“Masyarakat Adat & Kebudayaan: Perlawanan untuk Bumi”
I yayat u santi!
Saya merasa berbahagia hari ini dan ini mungkin ini sudah diatur Sang Pencipta dan leluhur. Dalam setahun terakhir, yang terngiang dalam pikiran saya, adalah salam dari Minahasa itu. Angkat pedangmu dan maju berperang! Kita saat ini sedang dalam situasi perang melawan diri sendiri, penjajahan berupa perampasan wilayah adat, dan penjajah yang merampas wilayah adat. Perang juga melawan Covid-19.
Izinkan saya menyapa. Dan ada banyak sekali, jadi saya sebutkan sebagian saja. Sampurasun, tabe, manasu moraka, ahoi, horas…. Mari kita kirimkan juga salam semangat untuk kawan-kawan di Tano Batak untuk tutup TPL! Semoga Tuhan merestui saudara kita di sana untuk pertahankan tanah leluhur, bumi, seluruh ciptaan yang baik di wilayah adat kita. Semoga niat baik ini, tujuan mulia ini, dapat segera terwujud. Salam semangat bagi kawan seluruh Tano Batak dan Bangso Batak! Semoga semua tetap sehat agar kesadaran, tugas mulia kita sebagai Masyarakat Adat, salah satunya membela bumi, wilayah adat, dan tanah leluhur kita. Izinkan saya juga menyapa seluruh Dewan AMAN Nasional, pengurus AMAN, organisasi sayap, pengurus di daerah dan wilayah, badan otonom, dan anggota AMAN di seluruh Nusantara. Selamat pagi! Hormat kepada alam semesta, leluhur Masyarakat Adat, dan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa untuk hari yang berbahagia ini. Sejenak kita mengalihkan pikiran dari berbagai persoalan besar dengan hari ini kita merayakan HIMAS – hari yang didedikasikan bagi seluruh Masyarakat Adat, bagi perjuangan masyarakat Adat yang sudah terus menjaga bumi, peradaban, kemanusiaan selama berabad-abad.
Perjuangan kita di internasional, yang tercatat, adalah ketika seorang kepala suku dari Kanada saat ini, dalam perjalanan menjumpai Ratu Inggris untuk memprotes perampasan wilayah adat atas nama Kerajaan Inggris yang waktu itu menjajah di Amerika bagian utara. Beliau berjalan ke Jenewa, di mana ada Liga Bangsa-Bangsa, namun kala itu beliau tidak diizinkan masuk. Pertama kali secara resmi, utusan Masyarakat Adat yang ingin berpartisipasi di dunia internasional, menyampaikan situasi kita, perlawanan terhadap perampasan wilayah adat, itu hanya mendapatkan pintu yang tertutup. Kalau saya bayangkan, gerbang utama PBB itu berapa ratus meter dan dihiasi bendera-bendera. Zaman itu, kemudian ia berhadapan dengan gerbang besi yang dijaga pasukan, entah bagaimana rasanya. Namun, sejak tahun ‘70-an, suara kita sudah mulai didengar dan akhirnya tanggal 9 Agustus, sebuah badan yang disebut Kelompok Kerja PBB untuk Populasi Masyarakat Adat, bahkan belum “Indigenous Peoples” namanya waktu itu, memulai sidang dan itu awal perjuangan kita secara global hingga hari ini. Momentum penting adalah adopsi oleh PBB, oleh Sidang Umum PBB, yang disebut Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Itu hampir diperjuangkan selama 30 tahun.
Hari ini, kedua kalinya, kita merayakan HIMAS di tengah terpaan badai Covid-19. Kita terus mengirimkan doa untuk seluruh umat manusia, baik Masyarakat Adat maupun bukan, untuk kita kirimkan semangat. Kita kirim doa bagi sahabat, keluarga, kerabat yang telah meninggalkan kita, baik karena Covid maupun yang lain. Secara khusus, dalam beberapa bulan terakhir, beberapa pemimpin AMAN pergi meninggalkan kita. Ada Pak Arfani di Paser, itu kami sangat terkejut karena beliau tiba-tiba kena serangan jantung tengah malam. Dadanya sakit dan dalam perjalanan ke rumah sakit, nyawanya tak tertolong. Saya ingat ayah saya mengalami hal yang sama, mau diberi oksigen, tapi tabungnya kosong. Dilarikan ke rumah sakit dan di tengah perjalanan, menghembuskan napas terakhir. Kita mengenal Pak Berkasi di Sulteng dan Mama Do di Kep. Aru yang meninggalkan perjuangan mempertahankan bumi demi kebaikan umat manusia, yang meninggal karena Covid di tengah perjuangan kita. Dan banyak lagi yang tak saya sebutkan satu per satu.
