Pernyataan Sikap AMAN tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

Pernyataan Sikap AMAN tentang Pengukuhan Kawasan Hutan

Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
terhadap
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.62/MENHUT-11/2013
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/MENHUT-II/2012
tentang PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN


A. Pengantar

Pada tanggal 15 November 2013 yang lalu Menteri Kehutanan Republik Indonesia menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.62/Menhut-II/2013 – yang selanjutnya dalam Pernyataan Sikap ini disebut dengan P.62 – tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Pemerintah kemudian mengundangkan P.62 pada tanggal 19 November 2013. Harus diakui bahwa response hukum pemerintah berupa kebijakan semacam ini memang ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) karena dipandang sebagai sebuah ketentuan yang bersifat bertentangan dengan konstitusi dan karenanya pasal 1 angka 6 UU Kehutanan tersebut harus dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun, apa yang terjadi? P.62 ini malah menjauhkan masyarakat adat dari harapan atas pelaksanaan putusan MK 35/2012 yang lebih menjanjikan kesejahteraan bagi mereka. P.62 ini bahkan semakin menunjukkan arogansi pemerintah yang dengan begitu gamblang hendak menelikung putusan MK 35/2012 dengan beberapa kekeliruan yang tidak akan mudah terbaca oleh orang yang awam dengan masalah-masalah hukum. Di samping itu, P.62 tersebut semakin menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak akan patuh pada koreksi apapun yang berdampak pada pengurangan hak dan kewenangannya dalam sektor kehutanan.

Pernyataan sikap ini dibuat untuk menyikapi P.62 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Oleh karenanya, selain putusan MK 35/2012 mengenai hutan adat, pernyataan sikap ini juga akan melihat putusan MK 45/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan sebagai alat untuk melihat di mana saja kekeliruan dan kesalahan dari P.62 tersebut. Penggunaan dua putusan MK tersebut disebabkan karena keduanya sangat berhubungan.


B. Kesalahan-kesalahan fatal yang terkandung di dalam P.62

1. Mengingkari status masyarakat adat sebagai subjek hukum

Pasal 1 ayat (17) dalam P.62 menyebutkan bahwa inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga adalah pengumpulan data kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh orang perorangan atau badan hukum yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam kawasan hutan dan kegiatan orientasi/peninjauan lapangan untuk mengetahui adanya hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang rencana proyeksi batas. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (18) P. 62 menyatakan sebagai berikut: “Hak-hak pihak ketiga atau hak-hak atas lahan/tanah adalah hak-hak yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum berupa pemilikan atau penguasaan atas tanah yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Kedua ketentuan tersebut dengan jelas tidak mencantumkan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam kategori “pihak ketiga”. Hal ini tentu saja melanggar putusan MK 35/2012. Mengenai legalitas masyarakat adat sebagai subjek hukum atas hutan adat dinayatakan oleh MK dalam pertimbangan hukumnya sebagai berikut: ” …Dalam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai ―penyandang hak yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum….Kedua ketentuan tersebut hanya mencantumkan individu dan badan hukum. Ini jelas pengingkaran yang luar biasa terhadap putusan MK 35/2012 terkait dengan status masyarakat adat sebagai subjek hukum yang menyandang hak atas hutan adat di dalam kawasan hutan. Padahal dengan putusan MK 35/2012, individu, badan hukum dan masyarakat adat merupakan subjek hukum-subjek hukum yang memiliki hak atas bagian tertentu dari kawasan hutan yang oleh UU Kehutanan dikategorikan sebagai “hutan hak”. Masuknya masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas hutan adat di dalam kawasan hutan disebabkan karena “hutan hak” melalui putusan MK 35/2012 sebagaimana disebutkan di atas telah dikeluarkan dari kategori hutan negara dan masuk ke dalam hutan hak. Oleh karena itu, kedudukan hutan adat, hutan miliki individu dan hutan yang dimiliki oleh badan hukum adalah sejajar. Dan karenanya maka mengecualikan masyarakat adat dari pengaturan pasal 1 ayat (17) dan pasal 1 ayat (18) dari P.62 adalah ketentuan yang tidak dapat diterima secara hukum.

