Ende 17 Oktober 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga melakukan aksi dan mendatangi kantor Pemda dan DPRD Kabupaten Ende.
Aksi yang didukung oleh 200-an orang masyarakat adat itu dimulai jam 10 pagi Wita, mereka bergerak dari Rumah AMAN Wilayah Nusa Bunga.
Masa aksi adalah barisan komunitas-komunitas masyarakat adat yang selama ini mengalami masalah dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Ende, terkait persoalan tapal batas hutan adat dan hutan negara. Komunitas yang bergabung dalam aksi ini adalah Komunitas Kekajodho, Komunitas Wolokaro, Komunitas Nuabosi, Komunitas Niowula, Komunitas Ranga dan Komunitas Golulada ( Bu,u ngenda ).
Koordinator aksi Kristianus Tara dalam orasinya menyatakan bahwa hak masyarakat adat telah dipulihkan lewat proses uji materi Undang-Undang Kehutanan no 41 tahun 1999 dimana Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat adat. Undang-undang tersebut membuat masyarakat adat mengalami diskriminasi dan penindasan.
“Masyarakat adat mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera mensahkan RUU PPHMA. Negara seharusnya lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat adat, bukan mengutamakan kepentingan investor. Sebab persoalan yang terjadi pada kehidupan masyarakat adat tidak terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan,” kata Kristianus dalam orasinya
Laurensius Seru menyampaikan untuk mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya tercapai sebagaimana cita-cita dan tujuan perjungan masyarakat adat. Perlu mengembalikan cita-cita mulia itu menjadi komitment bersama masyarakat adat agar tercapai keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak adanya pengakuan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak masyarakat adat, menempatkan masyarakat adat pada posisi tawar yang sangat lemah dan sama sekali tak berdaya.
Lebih jauh Laurensius mengatakan bahwa Draf Rancangan Undang-Undang Pengakuan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang diserahkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Badan Legislasi Nasional pada tahun 2011 lalu bertujuan memulihkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Namun sampai sekarang belum juga disahkan seolah hanya menjadi polemik tak berujung. Wacana tentang RUU PPHMA itu kemudian sunyi tertelan isu-isu politik lainnya.
Laurens merasa heran mengapa pemerintah mengulur-ulur waktu untuk mensahkan undang-undang yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat ini?, sementara DPR dengan cepat mensahkan undang-undang yang berpihak pada kepentinga investor. Hampir 74 % undang-undang yang disahkan berpihak pada kepentingan pemodal.
Hadirnya investor ke negeri yang subur ini, karena didukung produk hukum seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini. Undang-undang menjadi pegangan buat mereka untuk menguasai sumber penghidupan masyarakat adat.
Aksi masa komunitas masyarakat adat Nusa Bunga merupakan sebuah kesadaran baru akan pentingnya warisan untuk masa depan dan generasi penerus bangsa.
Komunitas yang bergabung dalam aksi ini adalah Komunitas Kekajodho, Komunitas Wolokaro, Komunitas Nuabosi, Komunitas Niowula, Komunitas Ranga dan Komunitas Golulada ( Bu,u ngenda ).
Ketua AMAN Nusa Bunga Philipus Kami menyampaikan tuntutannya, Pertama, mendesak DPR RI agar segera menesahkan UU perlindungan Hak-hak masyarakat adat. Ke-dua, mendesak pemerintah Indonesia mempunyai Kementerian sendiri untuk mengurus hak-hak masyarakat adat.
Pemerintah selama ini menerjemahkan hak-hak masyarakat adat hanyalah sebatas menjalankan ritual semata dan tidak memiliki hak. Sebab undang-undang yang dihasilkan tidak berpihak kepada masyarakat adat. Kondisi ini adalah tercermin dari gerakan aksi masyarakat adat hari ini. Dari Sabang sampai Merauke tanah dan hutan masyarakat adat telah kuasai perusahan-perusahaan pertambangan dan perkebunan. Hutan adat yang diklaim sebagai hutan negara telah beralih fungsi menjadi hutan produksi.
Tokoh adat dari Komunitas Kekajodho , Mosa Lak menuntut pemerintah dan DPR RI mulai saat ini tidak bolah lagi mengambil hutan kami, tanah kami. Kami hidup dari warisan nenek moyang kami sejak negara ini belum ada, dan kami meminta kepada DPR RI segera mengesahkan UU pelindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Komunitas Wolokaro, menyatakan tuntutan kepada pemerintah dalam hal ini Dishut Ende tidak boleh lagi mematok tapal batas, karena dalam putusan MK Negara sudah tidak berhak atas hutan adat, sebab kami bisa mengelolah hutan adat kami kami.tegasnya
Komunitas Nuabosi, Mosalaki Wisu menyampaikan bahwa negara tidak berhak lagi terhadap hutan adat. Jika pemerintah datang mengambil hutan dan tanah kami, harus atas izin Mosa Laki atau tokoh adat.
Komunitas Ranga yang diwakili oleh Mosalaki Sipri menyatakan bahwa hutan adat harus dikembalikan penguasaannya kepada masyarakat adat. Dengan adanya keputusan MK negara tidak boleh lagi mengambil tanah dan hutan kami.
Komunitas Bu’u ngenda Desa Golulada menyatakan bahwa Keputusan MK telah mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat, jadi jangan sekali-sekali negara membuat sewenang-wenangan terhadap hak-hak masyarakat adat. Karena masyarakat adat ada jauh sebelum negara ini terbentuk.
Komunitas Niowula menyampaikan tuntutannya agar pemerintah segera mensahkan RUU PPHMA menjadi Undang-Undang PPHMA.
Devisi perempuan adat ‘Tentiana Sina menyatakan sejak reformasi digulirkan, belum ada gerakan yang kuat di wilayah Indonesia dan sanggup menjelaskan problem pokok serta jalan keluar dari kemiskinan”.
“Problem pokok rakyat Indonensia adalah bagaimana melawan belenggu kekuatan modal asing yang menjajah dan mengisap masyarakat adat secara sistematis dan untuk mewujudkan itu masyarakat adat perlu merespon serta mendukung perjuangan AMAN mendorong revisi Peraturan Perundang-Undangan yang tidak berpihak kepada masyarakat adat. Uji materi UU Kehutanan No 41 tahun 1999 dengan keputusan baru Mahkamah Konstitusi No 35 /PUU-X/ 2012 telah membebaskan masyarakat adat dari cengraman penjajahan gaya baru yang sistematis itu,” ujar Tentiana berapi-api
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga Pertama mendesak Pansus RUU PPHMA tetap menggunakan istilah dan defenisi masyarakat adat bukan masyarakat hukum adat. Karena kata adat itu sendiri sudah mengadung unsur hukum. Ke-dua menuntut DPR RI dalam hal ini BALEGNAS dan PANSUS agar segera membahas serta menesahkan RUU PPHMA menjadi Undang-Undang PPHMA. Mendiskusikan dan mengangkat lembaga negara atau pemerintah dalam hal ini kementrian dan SKPD khususnya mengurus persoalan hak-hak masyarakat adat. Ke-tiga menyamakankan kedudukan antara sistem peradilan nasional atau negara dengan peradilan adat. *** Yulius fanus mari ( Jhuan )