Tahun ini, tema internasional, adalah tidak meninggalkan siapa pun, Masyarakat Adat dan seruan kontrak sosial baru. Kita perdalam tema tersebut dengan realitas selama setahun ini di Nusantara, dengan tema “Masyarakat Adat dan Kebudayaan: Perlawanan untuk Bumi” sebagai cermin situasi yang dialami Masyarakat Adat. Kebudayaan, banyak ilmuwan dan pemikir modern yang mencoba mendefinisikan makna dan arti kebudayaan. Perkembangan dari pemikiran itu, terkadang membuat pemisah di antara unsur-unsur dan elemen dan sifat kebudayaan. Ada yang mendefinisikan berdasarkan sifatnya, ada yang berdasarkan bentuknya, ada pula yang melihat dari sisi unsurnya. Semua tergantung dari sisi keilmuan. Kalau sosiolog atau antropolog, tentu beda. Bagi kita, Masyarakat Adat, kebudayaan adalah jalan hidup, cara hidup, berdasarkan sistem dan nilai warisan leluhur yang mengatur hubungan kita dengan alam sekitar, termasuk manusia, binatang, dan tumbuhan; hubungan dengan leluhur; dan tentu hubungan dengan Sang Pencipta. Unsur-unsur kebudayaan berupa sistem bahasa, kekerabatan, hukum, kelembagaan adat, tenurial, ekonomi, pangan, pengetahuan, praktik tardisional dan inovasinya, spiritualitas, religi, dan lainnya, semua itu tak bisa dipisahkan dan saling menguatkan. Satu rusak, maka semuanya perlahan akan rusak. Ini kita bisa saksikan bagaimana kebudayaan kita sebagai kebudayaan penyintas dari berbagai gelombang – gelombang invasi dan masuknya berbagai kebudayaan baru. Kebudayaan kita berkembang dari masa ke masa, sebab pada dasarnya kebudayaan itu dinamis. Kita melihat berbagai Masyarakat Adat di Indonesia, tidak ada yang sama. Kenapa? Karena, kita memiliki sejarah yang berbeda – sejarah interaksi dengan aktor luar dengan nilai baru, itu berbeda. Semakin dekat kita dengan laut, pesisir, semakin dekat kita dengan pusat kekuasaan atau pasar, maka kebudayaan kita mengalami gerusan, tantangan, dan berubah lebih cepat dibandingkan kita yang jauh dari segala yang saya sebutkan tadi itu. Kebudayaan kita berubah, kita lihat ada Masyarakat Adat pakai mobil dan jalan kaki, dari yang sudah biasa pakai pesawat hingga perahu atau kuda. Itu semua hasil dari sebuah kebudayaan yang dinamis. Hasil dari interaksi dengan kebudayaan lain. Kita berproses dan merespon itu. Tapi, kalau kita lihat dunia yang ada, itu tak lepas dari keberadaan ragam kebudayaan Masyarakat Adat. Berbagai studi menunjukkan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga ekosistem terbaik yang tersisa di seluruh dunia. Kita hanya dari hutan tropis saja, menyimpan hampir sepertiga stok karbon dunia. Itu belum kita hitung dari gambut dan lainnya. Ini menunjukkan udara segar yang kita hirup ini, itu semua tak lepas dari kontribusi Masyarakat Adat yang masih menjaga alam sekitar, menjaga bumi, demi umat manusia yang lain. Demikian juga kita lihat selama pandemi, ternyata kampung-kampung dan wilayah adat yang masih berdaulat atas wilayah adatnya, adalah tempat yang paling berkecukupan. Kata orang tua, kita tak boleh kekurangan atau lebih, jadi cukup. Dan, sedikit dari yang cukup itu, – cukup banyak, ya – sehingga kita mampu berbagi ke sesama. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang kuat, utuh, praktik dan musyawarah, itu menjamin keberlangsungan dan keberadaan bumi dan umat manusia.
Tapi, tantangan kita tak sedikit. Kita, anak-anak adat yang lahir dan menyandang nama karena sebidang tanah leluhur kita, karena nama yang kita sandang dan bangga sebutkan, saya orang Toraja, Minahasa, Batak, dan lainnya, tantangan besar Masyarakat Adat menjaga bumi dan manusia, adalah justru paling banyak dari kita sendiri. Banyak dari kita bangga menyandang nama adat, sementara di saat yang sama kita gadaikan diri dan menjual wilayah adat. Kita dengan bangga menjadi perisai bagi penindas, benteng perampas wilayah adat. Ini adalah tantangan besar kita. Dengan berbaju adat, kita menandatangani pelepasan wilayah adat. Kita gunakan identitas adat kita justru untuk hal yang jauh dari kemuliaan. Nama dan identitas budaya dan unsur kebudayaan, seperti baju, nama lahir kekerabatan, dan lainnya…. Sulit untuk kita cari kesalahan ke luar sebelum kita bereskan tantangan yang lahir dari diri kita sendiri.
