Tradisi budaya warisan leluhur merupakan fondasi yang kokoh untuk kita membentuk karakter manusia Indonesia yang memiliki kepribadian kuat. Tradisi-tradisi lokal memiliki banyak makna tentang pegangan hidup. Di tengah gejolak perkembangan zaman, – dengan maraknya pengaruh budaya luar – eksistensi tradisi-tradisi lokal pun kian mengalami ancaman kepunahan. Maka, tradisi-tradisi lokal itu perlu dijaga kelestariannya. Tidak cukup hanya sebatas pada menggaungkan seruan kata atau melaksanakan seremoni, namun turut menggali, memahami, dan menjalankan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Sebab, tradisi akan abadi bila terimplementasikan dalam keseharian.
Kabupaten Sikka merupakan kabupaten yang terletak di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan dihuni oleh lima etnis utama Masyarakat Adat, yakni Krowe, Lio, Tana A’i, Tidung Bajo, dan Palue. Gabungan dari kelima etnis itulah yang disebut Sikka. Kabupaten Sikka menyimpan begitu banyak ragam budaya dan tradisi yang masih terjaga. Budaya dan tradisi itu pun terkait dengan tahap dan proses kehidupan manusia, mulai dari kelahiran sampai kematian.
Salah satu warisan leluhur Masyarakat Adat Sikka Krowe, adalah ritual Lodong Me. Ritual itu dapat dipadankan sebagai “turun anak” dan merupakan bagian dari proses kelahiran. Lodong Me memiliki sejumlah tahapan yang mengandung pesan, doa, dan ajaran dari orangtua yang ditujukan bagi seorang anak agar kelak tumbuh menjadi manusia yang baik.
Dimulainya Ritual Lodong Me
Selama satu bulan setelah kelahiran, anak akan dibawa ke luar rumah. Ia menatap dunia luar untuk pertama kalinya. Itulah yang kami sebut Lodong Me.
Pada hari itu, keluarga besar berkumpul di rumah si bayi. Keberadaan tanta atau tante (bibi) dari pihak ayah dan ibu si bayi – dalam bahasa adat kami disebut a’a wine – adalah figur utama dalam ritual. Untuk itu, kami punya syair yang berbunyi: “Iana ulit blatan ganu wair, ama bliran ganu bao.” Artinya, segar seperti air dan sejuk seperti pohon beringin.
Hal-hal penting yang harus disiapkan untuk upacara Lodong Me, antara lain abu dapur, sepotong atau seruas bambu yang ujungnya diiris, dan seperangkat alat tenun untuk bayi perempuan atau parang untuk bayi laki-laki.
Kepala suku dari pihak bapak, memulai upacara dengan meletakkan sesajen berupa beras dan sirip ikan di Watu Mahang, yakni tempat sakral yang biasanya berada di sudut rumah dan berupa batu ceper yang menjadi wadah sesajen. Di sanalah, kami memohon dukungan arwah leluhur. Setelahnya, bayi diserahkan ke a’a wine pihak ibu si bayi.
Bayi kemudian dibawa ke luar dari Watu Mahang diiringi dengan peragaan cara dan proses menenun bila bayi itu perempuan atau menggunakan parang bila bayi itu laki-laki. Peragaan itu dilakukan sambil memandu tangan si bayi agar ikut bergerak. Ia dibisiki doa atau pesan agar kelak bekerja keras, terampil, tekun, ulet, tabah, dan sabar untuk dapat mengais rezeki secara baik. Di depan pintu utama rumah, kepala suku akan menabur sesajen ke bumi sambil melantunkan doa sebagai berikut:
“Ami neni ga rudu muhun mora ina nian tana wawa. Plawi ga glekon glarek mora ama lero wulan reta. Kamang himo he amin buan, himo ga tio mate. De’a pu amin lu’ur, de’a ga bela molo.Kamang tuke nimu ganu tena sina. Tubar nimu ganu jong jawa. Punan da’an ajin bolek. Gu’a uma naha ihin kare tua naha dolo. Bua wai naha bekar, ga’e la’I naha tawa. li’ar dira ganu ki’at, rang ngang ganu laba. Li’ar bo’a ganu o’a, rang gakar ganu ‘rata. Beit li’ar besim-berit, porang rang ejo ajar. Gete ata du’a men, berat ata mo’an pun. Saing nibon nai tawa, da’a blupur neti ti’o.” (Kami meminta, kami memohon, meminta bunda di kedalaman tanah, memohon bapak di ketinggian langit. Terimalah anakmu sepenuh hati untuk menghuni di bumi, sambutlah ia berlapang dada agar bersama menguasai jagat. Sehat jasmani, sehat rohani, beranak pinak selayak pantas, gemar bekerja, ulet berjuang, bekerja benar, berjuang jujur, hasil berlimpah, rezeki bertumpuk, selalu arif kian berbijak, usia subur umur berlanjut hingga tua, bertopang tongkat sampai lapuk termakan waktu.)
