Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, Masyarakat Adat telah melakukan respon cepat dan berbagai upaya sedini mungkin dalam mengantisipasi penyebaran virus. Nyaris tak ada kasus yang ditemukan di komunitas adat ketika Covid-19 merebak di awal hingga pertengahan tahun 2020. Namun, dengan semakin memburuknya situasi dan merebaknya bermacam varian virus, pertahanan Masyarakat Adat akhirnya menghadapi tantangan yang kian sulit dibendung.
Selain terus memperkuat penerapan protokol kesehatan dan pembatasan sosial, pemerintah juga sedang menggencarkan distribusi vaksin. Program vaksinasi merupakan langkah penting untuk menekan laju penularan, menyelamatkan nyawa, dan mencapai kekebalan kelompok dari keterpaparan Covid-19. Akan tetapi, upaya menuju capaian-capaian tersebut justru tersandung Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 10/2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi, khususnya terkait dengan pasal yang mewajibkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat untuk mengikuti program vaksinasi.
Situasi Masyarakat Adat
Pada wawancara dalam New Normal yang bertajuk “Vaksin untuk Semua” (12/8/2021) di Berita Satu, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengutarakan bahwa bermacam cara dan strategi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat tahun lalu dalam membentengi diri dari gempuran virus di wilayah adat, sudah cukup efektif. Tetapi, kehadiran virus korona varian Delta yang menyebar sangat cepat dan mematikan, membuat Masyarakat Adat kewalahan hingga pertahanan itu jebol juga. Tentu saja, ada sebab lain yang menyertai.
“Wilayah adat yang dekat dengan perusahaan tambang atau sawit,” kata Rukka dalam menjawab pertanyaan terkait lokasi Masyarakat Adat yang terkonfirmasi terkena Covid-19. “Masyarakat Adat mau lockdown pun tak memungkinkan karena wilayah adat itu jadi lintasan 24 jam operasi perusahaan. Tahun lalu, kami minta mereka berhenti dulu sementara. Permukiman wilayah adat juga jadi permukiman pekerja perusahaan atau Masyarakat Adat jadi pekerja di perusahaan.”
Selain klaster perusahaan, Rukka juga menyinggung dengan apa yang disebutnya sebagai klaster ekonomi dan klaster ASN (Aparatur Sipil Negara). Klaster ekonomi terjadi dengan adanya aktivitas masuknya pedagang dari kota ke kampung atau warga di kampung yang harus pergi ke kota untuk menjual hasil bumi, sedangkan klaster ASN terjadi lewat interaksi di antara para pegawai institusi pemerintah.
Sementara itu, menyoal program vaksinasi yang tengah digalakkan oleh pemerintah secara massif, AMAN mengkritik bahwa persyaratan NIK – dengan nama dan alamat – menyulitkan Masyarakat Adat yang tidak mempunyai NIK maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP), di mana NIK tercantum di sana. Alasan mengapa banyak warga Masyarakat Adat sampai sekarang banyak yang belum memiliki NIK, adalah cerita lama. Persoalan itu mencakup masalah birokrasi, infrastruktur penunjang, dan hambatan kultural, termasuk diskriminasi dan stigma bagi Masyarakat Adat dalam mengurus NIK maupun KTP di kantor pemerintahan setempat.
Menurut data AMAN per 21 Juli 2021, hanya terdapat 468.963 orang yang mendaftarkan diri untuk program vaksinasi dan sekitar 20 ribu dari mereka sudah mendapatkan vaksin tahap pertama. Padahal, perkiraan jumlah Masyarakat Adat yang tersebar di Indonesia, mencapai 40-70 juta jiwa, di mana hampir 20 juta orang di antaranya terdaftar sebagai anggota AMAN.
”Kita harus meletakkan vaksin sebagai hak warga negara,” ucap Rukka. “Dalam konteks kepentingan umum, itu menjadi kewajiban setiap individu untuk melindungi orang sekitar…. Terkait Masyarakat Adat, dari awal, sosialisasi (tentang vaksin) hampir tak ada yang menjangkau kampung-kampung. Yang diterima Masyarakat Adat, adalah berita-berita yang muncul dari sumber yang selama ini bukan sumber informasi resmi. Bahan sosialisasi ada, tapi tidak sampai ke kampung-kampung. Dan ini kalah dari serbuan informasi di luar Kementerian Kesehatan. Banyak yang menyebutnya hoaks.”
Keterbatasan informasi, akses vaksinasi, dan ketiadaan NIK, menjadi kendala utama rendahnya Masyarakat Adat yang mendaftar program vaksinasi, terutama mereka yang tinggal di pedalaman atau pulau terluar.