2. Mengabaikan putusan MK 45/2011 yang mengkoreksi aturan tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan

P. 62 sudah sejak dini menyatakan bahwa pada tahap penunjukan kawasan hutan, status kawasan hutan sudahlah pasti sehingga tidak boleh lagi diakses maupun diklaim tanpa persetujuan Kementerian Kehutanan. Hal ini berarti status kawasan hutan sebagai obyek hutan negara sudah dianggap sah pada tahap penunjukan kawasan. Kementerian Kehutanan memanipulasi makna Pasal 81 UU No. 41/1999 yang berbunyi bahwa: “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.” Kementerian Kehutanan beranggapan bahwa semua tanah-tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan sebagai kawasan hutan sebelum Putusan MK45 hendak dipersamakan sebagai kawasan hutan definitif yang telah ditetapkan. Bila upaya manipulasi ini diterima, maka tidak lagi diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan sampai pemerintah membuat penunjukan baru terhadap tanah-tanah yang akan dijadikan sebagai kawasan hutan. Artinya, sama sekali tidak ada peluang bagi hutan adat.

3. P. 62 Membatasi Bukti Klaim atas Hak

P 62 menyatakan bahwa pihak ketiga yang mengklaim hak harus menunjukan tiga bukti yakni adanya permukiman, fasilitas umum (fasum), fasilitas sosial (fasos) yang berdasarkan sejarah keberadaannya sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah penunjukan kawasan hutan. Namun tidak begitu jelas apakah keberadaan tiga kategori bukti ini dengan sendirinya berimplikasi pada pengakuan atas bundelan hak yang tidak tertulis. Misalnya, pengakuan atas adanya bukti permukiman, fasum dan fasos dengan sendirinya merupakan pengakuan atas hak-hak lainnya, antara lain hak atas sawah, ladang, pohon, buah-buahan, dan seterusnya. Ketidakjelasan ini bisa saja menimbulkan kemungkinan lain, yakni pengakuan atas ketiga bukti hak di atas tidak dengan sendirinya berarti pengakuan atas kumpulan hak lainnya. Di samping itu, pembatasan bukti klaim hak hanya pada tiga kategori di atas sudah mengurangi klaim hak dari kelompok masyarakat adat yang tidak selalu mempunyai ketiga kategori tersebut.

4. Syarat Berganda Pengakuan Hutan Adat

Kriteria pengakuan atas penguasaan fisik hutan adat pasca penunjukan kawasan hutan ditetapkan dengan menggunakan tiga syarat kumulatif, yakni: (1) telah ditetapkan dalam Perda, dan (2) tercatat pada statistik Desa/Kecamatan, dan (3) penduduk di atas 10 (sepuluh) Kepala Keluarga dan terdiri dari minimal 10 (sepuluh) rumah. Penggunaan kata “dan” menunjukan syarat pengakuan hutan adat merupakan syarat kumulatif. Hal ini berarti P. 62 mengingkari Putusan MK yang hanya menetapkan syarat konstitusional sebagai basis pengakuan hutan adat. P. 62 juga menggunakan syarat teknis untuk membatasi hak. Pembatasan ini melanggar prinsip dasar hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945 bahwa pembatasan terhadap hak hanya mungkin terjadi bila berkaitan dengan hak pihak lain.

