Siaran Pers
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Jakarta, 24 Juni 2013,-
Konflik yang terjadi di Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur masih belum menemukan titik terang, pasalnya masyarakat kedua kampung yakni kampung Muara Tae dan kampung Muara Ponaq tetap bersikukuh mengklaim hutan adat utaq melinau yang saat ini menjadi tempat beraktifitasnya perusahaan sawit, PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa sebagai wilayah masing-masing komunitas. Konflik mencuat ketika pada bulan Mei 2012 lalu, melalui Surat Keputusannya, Bupati Kutai Barat, Ismail Thomas menetapkan wilayah adat Muara Tae masuk menjadi bagian dari wilayah kampung Muara Ponaq padahal sejak turun-temurun wilayah tersebut termasuk sebagai wilayah adat Muara Tae.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui Sekretaris Jenderalnya Abdon Nababan, menyampaikan penyesalan mendalam terkait tindakan sewenang-wenang Bupati Kutai Barat yang tidak lain adalah kader Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), yang bahkan sampai saat ini masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI-P Kutai Barat. Selain itu, Rizaldi, kader PDI-P lainnya yang merupakan mantan anggota DPRD Kutai Barat, saat ini menjabat sebagai Manager Umum PT. BSMJ dan juga terlibat dalam konflik akibat keberadaan perusahaan tersebut di wilayah komunitas adat Muara Tae.
Perampasan hak yang melibatkan Ismail Thomas dan Rizaldi sebagai kader-kader kuat PDI-P di Kutai Barat sangat disesalkan oleh AMAN karena partai tersebut selama ini sangat gencar mendukung upaya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. “AMAN sangat menyesalkan penataan batas sewenang-wenang yang dilakukan oleh Bupati Kubar, kami harap PDI-P dapat menertibkan kader-kadernya yang tidak sejalan dengan semangat partai saat ini. Pembiaran terhadap kader-kader seperti ini sangat berpotensi merusak citra baik PDI-P.” Tegas Sekjen AMAN.
Ketegangan masih terus berlangsung antara kampung Muara Tae dan Muara Ponaq, sedangkan PT. BSMJ bersama PT. Munte Waniq Jaya Perkasa yang beroperasi di lahan sengketa menjadikan SK Bupati sebagai alat cuci tangan terhadap tanggung jawab mereka untuk menghormati hak-hak masyarakat adat Muara Tae, dan Masyarakat kampung Muara Ponaq menjadikan SK tersebut sebagai dasar hukum penjualan wilayah Utaq Melinau kepada pihak perusahaan.
Sampai saat ini, masyarakat Muara Tae tetap konsisten melakukan penolakan secara tegas terhadap kehadiran perusahaan. “Kami hanya ingin hutan adat kami dikembalikan. Kami tidak ingin ada perusahaan yang beroperasi. SK Bupati jelas-jelas telah melanggar hak kami atas wilayah adat kami.” Ujar Masrani, menegaskan posisi komunitas.
Sebelumnya, surat pemberhentian Masrani sebagai Petinggi kampung Muara Tae diterima awal bulan Mei 2013 lalu. Dalam SK yang dikeluarkan oleh Bupati Kubar tersebut, salah satu alasan pemberhentian Masrani sebagai petinggi adalah karena gugatan kepada PTUN yang diajukan Masrani menyikapi SK Bupati tahun 2012 tentang batas kampung Muara Tae dan Muara Ponaq.
Patricia Miranda Wattimena
Staf Urusan HAM dan Hubungan Internasional
Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
patricia@aman.or.id