Terobosan dalam Akses Vaksin
Di tengah kondisi yang kompleks tersebut, khususnya dengan peredaran berita bohong yang terlanjur masuk ke kampung-kampung tanpa diiringi dengan upaya koreksi lewat penyebaran informasi yang benar, tentu menjadi tak adil untuk kemudian menyalahkan Masyarakat Adat yang menolak vaksin. Rukka menegaskan bahwa sosialisasi amatlah penting. Sejak awal, AMAN telah mendesak pemerintah untuk pula melakukan testing (tes Covid-19), tracing (penelusuran kontak erat), dan treatment (tindak lanjut pada perawatan) yang diiringi dengan penguatan pada Puskesmas dan/atau Puskesmas Pembantu (Pustu) mengingat keterbatasan, bahkan ketiadaan, pada akses layanan kesehatan dan medis di kampung-kampung Masyarakat Adat.
Apakah Masyarakat Adat mau membuka diri pada program vaksinasi?
“Di beberapa tempat mau,” jawab Rukka. “Tapi, di beberapa tempat yang sudah menerima berita salah bahwa vaksin ini jahat dan lain-lain, itu sudah susah dan harus ada perlakuan khusus. Sekarang ini, sudah hampir 400 ribu (orang) yang minta vaksin. Ini sudah kami komunikasikan dengan Polri dan Kemenkes untuk pastikan bahwa ketika infrasturktur vaksinasi sudah ada dan ada masyarakat yang siap, pastikan vaksin ada.”
Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes yang ditunjuk sebagai juru bicara vaksinasi Covid-19, menjelaskan bahwa pemerintah menggunakan sistem informasi untuk memastikan akuntabilitas vaksinasi. “Itu yang paling memungkinkan untuk link-kan dengan NIK. Jadi masyarakat yang tak punya NIK, ini bisa dilakukan vaksinasi selama bersama Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Proses itu, ada tambahan meja dalam hal administrasi kependudukan dan akan dapat NIK dari Dinas Dukcapil. Itu sudah kita titipkan melalui Pemda dan camat untuk terhubung dengan pemangku adat untuk pelaksanaan vaksinasi.”
Namun, Rukka menegaskan bahwa persoalan bukan hanya dalam urusan vaksin, tapi status Covid-19. “Aktivasi Puskesmas, Pusu, atau dokter untuk masuk kampung,” respon Rukka. “Jadi, screening itu bukan hanya soal status kesehatan, tapi disertai dengan testing yang perlu diperbanyak, swab gratis perlu diperbanyak.” Ia mengkritik tentang pula keterlambatan masyarakat untuk mendapatkan hasil tes, sehingga menyebabkan penelusuran dan tindak lanjut perawatan yang ikut telat. “Banyak kasus orang keluar hasil swab-nya itu sudah mati sebab lambat. Fasilitas daerah tidak ada. Ini soal akses!”
Sejak awal pandemi, AMAN telah melakukan respon tanggap darurat di kampung-kampung lewat pembentukan Satgas #AMANkanCovid19, termasuk mendukung peran aktif pemuda adat dan perempuan adat dalam menguatkan kedaulatan pangan di berbagai komunitas adat di Nusantara. Ada banyak pembelajaran dari proses yang tengah berlangsung di akar rumput tersebut. Sementara itu, inisiatif untuk melakukan komunikasi secara persuasif dengan pemerintah pun sudah diupayakan oleh AMAN bersama koalisi dan para pendukung.
“Ada inisiatif dari kampung secara gotong royong yang harusnya diadopsi. Jadi jangan paksakan kebijakan dari pusat,” ungkap Rukka. “Apa yang kita bayangkan dari pusat, itu tak seperti terjadi di lapangan! Ada kampung yang kita dengar sudah ada gejala Covid-19 berjamaah, tapi tak ada pemeriksaan. Jadi, kami andalkan pada obat tradisional. Ada yang ke hutan untuk bisa sembuhkan diri.”
Berbagai terobosan dalam upaya mengatasi dan menangani krisis Covid-19, telah dilakukan oleh Masyarakat Adat. Dan seharusnya, dengan berkaca pada situasi yang kian memburuk pasca-perayaan Lebaran tahun 2021 ini, pemerintah pun perlu fleksibel dalam merespon situasi secara cepat.
“NIK itu bukan kewajiban masyarakat, tapi hak masyarakat dan kewajiban negara,” ujar Sekjen AMAN. “Dalam situasi sekarang ini, sudah ada solusi tak perlu pakai NIK, katanya Dukcapil jemput bola. Jadi, kerja sama antara Dukcapil, itu jangan diterjemahkan serigid itu sebab harus pertimbangkan wilayah dan logistik. Yang sederhana, data yang yang tak punya NIK, itu cukup diberikan daftarnya oleh kepala desa: nama, umur, jenis kelamin, alamat. Itu dimasukkan dan ditindaklanjuti Dukcapil. Jadi, Dukcapil terima itu dan tak perlu keluar uang dan proses itu bersama kepala desa.”
***
Oleh Nurdiyansah Dalidjo