Mereka di kepung Tambang dan Taman Nasional AKETAJAWE LOLOBATA

Mereka di kepung Tambang dan Taman Nasional AKETAJAWE LOLOBATA
Dialog Interaktif AMAN Malut-RRI Ternate

Ternate, 22 Agustus 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara  menyelengarakan dialog interaktif  di Radio Republik Indonesia (RRI) Ternate.

Narasumber dalam dialog ini hadir Mia Siscawati (Sajogyo Institute dan Pengajar Pasca Sarjana Antropologi Universitas Indonesia) Ari Subiantoro (Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Ubaidi Abdul Halim (Kabiro OKK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara), Faris Bobero (Penggiat Masyarakat Adat Tobelo Dalam) Tema dialog kali ini;“Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam”.

Ubaidi Abdul Halim, menyesalkan ketika  pemerintah pusat menetapkan Hutan Konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara berdasarkan SK.397/Menhut-II/2004 dengan Blok Aketajawe seluas 77.100 Ha dan Blok Lolobata seluas 90.200 Ha, sesungguhnya Masyarakat Adat Tobelo Dalam perlahan-lahan kehilangan hak untuk mengakses sumberdaya alam bahkan mereka sering dikriminalisasi karena dianggap melawan hukum. Jika terus berlanjut dipastikan Masyarakat Adat Tobelo Dalam akan terusir dari tanahnya sendiri. Mereka dikepung Tambang, HTI, HPH dan Sawit beliau juga menambakan pengakuan hak atas tanah, hutan dan SDA harus diputuskan lewat PERDA Masyarakat adat.

Sementara itu Mia Siscawati menjelaskan, penderitaan Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini sangat panjang. Mulai dari masuknya agama baru, perseteruan wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore, pemerintah orde baru yang memberikan label manusia terasing. Tapi situasi saat ini berbeda, Masyarakat Adat Tobelo Dalam itu, hak-haknya diakui oleh UUD 1945, hak ruang hidup teritori yang luas untuk berburu dan mencari makan tidak boleh ada batasan,  ada juga hak lain misalnya hak memperoleh pendidikan dan kesehatan.

Masyarakat Adat Tobelo Dalam sedang ‘galau’ karena di kepung tekanan dan situasi,” tambah Mia
Faris Bobero menambahkan bahwa pengaruh pihak luar seperti Taman Nasional dan perusahan merubah budaya dan identitas mereka. Misalnya konsep berburu kini jarang mengunakan tombak tapi dengan senjata bets. “Di Taman Nasional Aketajawi Lolobata Suku Tobelo Dalam tidak memahami implikasi deforestasi dari kegiatan pertambangan, namun mereka memahami apabila tutupan hutan dibuka, maka mereka akan mendapat masalah, sebab kwalitas air yang baik untuk mendukung kehidupan mereka terutama kebutuhan domestik sehari-hari juga untuk persalinan tercemar,” kata Faris.

Namun Kepala Taman Nasional Aketajawe Lolobata, menjelaskan bahwa  mereka mengakui Masyarakat Adat Tobelo Dalam lewat  SK Derektoral Jenderal Kehutanan sebagai zona tradisional yang dikelola dan dimanfaatkan oleh  mereka, jadi tidak perlu khawatir. Mereka seperti tubuh kami sendiri jika mereka sakit kami juga merasa sakit. Sejauh yang kami ketahui  Masyarakat Adat Tobelo Dalam tidak memprotes keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Kalau hutan produksi dan hutan lindung mereka pasti terusir, justru Taman Nasional adalah benteng terakhir konservasi hutan Indonesia,” ungkapnya.***Ubaidi Abdul Halim

3 Komentar


  1. Asal omong doang…dan seenaknya membuat wacana yg ngaur…mana kontribusi “AMAN” trhadap suku.tobelo dalam??? klu ke hutan tu jngn lupa bawa kompas klu omongannya pas-pasan jangan ngaur dong!!


  2. @Sofyan Yang Baik

    Terim kasih kritiknya, bagi saya kritik ini menunjukan ada keprihatinan Sdr Sofyan terhadap komunitas Tobelo Dalam yang sedang kami dampingi. Sedikit menjelaskan kondisi yang terjadi sampai berita ini dimunculkan oleh AMAN Maluku Utara ke publik.