Selesai pengucapan doa, bayi diserahterimakan dari a’a wine dari pihak ibu ke a’a wine pihak bapak si bayi. A’a wine dari pihak ibu, menyelimuti si bayi dengan seperangkat sarung, sedangkan a’a wine dari pihak bapak, menerima bayi sambil menyerahkan sejumlah barang berupa pem-belis-an (sebagai tanda penghargaan) kepada a’a wine pihak ibu. Seketika itu juga tabung bambu dihentakkan ke tanah untuk menghadirkan bunyi gaung. Lalu, bayi melangkah ke luar meninggalkan rumah. Ibu si bayi berjalan di depan sambil menabur abu sepanjang perjalanan hingga berakhir di tempat singgah.
Bila bayi itu perempuan, perjalanannya akan berakhir di rumah keluarga bapaknya. Di sana, bayi diterima, dijamu, dan penghuni rumah akan membekali bayi berupa seperangkat alat tenun agar kelak menjadi modal untuk berkarya. Namun, bila bayi itu laki-laki, maka perjalanannya akan menuju kebun bapaknya atau sukunya. Di sana, ia diperkenalkan bahwa tanah adalah sumber hidup. Bayi dibawa keliling kebun dan berakhir di altar kebun yang disebut Ai Pu’a. Dengan mengambil hasil kebun dan mengumpulkan kayu api, bapak si bayi memperkenalkan bagaimana cara laki-laki mencari nafkah. Sang ibu bayi pun memperlihatkan semuanya itu kepada si bayi dan berbisik di telinganya agar bayi kelak melakukan hal sebagaimana kewajiban laki-laki ketika pulang dari kebun.
Pada malam hari, diselenggarakan upacara selamatan dengan menyembelih hewan kurban untuk menjamu keluarga besar yang hadir. Apabila Lodong Me disertai dengan kenduri, maka pada upacara di hari tersebut sepenuhnya berlangsung di rumah. Sementara itu, kunjungan rumah atau kebun – sebagaimana diuraikan di atas – diselenggarakan pada hari berikutnya.
Dalam upacara, tabung bambu wajib dibunyikan karena bertujuan menanamkan pendidikan dasar agar kelak kehidupan si bayi dapat memegang teguh semua ajaran, petuah, dan nasihat sesuai bunyi dan ucapan dari orangtuanya. Sedangkan penaburan abu dapur sepanjang jalan, bertujuan untuk menyerahkan bayi agar selalu menggunakan pilar keselamatan sesuai jalan kebenaran yang diperkenalkan orangtua.
Nilai Filosofis Ritual Lodong Me
Untuk menggali nilai filosofis yang terkandung dalam Lodong Me, kita bisa menelahnya lewat setiap pesan yang disampaikan dalam ritual tersebut. Setiap proses terkait erat dengan ukuran kepedulian orangtua dalam menanamkan dasar nilai yang kokoh bagi anak untuk tegar menghadapi dinamika kehidupan dan beradaptasi dengan situasi dunia luar. Hal itu terkemas dalam pesan leluhur yang berbunyi “Bua bur Nora awu, ga’e sedon nora teren.” Artinya, lahir menabur abu, partus (terkait kelahiran) menabuh tabung. Petuah itu dimaksudkan agar orangtua wajib menuntun si anak menuruti jalan selamat dan memperdengarkan kata yang membawa damai agar kelak ia menjadi penerang dan pembawa damai.
Masyarakat Adat Krowe meyakini bahwa apabila tradisi itu benar-benar dijalankan dengan penuh kesungguhan, maka kelak anak tersebut akan tampil sebagai sosok yang bermoral dan berakhlak mulia dengan selalu bertindak adil dan berkata benar, rajin dan tekun bekerja keras, santun dan rendah hati dalam etika pergaulan, serta arif dan bijak dalam mengambil keputusan.
Peran Lodong Me dalam Pendidikan Karakter
Peran ritual Lodong Me penting untuk pembentukan pendidikan karkter karena pesan dan makna yang terkandung di dalamnya dan mempunyai tujuan untuk menanamkan pendidikan dasar bagi si anak di usia dini.
Kelak, doa-doa yang dilontarkan itu, dapat terwujud pada sikap dan perilaku si anak ketika dewasa. Kami meyakini bahwa itulah yang akan menyelamatkan orangtuanya dari kecaman dan pelecehan sebagaimana yang tertuang pada syair berbunyi: “Bau e’o bur awu, ga’e e’o sedon teren.”
Lewat tradisi tersebut, sebetulnya kita membangkitkan budaya kita untuk membangun masa depan yang lebih cemerlang dan berjati diri. Ilmu dan teknologi boleh kita kuasai, tetapi jati diri (sebagai Masyarakat Adat) harus tetap kita jaga. Saya pun bangga menjadi orang Sikka Krowe yang berpegang teguh dan menjunjung tinggi nilai dan ajaran leluhur. Maka, dengan menjunjung tradisi dan budaya kita sendiri, kita menjadi warga negara yang baik dan membawa negeri ini menuju cita-cita kemerdekaan.
***
Oleh Adrian Lawe*
*Penulis adalah pemuda adat dari Masyarakat Adat Sikka Krowe di Kabupaten Sikka, NTT.