Kesempatan Bagi Pemerintah Indonesia Untuk Memperbaiki Diri

Kesempatan Bagi Pemerintah Indonesia Untuk Memperbaiki Diri

Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Terus Meningkat

Jakarta 27 Januari 2014. “Akan banyak sekali yang bisa kita benahi di republik ini kalau Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 kita laksanakan dengan konsisten. DPR RI juga telah membuat satu Inisiatif  Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat adat. Satu kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan di masa lalu. Mudah-mudahan tahun ini kita bisa melihat DPR dan pemerintah bersama-sama mengesahkan RUU PPHMHA ,” ujar Sekjen AMAN Abdon dalam sambutannya membuka acara Konferensi Pers,” Catatan Awal Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),” diselenggarakan oleh Inter Matrix tanggal 27 Januari 2014 di  Bloeming Caffe, Jln Jenderal Sudirman, Jakarta.

Pembicara dalam acara konferensi pers ini disamping Abdon Nababan Sekjen AMAN juga menghadirkan Sandra Moniaga-Komnas HAM, Noer Fauzi Rachman-Sajogyo Institute, Danang Widoyoko-Indonesia Corruption Watch (ICW), Achmad Sodiki-mantan Hakim Mahkamah Konstitusi dan Moderator, Wimar Witoelar-Yayasan Perspektif Baru.

“Tahun berganti tahun, hutan tetap hutan, tidak tahu berapa lama hutan itu akan bertahan, apalagi kapan hutan itu akan kembali menemui sejarahnya yang jaya. Tapi kita tahu dengan adanya AMAN harapan itu tidak pernah punah. Tahun 2013 harapan itu makin kuat. Respons masyarakat, respons Mahkamah Konstitusi, respons dunia Internasional semua memberikan harapan. Tetapi hambatan-hambatan ada saja di sekitar kita,”kata Wimar Witoelar menghantar acara.

“Tahun 2013 masih menjadi tahun kekerasan terhadap masyarakat adat berkaitan dengan adanya konflik dan sengketa di lapangan. Tahun 2013 juga menjadi tonggak sejarah, mestinya ke depan menjadi landasan bagi hubungan-relasi, antara masyarakat adat dengan negaranya sendiri. Berkait dengan Putusan MK No 35/ PUU-X/2012 dan keluarnya rancangan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai hak inisiatif DPR RI yang sudah diserahkan kepada presiden. Seharusnya sudah sejak tahun lalu dibahas, tapi sayang sampai berlangsungnya konferensi pers ini, pembahasan pemerintah dan DPR terkait dengan RUU Masyarakat Adat tidak terjadi,” papar Nababan lebih jauh.

Abdon Nababan juga menyampaikan bagaimana masyarakat adat menyambut Putusan MK tersebut, antara lain masuknya usulan legislasi di beberapa kabupaten. Salah satu yang sudah selesai adalah Peraturan Daerah Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau, Provinsi Kal-Tara, tentang Kelembagaan Adat dan Perlindungan Lahan Pangan Pertanian Potensial Masyarakat adat.

Masyarakat adat turun ke lapangan memberikan tanda mana saja batas-batas hutan adat dan hutan negara menurut sejarah mereka. Gerakan ini terkenal dengan Plangisasi, dimaksudkan untuk membantu pemerintah supaya cepat memprosesnya. Wilayah adat yang selama ini sudah rusak itu juga direhabilitasi. Mempercepat pemetaan wilayah adat dalam rangka menyambut Putusan MK juga disambut baik oleh kawan-kawan lembaga non pemerintah.

AMAN juga menggalang Petisi 35 juta tanda tangan untuk mendukung Putusan MK. Para pemuda-pemuda adat bergerak dari kampung ke kampung untuk mengumpulkan tanda tangan.  “Kami mensosialisasikan dan sekaligus mendorong setiap pemerintah kabupaten, supaya menyambut Putusan MK No 35 ini dengan legislasi daerah. Putusan MK itu justru ditanggapi Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan surat edaran yang isinya bertentangan dengan Amar Putusan MK. Permenhut P 44 direvisi menjadi P 62 semangat dan substansinya juga berbeda dengan semangat dan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi,” pungkas Sekjen AMAN.

Sementara itu Sandra Moniaga menyoroti hak-hak masyarakat adat yang sudah ada dalam UUPA tahun 1960. Tapi mengapa mesti 39 tahun diabaikan,” ujar Sandra. “Hal ini menambah kekacauan ketika UU 41 tahun 1999 ditetapkan. Beberapa pasal dalam perundang-undangan terkait masyarakat adat sebenarnya kurang mengakomodir sistem penguasaan wilayah,” papar Sandra Moniaga.

Pada sisi lain Noer Fauzi Rachman mengatakan Presiden SBY telah menghilangkan kesempatannya untuk menyelesaikan masalah pemulihan hak-hak masyarakat adat.  Masyarakat Adat sudah harus bersiap-siap dan bekerja lebih keras, karena untuk mendapakan pemulihan bahwa masyarakat adat itu pemilik wilayah adatnya, jalannya akan terjal dan mendaki, meski statusnya sebagai subyek hukum tersendiri dan penyandang hak-hak lainnya,” kata Noer Fauzi Rachman.

Danang Widoyoko dari ICW berpendapat ada satu hal penting ketika kita bicara tentang masyarakat adat, yaitu diskriminasi yang luar biasa. Dari sisi penegakan hukum, kalau kita lihat di berbagai kasus korupsi di kehutanan dan sumber daya alam. “Seringkali  justru masyarakat yang dikriminalkan, korporasinya tidak bisa terjerat hukum oleh KPK. Kalau  KPK bisa kreatif, perusahaan bisa dijerat atau diambil alih kepemilikannya,” papar Danang Widoyoko.

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki mengatakan,” dalam hal ini hukum harus berpihak, pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Tetapi dalam realisasinya ada kepentingan yang bertentangan di satu pihak dengan pihak yang lain. Dengan berpihak kepada mereka yang kurang beruntung, mereka yang tergusur, mereka yang sejak jaman sebelum merdeka sudah ada di situ nenek moyangnya. Belanda saja melindungi dia, mengapa pemerintah yang sudah merdeka justru tidak melindungi masyarakat adat? Demikianlah konsep dalam Putusan MK No 35. Achmad Sodiki juga menyarankan agar memantau pelaksanaan Putusan MK No 35 dilapangan dan membawanya ke Mahkamah Agung. JLG ****

Tinggalkan Balasan