Istilah “Masyarakat Adat” sesungguhnya bukanlah hal yang asing bagi kita. Indonesia adalah negara dengan populasi Masyarakat Adat yang tinggi dengan perkiraan mencapai sekitar 40-70 juta jiwa, di mana 20 juta di antaranya adalah anggota AMAN. Dengan dinamika situasi yang ada, – di mana Masyarakat Adat sebagai kelompok minoritas seringkali mengalami diskriminasi, stigma, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi, – definisi atas apa atau siapa itu Masyarakat Adat, terkadang masih dipahami secara samar atau keliru. Ketiadaan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat, berdampak besar pada situasi dan kelangsungan hidup Masyarakat Adat. Lewat artikel ini, AMAN hendak menajamkan arti dan konteks dari Masyarakat Adat di Nusantara.
Definisi dan Karakter Masyarakat Adat
AMAN mempadankan terminologi “Indigenous Peoples” – yang dipakai secara global – sebagai “Masyarakat Adat.” Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.
Terdapat empat warisan leluhur atau asal-usul sebagai pembeda antara Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat lainnya. Unsur-unsur tersebut, antara lain identitas budaya yang sama, mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain; sistem nilai dan pengetahuan, mencakup pengetahuan tradisional yang dapat berupa pengobatan tradisional, perladangan tradisional, permainan tradisional, sekolah adat, dan pengetahuan tradisional maupun inovasi lainnya; wilayah adat (ruang hidup), meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam (SDA) lainnya yang bukan semata-mata dilihat sebagai barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya; serta hukum adat dan kelembagaan adat aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Sementara itu, mengacu pada Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), karakteristik penanda Masyarakat Adat, antara lain identifikasi diri (self-identification); keberlanjutan sejarah (sebelum diinvasi oleh kekuatan penjajah atau kolonial); penduduk asal (sejarah); hubungan spiritual dengan tanah dan wilayah adat; identitas yang khas (bahasa, budaya, kepercayaan); serta sistem sosial politik dan ekonomi yang khas.
Secara internasional, sebelum lahirnya UNDRIP, Konvensi ILO No. 169 atau Konvensi Masyarakat Adat 1989 menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui Masyarakat Adat. Konvensi tentang Masyarakat Adat yang ditetapkan oleh negara-negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional pada 1989 itu, bertujuan untuk merevisi Konvensi ILO No. 107 (Konvensi Masyarakat Adat 1957). Prinsip utama konvensi tersebut adalah perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas kebudayaan, gaya hidup, tradisi, dan kebiasaan.
Selain itu, hak asal-usul merupakan pula faktor yang secara tegas membedakan Masyarakat Adat dengan kerajaan atau kesultanan. Kerajaan atau kesultanan merupakan konsep negara lama. Sehingga, Masyarakat Adat tidak sama dengan kerajaan atau kesultanan.
Sejak awal, Indonesia telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat lewat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ppengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat, tercantum di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3).
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
UUD 1945 Pasal 28I ayat (3)
Dalam berbagai narasi dan produk hukum di Indonesia, terdapat juga istilah yang dipakai, yaitu masyarakat hukum adat (MHA), masyarakat lokal, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil (KAT), dan penduduk asli. Berbagai sebutan tersebut dapat merujuk pada Masyarakat Adat, misalnya penyebutan “masyarakat lokal” di nagari pada Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat atau marga di Masyarakat Adat Batak, Sumatera Utara atau penduduk asli Papua (suku dan marga) di Papua dan Papua Barat. Namun, sebutan-sebutan yang ada, dapat pula merujuk pada masyarakat lokal – bukan Masyarakat Adat – dalam konteks di Jawa atau komunitas pendatang (misalnya, kampung transmigran) yang mendiami suatu wilayah selama beberapa generasi jika penyebutannya tidak mempertimbangkan identitas bahasa, ikatan genealogis, maupun teritorial terkait pada warisan asal-usul sebagai pembeda. Penulisan “Masyarakat Adat” pun menggunakan awalan huruf kapital untuk mempertegas Masyarakat Adat sebagai subjek hukum.
Sementara itu, kebijakan-kebijakan negara yang selama ini memprioritaskan pembangunan industri-industri berbasis sumber daya alam (SDA), telah menyebabkan Masyarakat Adat terpinggirkan sekaligus kehilangan hak dan akses atas SDA. Misalnya, pembangunan perkebunan monokultur secara masif oleh perusahaan perkebunan sawit yang menggusur hutan-hutan adat sebagai sumber penghidupan Masyarakat Adat, mengakibatkan Masyarakat Adat kehilangan pangan dan ruang hidup. Belum disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (RUU MA) juga kian meningkatkan eskalasi terjadinya berbagai konflik, diskriminasi, kriminalisasi, perampasan wilayah adat, dan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat di berbagai penjuru Indonesia. Saat ini, pengakuan maupun perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia, masih menghadapi persoalan terkait dengan pengakuan bersyarat. Apalagi, dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang baru, telah menghadirkan anomali pada iklmi demokrasi sekaligus menegaskan ancaman terhadap eksistensi Masyarakat Adat.
Di dalam Masyarakat Adat sendiri, juga hidup beragam kelompok minoritas, yaitu mereka Masyarakat Adat yang mengalami ketertindasan berlapis, baik itu karena faktor kesejarahan, kelas, maupun lainnya. Mereka adalah yang mengalami diskriminasi dan stigma berganda, bukan hanya karena Masyarakat Adat, tetapi karena identitas lain yang melekat. Kelompok Masyarakat Adat minoritas itu, – tak terbatas pada yang disebutkan di sini – meliputi perempuan, anak (berusia di bawah 17 tahun), penyandang disabilitas, lansia, minoritas gender dan seksual, dan kelompok minoritas lainnya yang hidup di dalam suatu komunitas adat sebagai Masyarakat Adat.
Maka, penamaan Masyarakat Adat pun menjadi suatu penegasan identitas politik untuk menghubungkannya pada gerakan Masyarakat Adat.
***
Oleh Nurdiyansah Dalidjo