5. P.62 Melestarikan Cara Pandang Yang Salah Mengenai Kawasan dan Hutan Negara dengan Mempersamakan Keduanya

P. 62 menegaskan sikap pemerintah yang tidak paham dengan konstruksi hukum mengenai kawasan hutan apalagi konstruksi hak atas kawasan hutan dalam UU Kehutanan pasca putusan MK 35/2012. Perlu dijelaskan bahwa setelah beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan dinyatakan batal karena inkonstitusional maka sejak saat itu membaca UU Kehutanan tidaklah sama lagi, meskipun UU Kehutanan itu sendiri belum direvisi. Ketidakpahaman pemerintah mengenai hal itu terlihat jelas dari P. 62 yang menyamakan kawasan hutan dengan hutan negara. Hal itu tergambar pada Pasal 24 A angka 3 P.62 yang menyatakan bahwa “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan”. Ketentuan ini menggambarkan ketidakpahaman pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan itu sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan kawasan hutan dan apa saja kategori hak di atas kawasan hutan tersebut berdasarkan UU Kehutanan pasca putusan MK 35/2012. Putusan MK 35/2012 jelas menunjukan bahwa terdapat dua kategori hutan dalam kawasan hutan, yaitu hutan negara dan hutan hak. Jika sebelumnya hutan adat dimasukkan ke dalam kategori hutan negara maka setelah putusan MK 35/2012 hutan adat tersebut dikeluarkan dari hutan negara dan dimasukkan ke dalam kategori hutan yang lain, yaitu hutan hak, tetapi tetap dalam kawasan hutan.

6. P.62 Berpotensi pada Semakin Menguatnya Ego Sektor Kehutanan dalam Penyusunan Legislasi Daerah

Pasal 24A dari P. 62 menyatakan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Ketentuan ini memang merupakan konsekuensi dari putusan MK yang menolak permohonan untuk membatalkan keberadaan Peraturan Daerah sebagai syarat hukum dari keberadaan masyarakat adat. Namun demikian, permasalahan akut terkait dengan hal ini adalah kapasitas pemahaman sebagian besar dari Pemerintah Daerah (bahkan Pemerintah Pusat) mengenai bagaimana seharusnya pengaturan masyarakat adat sangat minim. Itulah sebabnya, saat ini di beberapa daerah sedang digagas legislasi daerah yang keliru memahami arah pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kekeliruan tersebut sangat kentara dari cara pandang yang melihat UU Kehutanan sebagai satu-satunya dasar hukum dari penyusunan Peraturan Daerah tentang pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Cara pandang ini keliru karena melihat masyarakat adat dari satu aspek, yaitu aspek kehutanan. Padahal secara nasional Indonesia sudah memiliki beberapa undang-undang terkait masyarakat adat yang bersama-sama dengan UU Kehutanan harus dijadikan sebagai dasar hukum dalam penyusunan Peraturan Daerah ini. Sebut saja UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Hak Asasi Manusia, UU Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, dan UU Pemerintahan Daerah. Jika salah pandang ini diteruskan maka pengaturan masyarakat adat dalam hukum tidak akan pernah keluar dari persoalan lama, yaitu persoalan pengaturan yang parsial dan karenanya pelaksanaan hukum juga akan sangat bias sektoral.


C. Tuntutan AMAN

Dengan berbagai permasalahan hukum sebagaimana diuraikan di atas, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang merupakan organisasi tempat berhimpunnya 2253 komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara, mengambil sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengambil langkah-langkah yang konstruktif, baik secara hukum maupun politik untuk segera menjalankan putusan MK 35/2012 yang memberikan jaminan kepada masyarakat adat untuk menikmati hak-hak mereka atas wilayah adat termasuk hutan adat,
  2. Mendesak Presiden untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat adat yang sedang menuntut hak-hak nya atas wilayah adat termasuk hutan adat,
  3. Mendesak Presiden untuk memerintahkan kementerian dan lembaga terkait dengan urusan masyarakat adat (Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan) untuk segera berkoordinasi dalam rangka menyusun kerangka hukum yang benar yang mencerminkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat,
  4. Mendesak Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan untuk segera mencabut P. 62 karena dibuat dengan tidak memperhatikan putusan MK 35/2012 tentang Hutan Adat dan putusan MK 45/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan,
  5. Mendesak Kementerian Kehutanan dan Badan Negara terkait membuat suatu panduan mengenai pelaksanaan putusan MK 35/2012. Desakan ini penting karena di lapangan putusan MK 35/2012 dimaknai secara berbeda-beda di tiap-tiap daerah.
  6. Mendesak Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia untuk segera menyusun peraturan daerah dalam rangka mengakui dan melindungi masyarakat adat yang meletakkan UU HAM, UU Pemerintah Daerah, UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya sebagai dasar hukum dari Peraturan Daerah yang harus disusun tersebut.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi perhatian serius Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai bagian dari usaha kita bersama dalam mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.

