal Ika itu adalah Masyarakat Adat. Berbeda-beda tetapi satu juga, tidak hanya menjadi slogan NKRI. Ia ada dan hidup dalam keseharian Masyarakat Adat.

Jakob Siringoringo  

Tinggalkan Balasan