RUU P2H Tak Cerminkan Kerangka Reformasi Hukum Sektor Kehutanan

RUU P2H Tak Cerminkan Kerangka Reformasi Hukum Sektor Kehutanan
RUU P2H
Hentikan Pembahasan RUU P2H

Jakarta, 4 April 2013.Di tengah carut-marut persoalan kehutanan yang belum terselesaikan, dan di tengah upaya Masyarakat Adat dan masyarakat sipil untuk mendorong perubahan kebijakan yang lebih berkeadilan. Pemerintah bersama dengan Komisi IV DPR-RI saat ini tengah mempercepat lahirnya UU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P2H).

AMAN bersama Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kelestarian Hutan sudah menyampaikan penolakan RUU P2H ini ke DPR-RI Senin (1/4) kemarin. Saat itu Wakil Ketua DPR Pramono Anung menerima dan akan meneruskan aspirasi mereka ke Rapat Paripurna yang sedianya berlangsung Selasa (2/4).

“Saya berjanji untuk menunda pengesahan RUU ini atas masukan dari rekan-rekan semua,” ungkap politisi PDIP itu.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas RUU ini. Dijadwalkan pada April 2013 ini akan disahkan dalam rapat paripurna DPR sebelum memasuki masa reses. Komisi IV DPR akan membahas RUU P2H lebih lanjut supaya dapat didorong pengesahannya dalam rapat paripurna. Pada pembahasan lanjutan atau biasa disebut pembicaraan tingkat II, Komisi IV akan meniadakan pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Dari pertimbangan aspek formil dan aspek materiil, RUU P2H tidak layak disahkan, para pembentuk RUU P2H tidak memahami secara jernih penyebab kerusakan hutan dan perancangan peraturan perundang-undangan. RUU P2H juga sangat berbahaya karena ketentuan pidana yang diatur justru berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengancam kelangsungan hidup dan rasa aman masyarakat adat. Beberapa pasal dalam RUU P2H dapat dipakai sebagai alasan mengkriminalisasi masyarakat adat karena bersifat multitafsir.

“Kriminalisasi ini menambah catatan panjang penderitaan masyarakat adat yang memiliki hutan dan mengelola hutan adatnya,” papar Erasmus Cahyadi, Direktur Hukum dan HAM, PB AMAN.

Lebih lanjut Erasmus mengutarakan bahwa RUU P2H sama sekali keluar dari kerangka reformasi hukum sektor kehutanan. RUU ini tidak mencerminkan semangat reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamantkan dalam Tap MPR No. IX/2001, tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Jika mencerminkan semangat yang sama, RUU P2H seharusnya menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 sebagai pertimbangan. Melalui putusan itu, maka kawasan hutan yang yang sah adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan (setelah melewati tahap penunjukkan, tata batas, dll). Putusan MK itu diabaikan begitu saja oleh perancang RUU P2H dengan menentukan bahwa kawasan hutan yang akan diatur adalah kawasan hutan yang ditunjuk pemerintah).

“Mestinya para perancang RUU P2H ini melihat prospek perubahan kebijakan melalui inisiatif yang sedang berlangsung. Sebagai contoh, ada kemungkinan penguasaan hak atas hutan ini berubah setelah MK memutuskan permohonan Uji Materiil yang telah diajukkan AMAN beberapa waktu lalu,” tambahnya.

Sebelum membahas RUU P2H pemerintah harusnya mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat dengan catatan bahwa substansinya harus dikonsultasikan secara terbuka kepada Masyarakat Adat dan organisasi Masyarakat Adat serta masyarakat sipil lainnya. RUU P2H hanya dapat dibahas setelah ada payung hukum yang kuat untuk melindungi keberadaan Masyarakat Adat berikut hak-haknya. Dengan demikian, UU yang dihasilkan oleh DPR-RI dan Pemerintah tidak bertentangan satu dengan lainnya.

Segera melakukan revisi atas UUK No. 41/1999. Revisi UUK harus dilandaskan pada semangat untuk melakukan koreksi atas akar persoalan kehutanan, sekaligus merancang UUK yang lebih adil dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Artinya Revisi UUK harus dapat memastikan bahwa persoalan pengukuhan kawasan hutan, persoalan hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah adat dan persoalan lain yang selama ini menjadi kritik publik, mendapatkan tempatnya dalam revisi UUK tersebut.

[english]

Tinggalkan Balasan