Konflik Agraria: Antara Tanah Tuhan dan Tanah Tuan-Tuan

7 April 2012. KONFLIK agraria masih saja merambah Nusantara, di televisi, di radio dan di  koran-koran terus saja menjadi berita utama.

Tanah adalah salah satu obyek yang sering menjadi rebutan dan perdebatan. Tidak jarang berkembang menjadi pertikaian yang tak berkesudahan. Mewujudkan rasa keadilan dalam sektor agraria atau kebumian sudah menjadi keharusan semua pihak, baik dalam azas ketegasan hukum Negara maupun azas kepatutan Masyarakat Adat. Untuk itu penting dipahami dan direnungi kembali. sudahkan tanah, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di dudukkan sebagai perekat berbangsa dan bernegara, sekaligus hakekat hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Tuhanlah Sang Pencipta dan Maha Kuasa menciptakan tanah beserta isinya.

Dalam pelajaran di sekolah dan juga pada pelajaran agama apapun pasti mengajarkan kepada kita, bahwa bumi beserta isinya adalah ciptaan Tuhan. Sudah sepatutnya permasalahan agraria dapat mengantarkan kita pada pendalaman dan pemahaman tentang relasi antara manusia dan Tuhan. Dengan demikian manusia dalam hakekat hidup bersama di atas tanah atau bumi, dapat menuju dan meyakini kembali sebagai mahkluk yang berketuhanan.

Sektor agraria telah banyak diatur dalam Konstitusi Negara kita. Negara dimandatkan oleh rakyat untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Cita-cita mulia tersebut semestinya mencegah adanya pertikaian antara Negara dan Rakyat. “Tanah-tanah di Nusantara ini  semestinya dibebaskan dari dominasi kerakusan pemodal atau kekuasaan semata”.

Spirit berketuhanan dalam pengelolaan agraria masih banyak kita jumpai di berbagai komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara. Masyarakat adat mengelolanya berdasarkan kearifan. Semua aktifitas di atas bumi dilakukan atas restu, petunjuk dan hasilnya dipersembahkan lagi kepada Sang Pencipta bumi –Tuhan.  Bahkan dalam kearifan lokal masyarakat adat, tanah tidak boleh dimiliki atau menjadi kepemilikan tunggal. Warga Adat pun meyakini, untuk bisa hidup dan dihidupi oleh alam berarti banyak pula kewajiban yang harus dilakukan di atas tanah muka bumi ini.  Berdasarkan pengalaman dan kewajiban  hidup yang demikian, maka  pola hidup komunal masyarakat adat bukanlah persoalan kebetulan, tetapi sebaliknya sudah menjadi kebutuhan bersama (kepemilikan komunal).

Dalam keyakinan Masyarakat Adat lainnya, hasil bumi boleh dan akan dikonsumsi setelah dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan ijin dari Tuhan Sang Pencipta. Setelah itu hasil bumi baru bisa dikonsumsi untuk hidup dan menghidupi sepantasnya. Pola dan cara-cara hidup demikian lama-kelamaan terangkum mejadi sebuah tradisi, fungsi dan tatanan kehidupan masyarakat adat yang mengedepankan kesantunan hidup bersama alam, sebagai contoh aktivitas Subak di Bali, atau sebutan lain di tempat lain. Karena merusak alam diyakini akan merusak diri sendiri, merusak alam sama saja merusak negara sendiri.

Lalu bagaimana halnya dengan maraknya konflik agraria di berbagai wilayah? Perlu kita cermati akar permasalahannya berdasarkaan konsepsi di atas. Apakah tanah-tanah tersebut sudah dikelola berdasarkan prinsip “berketuhanan” tadi? Baik yang dilakukan oleh komunitas adat, maupun oleh negara. Jika warga di wilayah adat tidak lagi mengelola tanah dan bumi “secara adat”  bisa dikatakan warga sedang mengalami “persoalan” karena tidak mampu lagi mengelola bumi secara beketuhanan. Dengan demikian negara berhak mengambil alih pengelolan tanah tersebut atas mandat konstitusi. Karena dalam mukadimah atau konsideran konstitusi atau peraturan dan perundang-udangan lainnya selalu menyebut atau tertulis “ Atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, menimbang, mengingat dan menetapkan dan seterusnya.