    (1) Komunitas Tobelo Dalam terdiri dari 19 kelompok, yang tersebar di Haltim, Halteng dan Tikep. Dari 19 kelompok ini, hanya 2 yang tidak bersentuhan secara langsung dengan Taman Nasioan Aketajawe-Lolobata. 2 kelompok itu adalah kelompok Akejira dan Woe Sopen (Halteng). Catatan: kelompok Akejira bersentuhan dengan PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo Energy. Sedangkan yang berada di Woe Sopen berhadapan dgn 4 IUP tahap eksplorasi yang dikeluarkan oleh Pemkab Halteng dan Haltim.

    (2) 17 kelompok tersebut selain bersentuhan dengan Taman Nasional, juga ada izin tambang, sawit dan transmigrasi. Kasus ini saya ambil saja di Dodaga-Tititpa-Totodoku-Tukur2 yang berhadapan dengan Trans Subaim, PT Indo Bumi Nikel (sekitar 10 ribu hektar wilayah mereka dikuasai Tambang) dan beberapa perusahan belum kami identifikasi. Kasus yang sama juga terdapat di kelompk Miaf dengan Tambang Rakyat, kelompok Walaino dengan PT. Cosmos dan Trans Patlean, dll

    (3) Kalau membaca riset kawan2 Burung Indonesia, kita pasti menemukan gambaran bagimana keberadaan TN dengan sistem zonasi. Ada wilayah tertentu yang tidak bisa dimanfaatkan. Bagi AMAN ini bertabrakan dengan hak mereka. Justru dari sini sudah muncul jastifikasi, kalu mereka dianggap perambah hutan. Konservasi menurut TN yang tidak melihat ada hak Tobelo Dalam.

    (4) Kalau membaca Riset Sains, “Kapitalisme di Pedalaman Halmahera” anda pasti menemukan bagimana kejahatan negara dan korporasi (modal) bermain dan membangun ketergantung hidup sampai suku ini melepas tanahnya demi masa depan dalam tanda kutik “UANG”

    (5) Lalu Sofyan mengatakan “dan seenaknya membuat wacana yang ngaur”. Saya kira kalu Sofyan memiliki data dan informasi yang berbeda, itu bisa disampaikan ke AMAN, biar kami juga tau bahasa kami yang ngawur itu di bagian mana, bahkan mungkin bisa kami gunakan data dan informasi tandingan dari Sofyan untuk kepentingan pendampingan kedepan, agar menjadi lebih baik.

    (6) Sofyan juga mengatakan “Mana kontribusi AMAN terhadap suku Tobelo Dalam”. Nah..ini tidak bisa pake rumus matematika untuk mengukur kontribusi suatu lembaga termasuk AMAN terhadap suku Tobelo Dalam. Tapi kalau kontribusi yang dimaksud Sofyan itu diukur dengan banyaknya kegiatan, maka saya ingin sampaikan ke Sofyan, saat ini AMAN mengerjakan proyek Community Center (Pusat belajar bersama) untuk kelompok yang berada di Walaino, juga sementara ini melakukan pemetaan di Dodaga-Tukur2-Totodoku-Titipa, kita juga sementara menginventarisasi masalah yang dihadapi oleh mereka yang berada di Akejira. Kelompok ini adalah kelompok yang sudah menjadi anggota AMAN. Kelompok lain akan dikerjakan. Pekerjaan ini memakan waktu

    (7) Lalu juga pada bagian lain, Sofyan mengatakan “Asal ngomong doang” memang salah satu tugas AMAN adalah ngomong ke publik, ke pemerintah dan kepada Sofyan juga tentunya, agar informasi yang terjadi di komunitas ini bisa tersampaikan. Tugas omong ini bukan omongan yang fiktif dan tidak bisa kami pertanggungjawabkan. Kalu Sofyan masih ragu, silakan ke Kantor AMAN Malut dan kami bersedia bersama-sama dengan Sofyan untuk membuktikan kebenaran dari berita ini.

    (8) Sofyan bilang “kalu omongnya pas-pasan jangan ngaur doang”, YA..Saya maklumi itu, kami belum omong banyak, masih pas-pasang sesuai hasil advokasi yang sudah kami lakukan. Satu waktu akan banyak hal yang kami sampaikan ke publik, alias banyak ngomong

    (9). Terakhir dari saya…Mewakili AMAN dan mewakili Tobelo Dalam yang sementara ini berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat mereka, kami mengucapkan terima kasih. Bagi kami kritik ini bisa menjadi koreksi agar advokasi kami kedepan semakin baik. Ada salam dari Om Madiki (kepala suku di Dodaga) buat Sofyan juga.

Tinggalkan Balasan