Jakarta, 19 April 2013,- Berita datang dari komunitas adat Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur terkait konflik dengan Perusahaan Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ). Pada tanggal 17 April 2013 Panel Pengaduan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dengan resmi telah menyurati First Resources, Ltd. (FR) agar PT. BSMJ menghentikan segala aktifitas di atas wilayah adat Muara Tae selama konflik lahan belum terselesaikan.
Konflik berawal dari aktifitas PT. BSMJ di atas wilayah adat Muara Tae. Sejak awal, masyarakat Muara Tae dengan tegas telah menolak keberadaan perusahaan. Namun legitimasi kepada perusahaan diberikan oleh Bupati Kutai Barat melalui SK Tapal Batas yang menjadikan sebagian wilayah adat Muara Tae sebagai wilayah kampung Muara Ponaq. Berdasarkan SK Bupati, perusahaan kemudian menggusur dan melakukan penanaman kelapa sawit di atas wilayah Muara Tae dengan izin dari kampung Muara Ponaq.
Pengaduan masyarakat Muara Tae kepada RSPO pada 17 Oktober 2012 kemudian di fasilitasi oleh Environmental Investigation Agency (EIA), sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di London, Inggris. Selanjutnya, pada
pertemuan Meja Bundar RSPO ke 10 di Singapura akhir Oktober 2012, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama-sama dengan Masrani, pemimpin komunitas Muara Tae bertemu dengan Bambang Dwilaksono yang mewakili pihak FR untuk melakukan negosiasi terkait konflik lahan yang terjadi.Dalam negosiasi yang dilakukan, pihak perusahaan berkomitmen melakukan dialog dalam rangka penyelesaian konflik setelah di desak untuk mematuhi kriteria dan Prinsip RSPO. Namun demikian, dialog tidak pernah di inisiasi oleh perusahaan. AMAN bersama dengan Netherland Centre for Indigenous Peoples (NCIV) kemudian menyurati perusahaan untuk menanyakan komitmen perusahaan terhadap dialog yang telah direncanakan. Tanggapan tidak kunjung diterima.
Desakan kepada RSPO yang tetap dilakukan oleh komunitas Muara Tae bersama dengan organisasi-organisasi pendukung akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 5-7 Maret 2013 lembaga independen yang ditunjuk oleh RSPO mendatangi langsung komunitas Muara Tae untuk mencari tahu legitimasi pengaduan oleh masyarakat serta kondisi lapangan. Pada tanggal 17 April 2013, berdasarkan kesimpulan Moody (lembaga independen yang ditunjuk RSPO) akhirnya RSPO menyurati PT. BSMJ dan memutuskan bahwa perusahaan tidak dapat melakukan aktifitas apapun di atas wilayah adat Muara Tae sampai konflik terselesaikan. Aktifitas apapun yang dikakukan oleh perusahaan di wilayah tersebut harus dengan persetujuan RSPO dan setelah berkonsultasi dengan pihak yang bersengketa. Keberatan-keberatan yang diajukan oleh perusahaan terkait hasil assessment pun di tolak dan pengaduan masyarakat Muara Tae diakui oleh RSPO.
Selain itu berdasarkan laporan oleh Moody International, 622 hektar lahan telah di gusur tanpa persetujuan New Planting Procedure (NPP) oleh RSPO dan 579 Hektar telah di gusur tanpa melakukan High Conservation Value (HCV) assessment.
Beberapa kesimpulan dan keputusan Panel Pengaduan RSPO berdasarkan laporan Moody International antara lain: tidak terpenuhinya hak masyarakat Muara Tae terhadap Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) menjadi salah satu akar penyebab konflik lahan yang terjadi. Di samping itu pihak perusahaan harus mengakui penolakan komunitas terhadap aktifitas usaha Kelapa Sawit di atas tanah adat mereka. Perusahaan harus mengakui bahwa terjadi konflik dengan masyarakat adat dalam wilayah konsesi mereka dan hal ini wajib tertuang dalam Social Environmental Impact Assessment (SEIA) PT. BSMJ.
Informasi lebih lanjut:
Patricia Miranda Wattimena
Staf Urusan HAM dan Hubungan Internasional
Pengurus Besar Aliansia Masyarakat Adat Nusantara
patricia@aman.or.id