Jakarta 20/04/2018, Memasuki tahun politik, praktik korupsi sumber daya alam di wilayah adat terutama terkait dengan kolusi perizinan sampai penyelewengan penerimaan negara, semakin marak. Tercatat 7.180 IUP atau 82,4% dari total 8.710 IUP di Indonesia berada di 171 wilayah yang menyelenggarakan Pilkada 2018. Sebanyak 4.290 IUP berada di 17 Provinsi Pilkada atau 49,2% dari seluruh IUP di Indonesia. Ribuan izin tambang ini berpotensi menjadi sumber pembiayaan politik bagi para kandidat pada Pilkada Serentak 2018.
Sebagaimana yang terjadi atas wilayah Masyarakat Adat di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, saat ini mereka terancam kehilangan wilayah adat mereka akibat rencana pembangunan PLTA dan 10 IUP yang mengantri untuk masuk dan mengeksploitasi kekayaan alam yang terkandung di bawahnya. Apalagi saat ini Seko sedang menghadapi kontestasi pemilihan gubernur Sulawesi Selatan 2018, dikhawatirkan akan memunculkan indikasi korupsi sumber daya alam jika kemudian tidak dilakukan pengawasan.
Sebagai contoh Korupsi SDA dalam proses Pilkada adalah kasus pencaplokan wilayah adat di Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang terjadi dibalik kasus korupsi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar adalah salah satu bukti bahwa korupsi sumber daya alam rentan terjadi dalam proses Pilkada. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan bahwa Akil sedikitnya menikmati Rp 57 miliar dari praktik “penjualan jasa” memenangkan sengketa pemilihan umum yang dilakukan oleh Hambit salah satu incumbent dalam pemilihan bupati di Gunung Mas. KPK menemukan sumber uang yang dipakai untuk menyuap Akil adalah melalui serangkaian kesepakatan bisnis untuk perkebunan sawit selama sembilan bulan menjelang pemilihan. Kesepakatan ini mencakup areal lahan hampir sama dengan luas Jakarta, mencakup hutan-hutan terbaik yang tersisa di Kalimantan Tengah. Akibat Kesepakatan bisnis tersebut membuat Masyarakat Adat di Gunung Mas kehilangan wilayah adat dan ruang hidupnya.
Penulis :
Yayan Hidayat
Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat AMAN