Jokowi-JK Gagal Penuhi Janjinya kepada Masyarakat Adat!

Jokowi-JK Gagal Penuhi Janjinya kepada Masyarakat Adat!

Jakarta (19/12), www.aman.or.id - Senjakala Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Waktu tersisa untuk menuntaskan agenda dalam Nawacita hanya kurang dari satu bulan masa aktif kerja pemerintahan. Terutama menuntaskan komitmen Jokowi dalam mengakui dan melindungi Masyarakat Adat yang termanifestasi dalam beberapa poin Nawacita, yakni, pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa, melaksanakan Putusan MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi.

Harus diakui, enam poin ini sempat jadi simbol politik oleh Presiden Jokowi saat pencalonan pada Pilpres 2014 guna meraih simpati dan dukungan Masyarakat Adat. Hingga menjelang akhir lima tahun pertama, komitmen itu mengalami stagnasi alias minim realisasi. Beberapa kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan beban baru bagi Masyarakat Adat.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dalam acara Seminar dan Lokakarya Advokasi bertajuk Wajah Pemerintahan Jokowi-JK dan Masa Depan Masyarakat Adat mengungkapkan “banyak kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat sangat jauh dari esensinya, salah satu contohnya adalah RUU Masyarakat Adat. Justru, pemerintahlah yang kini berupaya menghambat pengesahan RUU Masyarakat Adat. DIM kini tak kunjung diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR RI. Ibaratnya, sekarang justru Pemerintah yang melempar bola (RUU Masyarakat Adat—red) keluar lapangan. Justru, produk hukum pengakuan Masyarakat Adat lahir dari utusan politik AMAN di legislatif”.

Lebih lanjut, Rukka mengungkapkan bahwa RUU Masyarakat Adat adalah harga mati bagi. “Melalui itulah kami menilai bagaimana kualitas rezim Jokowi selama lima tahun ini”.

Ada empat bukti empirik komitmen Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat dalam Nawacita yang sampai hari ini justru kontradiktif. Pertama, berbagai kasus pelanggaran HAM dialami Masyarakat Adat masih menggantung. Sampai 2018, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mencatat 262 orang dikriminalisasi . Kondisi ini bukti tak terbantahkan dari belum seriusnya pemerintahan Jokowi-JK dalam menyelesaikan masalah hukum dan HAM sebagaimana dijanjikan.

Kedua, target pemerintah mempercepat penetapan status hutan adat sesuai mandat Putusan MK 35/2012 belum tercapai pemerintahan ini dalam komitmen menargetkan penetapan hutan kelola masyarakat termasuk hutan adat 12,6 juta hektar. Sayangnya, hingga kini, untuk hutan adat hanya berhasil menetapkan 27.000–an hektar. Jumlah ini sangat jauh dari target.

Ketiga, belum ada desa adat ditetapkan pemerintah. Dari 133 desa adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah, belum ada satupun mendapatkan registrasi dan kode desa dari Kementerian Dalam Negeri. Hal ini karena tumpang tindih fungsi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Selain itu, Kementerian Desa juga tak memiliki nomenklatur dalam pengaturan desa adat secara jelas hingga terjadi kemandulan dalam mengimplementasikan UU Desa Nomor 6/2014.

Keempat, peraturan perundang-undangan soal Masyarakat Adat masih tumpang tindih dan saling menyandera. Belum mampu menjawab kebutuhan Masyarakat Adat bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan Permen Nomor 8/2018 tentang pedoman pengakuan Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara substantif sama dengan Permendagri 52/2014. Peraturan ini khawatir akan mengalami tumpang tindih proses dan berujung kemandulan dalam implementasi.

Empat poin di atas adalah bukti bahwa rezim ini belum serius mengakui dan melindungi kedaulatan Masyarakat Adat.

Gerakan Masyarakat Adat: Kita adalah Jalan Utama, Bukan Alternatif!

Pelaksanaan Pemilu 2019 semakin dekat, Gerakan Masyarakat Adat harus dipandang sebagai gerakan politik ideologis. Dengan wajah rezim yang masih buram dalam beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa Masyarakat Adat perlu memperluas partisipasi politiknya. Masyarakat Adat harus terlibat dalam pengambilan-pengambilan keputusan penting di dalam ruang politik.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi juga menambahkan bahwa “Gerakan Masyarakat Adat adalah jalan utama, bukan alternatif. Kita perlu mengorganisir komunitas menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan. Perjuangan kita tidak hanya sekadar persoalan Pilpres 2019, melainkan kita perlu mendorong negara mengakui kedaulatan permanen Masyarakat Adat yang telah melekat bahkan sebelum negara ini lahir”.

Bagi AMAN, pemilu bukan perebutan kekuasaan semata, tapi ke arah mana AMAN akan melangkah. “Kita sudah tahu, tanpa berpolitik tidak mungkin mempengaruhi kebijakan publik, karena tidak akan ada perubahan sistematik di dalam Masyarakat Adat kalau Masyarakat Adat tidak terorganisir di dalam kekuatan politik,” tutupnya.

Yayan Hidayat

Tinggalkan Balasan