AMAN, 1 Oktober 2014. Hari ini (1/10) Inkuiri Adat Region Kalimantan mengagendakan mendengarkan kesaksian. Salah satu kesaksian itu dari Masyarakat Adat Dayak Iban.
Ilfinda, perempuan Dayak Iban, bendahara Desa Semunying Jaya. Dia memberikan kesaksian bagaimana perempuan Dayak Iban bergantung pada lahan dan hutan. “Kami memerlukan hutan, ladang, sawah dan kebun. Kami keturunan keempat jampung yang merintis tempat kami, ” ungkap Ilfinda, seperti ditulis oleh Siti Maemunah, Badan Pengurus Jatam dan Peneliti Sajogyo Institute, di media sosial hari ini (1/10), “Saya ingat persis saat hutan masih lebat, banyak kayu berharga, seperti tengkawang, tahun 1997 desa Semunying banyak menghasilkan tengkawang, juga durian, rambutan belimbing hutan semua ada di sana, juga Gaharu. Saya juga ikut mencari kayu Gaharu. Kami juga mencari rotan. “
Tapi, lanjutnya, kini semuanya sudah habis tergusur oleh PT Ledo Lestari. ” Pada 2010, ada 20 rumah dan satu gereja diratakan dengan tanah dan penghuninya digusur perusahaan sawit itu,” jelasnya.
Sementara, kesaksisan lainnya datang dari Abu, seorang laki-laki Dayak Iban. “Jika kami menebang pohon di hutan untuk rumah, tanpa memberi tahu, maka kami secara adat dihukum, harus membayar hingga Rp 300 ribu,” ungkap Abu, “Tapi jika perusahaan yang menebang berpuluh hektar, dan masyarakat adat berupaya menghentikannya, maka kriminalisasi yang didapat.”
Dayak Iban di Semunying Jaya Kalimantan Barat digusur perusahaan sawit PT Ledo Lestari. Di masa lalu, dayak Iban pernah menghadap Soekarno dan menyatakan bergabung dengan Indonesia, Sokarno menerima dengan senang hati. Dayak Iban berjasa membantu TNI menghadapi Malaysia dan gerakan Separatis Paraku. Tapi kini, pemerintah bergandengan dengan korporasi membabat hutan adat dan mengkriminalisasi orang-orang dayak iban di Semunying Jaya. Pemerintah mengkhianati Dayak Iban. Ini kasus kasus pertama Inkuiri adat region Kalimantan