 

Jakarta, 21 Januari 2014
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

____

12 Komentar


  1. Dear Admin,

    Tolong ini tulisannya diperbaiki dulu. Ada beberapa istilah teknis yang bisa mengarah pada kesalahan pemahaman. Misalnya saja pada poin 1 dituliskan bahwa “Pasal 17 P.62 menyatakan..bla..bla..”. Padahal ini bukan pasal 17 melainkan Pasal 1 “angka 17”. begitu juga paragraf selanjutnya menyatakan pasal 18. Padahal yang dimaksud adalah pasal 1 angka 18. Ketika ini dibaca menjadi pasal 17 / 18, orang akan bingung dibuatnya. Ini kesalahan teknis yang menurut saya sangat berbahaya dan membingungkan. Mohon di cek kembali keseluruhan artikelnya dan dipastikan secara penulisan sudah benar.


  2. Setelah membaca lengkap, saya punya beberapa komentar.

    1. Catatan terhadap poin 1
    Ketentuan pasal 1 angka 17 & 18 memang tidak secara eksplisit menyebut Masyarakat hukum adat, namun ini dapat dipahami. Karena definisi ini tidak lah mengatur mengenai “hak adat” namun lebih kepada hak pihak ketiga yang kemungkinan bukan masyarakat hukum adat, tapi misalnya masyarakat tempatan (transmigran) atau yang lainnya. Namun bukan berarti masyarakat hukum adat menjadi tidak diakui keberadaannya. PP 27 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pembuktian hak lama dapat dilakukan tanpa bukti tertulis. Ketentuan tersebut juga diatur dalam P.62/20013.

    2. Catatan terhadap poin 2
    Pemahaman ini terlalu terburu-buru, karena putusan MK 45 jo. Pasal 81 UU 41/1999 hendak meletakkan fondasi awal kejelasan kawasan hutan. Artinya, penunjukan yang telah dilakukan sebelum putusan MK 45 adalah kawasan hutan dengan status “penunjukan” yang merupakan awal dari keseluruhan proses pengukuhan kawasan hutan. Dimana di dalam proses pengukuhan kawasan hutan tersebut adalah peluang yang sangat besar untuk memperjuangkan hutan adat. Namun demikian, proses pengukuhan kawasan hutan yang perlu diingat bukanlah proses pengukuhan yang selama ini dilakukan. Perlu juga dipertimbangkan berbagai upaya pembaruan proses pengukuhan yang sedang dilakukan sejauh ini (Satgas REDD+, NKB 12 Kementrian, dll). Artinya, kalimat :

    “…sejak dini menyatakan bahwa pada tahap penunjukan kawasan hutan, status kawasan hutan sudahlah pasti sehingga tidak boleh lagi diakses maupun diklaim tanpa persetujuan Kementerian Kehutanan..”

    Terlalu cepat menyimpulkan suatu hal dan bersifat asumsi. Karena tidak ada pasal di dalam P.62 yang menyatakan demikian. Ketika AMAN beranggapan demikian, dikhawatirkan ini juga yang akan dipahami oleh masyarakat luas dan bahkan Kemhut.

    3. Catatan untuk poin 3
    Ini menjadi sebuah pertanyaan, apakah yang paling bisa menjadi bukti kuat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat? Karena ini penting untuk memisahkan antara “makelar tanah” dan masyarakat hukum adat. Tidak bisa menutup mata bahwa selama ini terdapat banyak sekali praktek penguasaan tanah yang diperuntukan hanya untuk kepentingan segelintir orang. Apakah peta wilayah adat dapat menjadi solusi? Apakah keberadaan hukum adat juga bisa jadi solusi? Ini menjadi pertanyaan bersama yang juga perlu untuk dijawab bersama.