Dalam setahun lebih ini, pandemi ini menunjukkan bahwa kita hanya bagian dari bumi, bagian dari alam semesta dan tak jauh lebih berkuasa. Praktik yang terjadi di wilayah adat, seperti Sungai Utik, menunjukkan bahwa keselamatan bumi adalah prasyarat utama keselamatan umat manusia di berbagai situasi. Sungai Utik saat ini menjadi salah satu dari tujuh kelompok “penunjuk jalan” sekaligus pencari jejak, seperti anak-anak Pramuka itu ada penunjuk jalan, jadi kita beruntung Sungai Utik jadi salah satunya. Keutuhan Sungai Utik menjaga kebudayaan dan wilayah adat. Berbagai nilai dan musyawarah adat, cara memandang alam, hutan, menunjukkan orang Sungai utik tak pernah tempatkan diri jauh lebih tinggi dari alam. Inilah yang membuat orang Sungai Utik mampu mempertahankan wilayah adatnya meskipun digempur sedemikian rupa dalam beberapa dekade. Ini terbukti selama pandemi, Sungai Utik hampir tak terpengaruh. Pengaruh itu mungkin dari kita yang ingatkan para orang tua untuk tak berkeliaran. Apai itu kita ingatkan agar ia dijaga. Ia merdeka dan bisa jalan ke mana saja. Kita tak bisa jamin pada kekebalan virus ini. Mungkin leluhur kita belum rumuskan doa untuk itu.
Covid mengingatkan kita bahwa kita harus kembali ke akar kita, hidup yang lebih baik. Jadi merefleksikan perjalanan kita bukan hanya sebagai masyarakat Adat, tapi bangsa Indonesia. Tahun lalu, kita serukan dan baca tanda zaman. Bahwa ini menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Gagal total! Buktinya, tempat-tempat yang dianggap menjadi kekuatan sistem ekonomi ini, yaitu daerah urban, itu menjadi tempat yang paling tidak aman di bawah kolong langit selama pandemi. Wilayah adat yang masih menjaga sistem dan unsur kebudayaan, itu menjadi tempat yang paling aman. Ritual, ramuan tradisional, pangan yang cukup, musyawarah adat, tunduk pada kepemimpinan tetua dan pemimpin adat, itulah yang membuat selama setahun lebih ini bisa buat kta bertahan. Sisi lain, keunggulan kita, menjadi sumber kerentanan kita. Wilayah yang kita jaga, tetap tidak lepas dari ancaman perampasan wilayah adat. Saudara-saudara kita di Sakai yang ditetapkan sebagai Masyarakat Adat terancam punah, selama pandemi ini bisa panen. Tapi, yang terjadi, kebun mereka dihancurkan perusahaan. Dan aparat dan pemerintah itu diam saja. Sampai saat ini, belum ada jalan keluar. Kebun dan tanaman buah hancur oleh buldoser. Di tengah situasi itu, kita juga melihat di tengah ketiadaan fasilitas kesehatan dan infrastruktur transportasi serta gempuran Covid, kampung-kampung kita tetap dengan ritual dan pengobatan tradisional. Dalam setahun ini, saya banyak dengar ini. Ada kampung yang tak punya pilihan lain, selain pengobatan tradisional dan ritual. Ini yang memunculkan rasa percaya diri yang saya pikir cukup berlebihan. Mau dites, tak mau karena dikatakan Covid dan biasa alami ini. Ternyata, mengalami penyakit yang berjamaah, banyak orang sudah direkam dalam memori, di kalangan orang Dayak itu dikatakan habis musim buah, itu semua orang sakit demam dan flu. Kali ini, ada bonusnya, hilang penciuman. Jadi dikatakan sudah biasa dan jangan disebut Covid. Meski kampung mengalami gejala seperti Covid, tidak bisa dibuktikan karena tidak ada tes. Jadi betul salah satu pertahanan mereka, adalah mau bertahan dengan obat-obatan tradisional. Ada aneka macam. Di Talang Mamak, mereka sebut ada perlindungan dari alam, leluhur, dan Sang Pencipta. Ketika ditanya kenapa tak mau vaksi? Karena seumur hidup tak pernah kena jarum. Ternyata, masih banyak anak-anak adat itu imunisasi saja belum. Jadi, banyak sekali sejarah penyingkiran, eksklusi, bahwa Masyarakat Adat itu banyak tertinggal, bahkan ketika wilayah adat jadi jaminan atas pembangunan yang selama ini merusak. Kita melihat di tengah-tengah situasi ini, Masyarakat