Lebih jauh bagaimana halnya jika Negara tidak mampu lagi melaksanakan mandat konstitusi dalam pengelolaan tanah tadi? Tentu sama saja, “Negara bisa juga dikatakan lalai atau tidak melaksanakan prinsip-pirinsip pengelolaan tanah secara berketuhanan, karena hasil bumi tidak lagi mampu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.  Malah di beberapa tempat, dan negara melakukan pembiaran tanah tersebut menjadi “Tanah Tuan-Tuan”, atau milik segelintir “Para Tuan Tanah”. Jika negara dan rakyat sudah tidak lagi mampu mengelola tanah secara berketuhanan, maka sangat wajar jika tanah tersebut tidak akan menciptakan kesejahteraan, tapi sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. “Jadi, kedua pihak Rakyat atau Negara bisa saja melakukan kelalaian”.

Di Bali, saya diigatkan oleh konsepsi dan filosofi “Tanah DWE” yaitu tanah milik umum, tanah suci, tanah sakral, tanah tenget, atau tanah milik Sang Pencipta. Tanah DWE tidak bisa diutak-atik sembarangan, Tanah DWE wajib dibiarkan apa adanya, bahkan warga pun tidak berani menghuni, meminta atau menjualnya.

Dalam konsepsi dan keyakinan berbeda, status Tanah DWE juga bisa ada karena Rakyat dan Negara sama-sama sadar, bahwa dengan tidak mengelolanya pun tanah atau kawasan tersebut sudah memberi manfaat atau rahmatnya, seperti air, udara dan  hasil bumi lainnya. Dalam kasus ini, negara dan aparatur negara benar-benar menjadi motivator dan inspirator dalam mengelola tanah secara berketuhanan tadi.

Biasanya, memanfaatkan hasil Tanah DWE harus selalu didahului permohonan ijin dan penghormatan, karena melalui Tanah DWE lah diyakini, Tuhan akan selalu memberi rahmatnya. “Sampai di mana Tanah DWE tersebut dapat memberi manfaat langsung bagi warga, sampai disanalah akan terjadi relasi dan koneksi antara warga dengan Tanah DWE tersebut”.  Hubungannya bisa lintas warga, bisa juga lintas wilayah, bahkan lintas negara sekalipun. Di Bali, Tanah DWE itu bisa berupa gunung, bukit, hutan, atau lainnya. Hingga kini keyakinan tersebut masih terpelihara dalam satu kesatuan tradisi dan budaya. Leluhur orang Bali merangkum dan mewariskannya dalam bahasa dan makna pelestarian dengan istilah “Bhisama Kesucian” (Petunjuk Suci).

Semoga maraknya konflik agraria yang terjadi selama ini bisa mengingatkan dan meyadarkan. Sudahkah kita benar-benar menjalankan spirit berketuhanan dalam berkehidupan sebagai Masyarakat Adat dan Masyarakat Negara? Seharusnya Negara dan Rakyat sama-sama bekerjasama dalam satu Visi dan Misi untuk mengelola sektor agraria di republik ini secara berketuhanan tadi. ”Jika tidak, Tuhan melalui hukum alam (Rta) akan memverifikasinya”.

Ke depan Keragaman Adat dan Kebersamaan Bernegara seharusnya bisa dirajut untuk mengurai kembali kebuntuan dan kebutuhan pengelolaan agraria di berbagai wilayah Nusantara yang sesungguhnya. “Sila pertama dalam dalam Dasar Negara kita Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”  saya yakini benar adanya”. (***).

Made Nurbawa
BPH-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bali

Short URL: http://metrobali.com/?p=5902

Tinggalkan Balasan