    Selebihnya, saya sangat sepakat dengan sikap AMAN.


    1. Kang Jojo, terimakasih sudah menginformasikan ini “PP 27 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pembuktian hak lama dapat dilakukan tanpa bukti tertulis. Ketentuan tersebut juga diatur dalam P.62/20013.”. Boleh saya tahu di bagian mana dalam P.62 yang menyatakan pembuktian tanpa bukti tertulis ini? Ini keren karena inilah salah satu biang kerok kekalahan masyarakat adat di pengadilan!
      Soal poin 2 itu apakah kesimpulan AMAN terburu-buru? Memang demikian isi P.62 itu dan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat saat ini terjadi di kawasan hutan yg masih penunjukan. Artinya, itu bukan asumsi tetapi fakta di lapangan.
      Untuk poin 3, tentu saja peta wilayah adat yang dicatat/diregister oleh Negara secara resmi lengkap dengan pemegang/pemilik/pemangku haknya akan menutup ruang bagi penguasaan tanah oleh segelintir elit. Praktek ‘jual-beli’ tanah adat selama ini terjadi karena status hukum dari tanah di wilayah adat dibiarkan kabur (tidak jelas). Wilayah adat dibiarkan remang-remang yang mendorong orang terangsang berbuat maksiat


  3. Komentar jojo ini perlu ditanggapi rekan-rekan AMAN di Sekpel maupun anggota AMAN. Pertama komentar ini menjadi refleksi kritis perlu diperiksa di lapangan. Catatan nomor 2, misalnya. Apakah memang benar seperti yang dikatakan Jojo bahwa penunjukan yang dimaksud dalam regim kehutanan, hanya asumsi saja, bukan sesuatu yang nyata. Setau saya, jauh sebelum P. 62, pada kenyataannya penunjukan dianggap sama dengan penetapan. Hal ini diperkuat oleh P.62. Mengapa P. 62 memperkuat ? karena hampir semua pasal P.62 merujuk ke konsep penunjukan sebagai suatu tahapan/titik dimana pihak ketiga mengklarifikasi bukti penguasaan hutan. Apa artinya buat hak masyarakat adat? Menurut saya, itu suatu konstruksi hukum bahwa P.62 menganggap penunjukan sebagai tahap yang diasumsikan sah sebelum dibuktikan sebaliknya. Lalu apa gunanya tahapan berikut (penataan batas dan pemetaan) jika bukti HARUS sudah disediakan sebelum penunjukan? Coba baca baik-baik bunyi pasal 24 ayat 2: “Pembuktian hak-hak pihak ketiga secara tertulis ditunjukkan dengan adanya bukti yang diperoleh sebelum penunjukan kawasan hutan”. Kenapa rujukannya justru “penunjukan kawasan hutan” Bukankah penunjukan kawasan hutan sebagian besarnya adalah proses yang cacat hukum/historis, seperti yang muncul dalam pertimbangan hukum MK dalam Putusan 45/2011 dan bahkan muncul pula dalam MK 35/2012…Mengapa rujukannya tidak berbasis pada bukti hak saja. Dan bukti hak itu yang diklarifikasi melalui proses bottom up.