Adat bertahan. Ada yang mau vaksin, ada juga yang tidak mau. Ada banyak faktor, termasuk faktor informasi. Terkadang, kita mengamini sikap yang terus menyalahkan Masyarakat Adat dan dianggap bodoh dan tak bisa pilah informasi. Padahal, ketika informasi sampai di masyarakat Adat dan jumlahnya lebih banyak dibanding kelemahan sosialisasi, jauh lebih provokatif, dan menarik caranya, dan tak pernah sebutkan bahwa ini hoaks. Tapi, kelemahan pemerintah untuk sosialisasi sampai ke kampung, yaitu kepala desa, tapi tidak didayagunakan secara maksimal melawan pandemi, baik sosialisasi maupun penanggulangan. Kita berhenti salahkan masyarakat dan kita harus melihat bagaimana kontribusi, kekuatan, partisipasi Masyarakat Adat dalam situasi ini, adalah kekuatan kita. Kita tidak boleh ingkar bahwa kita bertahan di kampung-kampung maupun di kota-kota, semua karena daya tahan orang Indoensia yang luar biasa dan gotong royong. Ternyata, budaya luhur dan warisan leluhur kita, belum kita lupakan. Sekarang, rumah pun dipagari agar tetangga tak masuk, ternyata kita temukan jalan pulang, mengingat kembali praktik leluhur kita. Inilah yang membuat kita bertahan.
Ketika bicara kontrak sosial baru, banyak sekali tantangannya. Dalam setahun ini, di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat, kita digempur UU MInerba dan UU Cipta Kerja atau UU Cilaka, yang digunakan sebagai instrumen hukum untuk meneguhkan perampasan wilayah adat dan beri kartu merah apda perusahaan untuk wilayah adat yang tersisa. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk terus lakukan perlawanan. Kalau kita hanya mengandalkan pemerintah, negara yang belum laksanakan tanggung jawabnya, bahkan ketika negara bubar pun mereka belum sadar. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita lihat di tengah situasi bertahan terhadap pandemi, tadi kisah soal ramuan tradisional, pangan, dan kebijakan serta ada perampasan wilayah adat, kriminalisasi. Ada kawan kita Agabag untungnya lolos dan kita punya pengacara dan hakim yang keren dan ini tak lepas dari kekuatan Masyarakat Adat yang terus mengawal proses.
Kita lihat di tengah pandemi, saudara kita di Tano Batak, mempertaruhkan nyawa demi membela tanah leluhur. Kita menyaksikan abang kita, Togu Simorangkir berjalan bersama Ibu Oni dan penyandangan disabilitas dan ada anak kecil. Mereka berjalan dari Tano Batak menuju Istana. Harapan itu akan terwujud bukan karena belas kasihan, kebaikan hati orang, tapi semua hasil perjuangan kita. Saya teringat, kata guru saya, “Kamu harus terus berjuang dan tak boleh andalkan diplomasi, urusan politik, akan memberikan hasil yang memuaskan bagimu tanpa menunjukkan perjuanganmu yang besar.” Ngga ada yang kita raih dalam cawan emas. Semua itu tak ada yang diberi, tapi hasil perjuangan kita. Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk berjuang mempertahankan tanah leluhur kita, bergotong royong melawan gempuran Covid-19, memperjuangkan kontrak sosial baru untuk pastikan kita tak ada di belakang. Kita menjadi sentral dari sebuah dunia dengan tatanan baru. Masyarakat Adat punya lebih dari cukup untuk kita tawarakan pada seluruh umat manusia.
Itulah yang harus kita ingat dan kobarkan semangatnya. Bahwa apa yang kita miliki, seluruh kebudayaan kita secara utuh, bukan untuk diri, kita jaga bumi bukan karena mau menikmatinya sendiri, tapi kita ingin mewariskannya pada generasi berikut dan berkontribusi besar terhadap seluruh umat manusia yang lain, baik Masyarakat Adat atau bukan.
Demikian dari saya. Selamat merayakan HIMAS untuk seluruh saudaraku Masyarakat Adat, seluruh pengurus dan kader, para pejuang Masyarakat Adat, semoga kita semua tetap semangat. Semoga kita tetap dikasihi oleh alam semesta, leluhur, dan Sang Pencipta. Terima kasih. Salam!
***