Menenun merupakan salah satu rutinitas Masyarakat Adat Rembitan yang berada di Dusun Telok Bulan, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seperti apa kekhasan tenun karya mereka?
Di Desa Rembitan, saya bertemu dengan Wane alias Inaq Ketok. Perempuan berusia 70 tahun itu telah menenun sejak usia lima belas tahun. Di usia senjanya, Wane masih aktif menghasilkan karya tenun, di mana menenun sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Bagi Masyarakat Adat, menenun adalah proses pembuatan kain secara tradisional dengan bahan yang terbuat dari benang kapas.
Di rumah yang sederhana dan berdampingan dengan kandang sapi, Inaq Ketok menenun. Perempuan adat mewarisi keterampilan dan pengetahuan menenun secara turun-temurun.
“Kalau zaman dahulu, seorang gadis yang tak bisa menenun, tidak akan pernah didatangi pria, sehingga saya sejak usia 15 tahun sudah bisa menenun,” kata Inaq Ketok bercerita dengan bahasa setempat di kediamannya ketika saya temui pada Kamis, 22 Juli 2021 lalu.
Inaq Ketok menenun kain yang memiliki ciri atau motif khas. Salah satu yang populer di Lombok Tengah, adalah tenun kembang komak yang menghadirkan kombinasi warna garis-garis putih vertikal dan horizontal atau kotak-kotak pada alas warna hitam. Tenun motif tersebut tampak dinamis dan dipakai pada berbagai upacara yang pemakaiannya dapat pula diikat pada pinggang. Tenun bermotif kembang komak juga hadir pada bermacam ritual Suku Sasak. Dulu, kain jenis itu disiapkan oleh perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan karena dapat dikreasikan sebagai sarung dan selimut. Selain motif kembang komak, ada juga yang disebut dengan kembang sari, kemalung, tembaruk, dan lain-lain.
Panjang kain yang biasa Inaq Ketok tenun mempunyai panjang mencapai dua meter untuk berbagai motif. Ia membutuhkan waktu sekitar satu minggu hingga satu bulan untuk membuat sehelai kain. Semakin rumit motif, maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan. Itu pun tergantung pesanan dan ketersediaan bahan baku, katanya.
Sementara itu, ia mengaku bahwa pemerintah hanya memberikan bantuan bahan baku dengan sistem kredit atau membayar bahan baku yang diberikan dengan cara mencicil setiap bulan.
Saat ini, Pemerintah Desa setempat melalui Badan Usaha Milik Desa ( BUMDes), memberikan dukungan baginya dan penenun lain untuk pemasaran. Para penenun dapat menaruh karya-karya mereka di BUMDes untuk kemudian dijual secara kolektif.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, penenun umumnya menjual sendiri kain-kain tenun ke wisatawan. Namun, dengan ketiadaan wisatawan sekarang ini, upaya BUMDes dalam mendukung penjualan dan promosi, menjadi amat membantu.
“Sebelum pandemi, banyak yang datang, baik wisatawan maupun masyarakat lokal, untuk membeli. Tapi, sejak korona, ini sepi. Syukur ada BUMDes yang pasarkan,” kata Inaq Ketok dengan penuh harapan.
Sementara itu, Direktur Bumdes Abdul Majid mengatakan bahwa kualitas tenun yang dihasilkan masyarakat, layak dipasarkan dan mampu bersaing dengan produk lain. Menurutnya, menenun – dalam bahasa daerah setempat disebut dengan nyensek – umumnya dilakukan oleh kaum perempuan, di mana dahulu nyesek dilakukan sebagai pembuktian bahwa seorang gadis sudah siap untuk mengarungi kehidupan rumah tangga. Kini, kain tenun kembang komak menjadi salah satu andalan produk daerah. Kain itu juga telah siap untuk bisa dipasarkan dalam menyambut Perhelatan MotoGP di Mandalika, Lombok Tengah.
Namun, bukan berarti tradisi tenun di kampung itu tak punya kendala. Tantangan yang tengah dihadapi, adalah soal regenerasi. Semakin sedikit perempuan-perempuan muda yang tertarik untuk menenun. Di kampung, sebagian besar yang menenun, adalah perempuan-perempuan lanjut usia. Ibu-ibu di komunitas adat Rambitan menenun di sela-sela kesibukan bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Mereka mengaku bahwa menenun turut medukung ekonomi keluarga.
“Selain untuk menjaga warisan leluhur, juga untuk membantu kebutuhan dapur ibu-ibu di komunitas adat Rambitan,” ucap Majid yang juga adalah warga adat Rambitan. “Kain tenun kembang komak merupakan salah satu kain andalan yang kami produksi, di mana kain ini merupakan kain yang mewakili daerah kami. Kain ini memiliki nilai filosofi yang tinggi, mulai dari pemilihan bahan hingga proses pembuatannya yang membutuhkan waktu cukup lama.”
Majid mengutarakan bahwa sebelum pandemi, dirinya telah berupaya membantu komunitas untuk memasarkan tenun itu karena diminati masyarakat luas.
“Sebelum pandemi, saya mengumpulkan ibu-ibu untuk memproduksi kain kembang komak untuk dibuatkan menjadi beberapa bentuk lain, seperti selendang, sajadah, baju. Dan, itu ternyata sangat diminati, terutama bagi para pencinta kain tenun, baik lokal maupun internasional,” ungkapnya.
Di masa pandemi ini, pengrajin tenun di sana sudah mulai beralih profesi sebagai petani, buruh tani, dan peternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Abdul Majid dan banyak warga adat di sana berharap kain tenun kembang komak bisa menjadi ikon yang menegaskan identitas budaya Masyarakat Adat sekaligus mendukung perekonomian warga.
***
Oleh Rji*
*Penulis adalah kontributor maupun staf di Biro Infokom AMAN Wilayah NTB.