      1. Menurutku pandangan Jojo ada benarnya, P.62 mengatur “kawasan hutan negara” dengan asumsi hutan adat tidak masuk dalam kawasan hutan yang P.62 atur. Tetapi kalau merujuk pada pasal2 selanjutnya, agak membingungkan juga karena yg mau di atur dalam P.62 ini adalah seluruh kawasan hutan yg “pernah” mendapat penunjukan.
        ada ambiguitas dan inkonsistensi dari Permenhut P.62 ini sehingga tidak salah kalau AMAN berpendapat Permenhut P.62 ini merugikan masyarakat adat.
        Disisi lain, kriminalisasi masyarakat adat/lokal yang dianggap secara illegal beraktivitas diatas kawasan hutan yg telah ditunjuk sebagai kawasan hutan terjadi dimana-mana, tetapi berbeda kalau itu dilakukan oleh perusahaan dg alasan telah diberikan ijin atau tdk ada kewenangan kemenhut mengambil tindakan hukum diatas kawasan yang belum memiliki keputusan hukum tetap.
        Kalau kawasan yg belum dikukuhkan, maka seharusnya tdk boleh dibebani hak. Dengan demikian, ijin yg diberikan di atas kawasan yang belum dikukuhkan adalah illegal sehingga seharusnya tindakan hukum tidak hanya diberikan kepada pelaku dilapangan tetapi juga kepada si pemberi ijin.


  4. Kawan, maaf baru baca lagi web ini selagi tulis laporan bulanan..he..he..he…ada baiknya kalau misalkan ada reply diberitahukan lewat email. Biar mantap.

    Ok, aku tidak akan mendebat antara hukum dan fakta. Karena itu suatu hal yang akan sangat sia-sia di alam Indonesia yang tidak jelas ini antara hukum dan implementasi. Tapi tampaknya penting untuk mengedepankan dan memisahkan antara “Norma” dan “fakta”. Secara faktual, saya sama sekali tidak mampu membantah pendapat bang Abdon yang menyatakan bahwa fakta masyarakat adat telah dikriminalisasi akibat penunjukan. Itu benar, dan memang terjadi. Darah yang tumpah bukan isapan jempol, amisnya pun nyata.

    Tapi sekarang kalau kita mau lihat ke Norma (kita tutup mata dulu sama prakteknya), supaya tidak tercampur aduk dan kita bisa tau bagaimana strategi penyelesaiannya. Untuk strategi, tidak elok kita bicara pada forum terbuka ini, itu sama saja membuka “aurat” di depan umum. Tapi baiklah, saya coba uraikan dulu unsur-unsurnya secara normatif..sekali lagi Normatif.

    1. Pasal mana dalam P.62 yang menyatakan adanya bukti tidak tertulis?

    Perlu kita pahami bahwa P.62 tidak serta merta menghapuskan P.44 (sebelumnya). Kenapa? karena memang hanya sebagian pasal saja yang dirubah oleh P.62, sehingga sisa pengaturan di P.44 masih berlaku. Oleh karena itu, silahkan Bang Abdon rujuk ke pasal 24 ayat (1). Disitu jelas dinyatakan bahwa “..Bukti-bukti hak pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat berbentuk tertulis atau tidak tertulis.” di ayat (6) berikutnya disebutkan juga bahwa apa saja yang bisa menjadi bukti tidak tertulis tersebut.

    Masih sumir atau tidak jelas? ya, tentu saja. Saya bisa pahami itu, oleh karena itu sekarang Kemenhut terus didorong untuk membuat yang namanya Perdirjen Penyelesaian Hak-hak pihak ketiga. Ini yang akan menjadi sebuah pedoman penyelesaian sengketa nantinya, apa saja bukti yang bisa digunakan, apakah pohon kesemek milik moyang kita dulu bisa dijadikan bukti, dll. Jadi secara normatif, ini jelas bang.

    2. Apakah penunjukan kawasan hutan sudah berkekuatan hukum tetap? karena faktanya banyak komunitas ditangkap akibat penunjukan ini?

    Lagi-lagi, secara normatif jawabannya singkat dan padat bang, yaitu “TIDAK”. Mau berdebat sama lawyer yang kelas ratusan juta sampe yang level ratusan ribu rupiah juga saya berani. Kenapa? karena putusan MK sudah jelas menyatakan bahwa untuk mendapatkan kepastian hukum tetap, semua harus melalui pengukuhan. Dimana proses pengukuhan “dimulai” dengan penunjukan.

    Nah sedikit saya harus singgung tentang kapasitas dari staf / aparat kemhut tentang ini. Karena memang bukan sering lagi tapi selalu saja mereka tidak mengerti konsekuensi hukum dari “kitab” mereka sendiri. Dan mereka menganggap bahwa penunjukan itu sudah sah untuk dijadikan kawasan hutan. Itu pemahaman yang salah dan boleh lah kalau ada yang bisa membantah (secara normatif) saya berani tunjukan semua dalil hukumnya. Karena jelas di depan mata. (tapi nanti saja kalau tidak di ruang publik ya bang).

    Jadi, doa saya tercurah buat para kawan-kawan warga yang terkriminalkan akibat pemahaman salah aparat negara ini. Kalau mengandaikan hukum adalah sebuah bilah yang tajam, maka yang memegangnya pun harus bijak dan pandai. Ini akibatnya ketika pisau tajam itu dipegang oleh sebagian besar PNS yang lebih banyak mengejar kenikmatan dunia dan sedikit berpikir tentang tanggung jawab melayani.

    3. Setuju dengan penjelasan abang untuk wilayah adat itu, sama seperti diskusi empat mata kita beberapa waktu lalu di Rumah AMAN. Saya selalu ingat pelajaran hari itu bang. Tapi, informasi itu yang belum pernah sampai ke pengambil keputusan lain, dan terus menerus jadi pertanyaan. Menurutku AMAN perlu segera “go public” untuk konsep pemetaan ini, dan harus segera diperjelas. Contoh saja, demi meluruskan pemahaman, aku pernah mencegat salah seorang pejabat kemhut (yang pasti abang kenal lah) untuk menjelaskan wilayah adat ini. Panjang x Lebar aku jelasin, berbusa mulut, dan akhirnya dia paham dan sejalan kita. Tapi pertanyaan yang belum bisa aku jawab adalah pertanyaan dia tentang “bagaimana dengan daerah dengan otonomi khusus seperti Papua dan Aceh?”..gubraks, selesai sudah. Yang penting aku bilang, biarkan lah Aceh dan Papua belakangan kita pikirnya, sepakat saja dulu untuk konsepnya.

    Jadi poin ketiga intinya adalah ajakan untuk kita memikirkan secara matang konsep ini. Sehingga konsepnya bukan hanya jadi “milik” AMAN, tapi milik semua gerakan masyarakat sipil.

    Segitu dulu bang masukannya.


    1. Keren Jo. Maaf baru baca lagi….. Diskusi Jojo ini ada bagusnya dibuat jadi makalah untuk bacaan para penggiat dan penggerak masyarakat adat di Nusantara., juga untuk publik luas. *berharap


      1. @Kang_Italia (Giorgio) :
        Salut untuk analisanya. Kemarin di daerah XXX juga ada hal mirip seperti penangkapan tersebut diatas (walau bukan soal adat). Namun demikian yang namanya hukum (teori) dan hukum (praktek) beserta semua pasal yang ada tetap saja bertentangan. Daku sebagai WongKatrok dari Kehutanan sebenarnya ikut malu dengan acak adul nya hukum yang tumpul diatas dan tajam dibawah. Maklum, bila ditampar dengan uang semua pihak bisa diam seribu bahasa (dengan ancaman ABCDE).
        Harap menjadi perhatian bagi Anda, Kita dan semua Pembaca untuk tetap mengedepankan idealisme sebagai acuan memperbaiki diri (at least) & atau memperbaiki bangsa dan negara kita yang sudah seperti ini.
        Doa kami semoga perbaikan LH dan SosHut tetap berjalan dengan orang2 kritis seperti Anda (Bukan hanya tentang adat saja –Kalo bisa–).

        Saran buat website nya: Tulisannya jangan kecil kecil, mata kita kita ini sudah minus sama plus semua —> Susah baca nya :d


        1. Ikut menyimak tulisan.

          Betul, tulisan websitenya agak kekecilan. sehingga sedikit ekstra tenaga untuk membacanya.

          By the way, artikel yang bermanfaat dengan komentar yang bagus. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan