Pemuda Adat Melawan Covid-19

Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Jelajah Nusantara merupakan program radio produksi Radio Gaung AMAN (RGA) yang menyajikan potret kehidupan Masyarakat Adat dengan kearifan lokalnya. Di tiap edisinya, Jelajah Nusantara mengajak kita untuk mengunjungi rumah-rumah Masyarakat Adat yang tersebar di berbagai tempat, mulai dari perkotaan, perdesaan, kawasan hutan, pesisir, pulau-pulau kecil, sungai, hingga pegunungan. Jelajah Nusantara bisa dinikmati melalui situs www.radio.aman.or.id maupun siniar (podcast) pada Spotify “Radio Gaung AMAN.”

Selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Jelajah Nusantara pun hadir dengan edisi khusus yang membahas seputar kehidupan Masyarakat Adat di tengah wabah. Pada episode berjudul “Gerak Kreatif Pemuda Adat Melawan Covid-19,” kita diajak berkunjung ke dua komunitas adat, yaitu Kampung Janji di Kabupaten Toba, Sumatera Utara (Sumut) dan Dayak Menjalin di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Kalbar). Di sana, Jelajah Nusantara menghadirkan perbincangan dengan dua pemuda adat yang berbeda.

Situasi Wabah di Kampung

 
Covid-19 telah memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan Masyarakat Adat. Dampak tersebut beragam dan mempengaruhi sumber penghidupan Masyarakat Adat itu sendiri, terutama bagi para pemuda adat, lelaki atau perempuan, yang merantau atau bekerja di kota. Banyak dari mereka terpaksa harus pulang atau kembali ke kampung. Selain karena sudah kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi selama wabah, kota juga dirasa menjadi tempat yang tak lagi aman dan nyaman dengan segala ketidakpastian. Sementara itu, mereka yang memiliki rencana untuk pergi ke kota pun, terpaksa harus menunda atau membatalkannya. Hal itu pun mendesak para pemuda adat untuk merenungkan bermacam hal terkait pandangan terhadap kampung.

“Di kampung saya sendiri, Covid-19 juga menjadi hal yang menakutkan karena di sini ngga ada rumah sakit dan hanya ada seorang bidan desa di dusun,” ungkap Jhontoni Tarihoran, pemuda adat asal Dusun Janji, Desa Lumban Rau Utara, Nassau.

Jhontoni pula mengutarakan keprihatinan. Sebab, seandainya ada warga adat yang sampai tertular virus korona, maka Masyarakat Adat di sana akan kesulitan untuk mengakses pengobatan dan perawatan medis karena keterbatasan akses layanan dan fasilitas kesehatan.

“Kami sudah ada antisipasi sejak April 2020 untuk cegah pendatang atau orang kampung sini yang di luar (kampung) untuk kembali. Ada juga karantina mandiri selama 14 hari dan sudah dimusyawarahkan di desa,” katanya. Jhontoni sendiri sempat merantau untuk bekerja di Jakarta. Ia adalah Sarjana Pendidikan yang memutuskan pulang kampung dan menjadi petani sebelum pandemi menghantam Indonesia.

Di Menjalin, Landak, Kalbar, sosok pemuda adat lainnya juga berbagi situasi. Ia adalah Modesta Wisa, perempuan muda yang memilih jalan hidup serupa dengan Jhontoni, yakni menetap dan berkarier di kampung usai menempuh pendidikan dan sempat bekerja di kota besar. Selain sibuk berladang, Wisa bersama rekan-rekannya mengelola sekolah adat. Di tengah situasi pandemi, ada potret menarik dari karantina kampung secara mandiri dan bermartabat yang dilakukan oleh komunitas adat di sana.

Modesta Wisa.
Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

“Kalau di Sekolah Adat Samabue, kita melakukan pembatasan terhadap murid-murid di sekolah. Kita tetap melakukan pertemuan rutin, tapi anak-anaknya terbatas dengan kita berikan waktu. Tetapi, aktivitas sekolah adat terus berjalan di tengah Covid-19 ini karena di rumah mereka melakukan pendidikan adat dan mereka pergi beraktivitas ke ladang bersama orangtua,” ungkap Wisa. Aktivitas di wilayah adat masih bisa berjalan seperti biasa karena lockdown yang dilakukan, adalah dengan mengunci kampung dari kontak dengan orang luar. Sehingga, warga adat masih dapat beraktivitas, bahkan kegiatan berladang kian intens dilakukan, misalnya menanam jagung, padi, dan sayur. “Kita ada batasan-batasan, seperti tetua adat sudah lakukan tolak bala yang kita sebut balal dan ada penutupan kampung, di mana orang-orang luar dibatasi untuk masuk ke komunitas.”

Selain penutupan kampung, pemuda-pemuda adat pun aktif mengantisipasi situasi pandemi dengan melakukan edukasi, kampanye, dan adaptasi, seperti membagikan hand sanitizer, melakukan ronda untuk jaga perbatasan kampung, dan lain-lain.

“Kita sekarang sudah membuatkan pencuci tangan di rumah masing-masing dan itu dibuat secara kreatif sama ibu-ibu dan anak-anak muda, ada yang buat dari galon, ember, dan ada beberapa desa yang men-support pengadaan wadah pencuci tangan di masing-masing kampung. Kita tetap mengikuti protokol pemerintah, kita tetap menggunakan masker, tetap menjaga jaga jarak antar-sesama, dan mengurangi kumpul-kumpul di keramaian. Kita tetap lakukan ritual tapi tidak banyak orang karena dibatasi,” ujar Ketua Sekolah Adat Samabue itu.

Pemuda Adat yang Bertani

 
Baik itu Jhontoni Tarihoran maupun Modesta Wisa, tak begitu khawatir dengan persoalan pangan selama pandemi. Sebelum krisis Covid-19 menghantam perekonomian di banyak kota di Indonesia, mereka telah lebih dulu memutuskan untuk pulang ke kampung mengelola potensi wilayah ada. Keduanya masih aktif terhubung dalam kerja-kerja penguatan dan pendampingan Masyarakat Adat lewat AMAN dan organisasi sayapnya di tingkat kampung. Selain itu, Jhontoni pun punya kesibukan berladang dan berternak, sementara Wisa pun turut bertani sambil mengurus sekolah ada.

“Saya ini ‘kan pernah tinggal di kota dan kemudian kembali ke kampung ini memang semacam impian bersama di generasi muda adat di BPAN (Barisan Pemuda Adat Nusantara),” ungkap Jhontoni mengungkapkan alasannya pulang kampung. Ia melanjutkan, “Penting untuk kembali ke kampung ini dalam rangka memperkuat wilayah adat yang selama ini banyak sekali kampung itu ada masalah yang terjadi, seperti perampasan wilayah adat. Saya sebagai generasi muda tentu terancam sebab tanah dan wilayah adat leluhur saya ada masalah. Kami beruntung karena sejak dulu membangun hubungan tanah, yaitu bertani.

Jhontoni Tarihoran berpose di tengah ladang.
Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

Sebagai pemuda adat yang berpendidikan, Jhontoni pun memperkenalkan inovasi pertanian organik lewat penanaman kopi, jagung, kacang, singkong, dan sayur-sayuran. Ia bilang kalau dirinya ingin memastikan orang-orang di kampung bisa konsumsi sayur yang sehat dan hemat tanpa pestisida maupun pupuk kimia yang harus dibeli.

Lalu, apakah Jhontoni mengalami sindiran dari pihak keluarga atau tetangga dengan keputusannya kembali ke kampung menjadi petani yang bergelar sarjana?

“Makin tinggi pendidikan seseorang, semakin jauh dia meninggalkan tanah leluhurnya, wilayah adatnya, rumah adatnya, bahkan orangtuanya,” kritik Jhontoni yang kerap menyindir corak pendidikan modern yang kerap dianggap sebagai ‘ilmu pergi’ bagi Masyarakat Adat. “Pendidikan yang kita terima sejak dulu oleh negara itu, memisahkan kita dari diri kita, wilayah adat kita, kampung kita. Saya sebagai generasi muda Masyarakat Adat, sudah tahu ini akan jadi persoalan ketika saya kembali ke kampung, termasuk orangtua saya melihat ini kenapa kembali ke kampung dan tidak bekerja di tempat lain di perusahaan atau kantor. Tantangan ini sudah saya duga, ini ‘kan dilakukan dengan sadar dan sebagai bentuk perlawanan. Saya buktikan juga saya di kampung harus kontribusi untuk kampung, jadi tidak hanya untuk diri saya sendiri.”

Kehadiran Jhontoni sebagai sosok yang berpendidikan tinggi pun dirasakan betul manfaatnya bagi warga kampung ketika ia kerap membantu warga adat mengurus dokumen-dokumen pendidikan, seperti Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan lain-lain sebagai salah satu bentuk pengakuan terhadap warga negara. Jhontoni pun aktif dalam berbagai proses musyawarah dan pengambilan keputusan di tingkat kampung hingga kecamatan. Pendidikan dan pengalaman kerja yang pernah diembannya di kota, terbukti memiliki manfaat lebih untuk bisa diterapkan di kampung.

Sejalan dengan Jhontoni, Wisa pun menyampaikan kalau kampungnya relatif punya kondisi yang stabil untuk persoalan pangan. Mereka bahkan baru saja panen padi. Setiap panen, stok padi bisa memenuhi kebutuhan makan keluarga untuk enam bulan hingga satu tahun ke depan. Meski begitu, situasi pandemi yang menghantam banyak wilayah di Indonesia, membuat warga adat kian waspada dan perlu memantapkan rencana, terutama dalam dalam kedaulatan pangan.

“Kita lagi mempersiapkan suatu pelatihan khusus anak muda untuk menghadapi ketahanan pangan,” kata Wisa. “Jadi, kita akan mengumpulkan sekitar 30 anak muda dari beberapa kampung untuk kita sharing bersama dan cari solusi bagaimana kita mengatasi krisis pangan. Kita mau jadi virus kepada anak-anak muda supaya mereka tetap terjun bertani, menanam, dan berhubungan dengan tanah karena memang kita mau dari anak muda itu mandiri.”

Di kampungnya, Sekolah Adat Samabue telah menjadi semacam perekat bagi Masyarakat Adat lintas generasi. Anak-anak dan para pemuda adat juga kian menghimpun semangat dan inspirasi.

“Ketika kita mau mulai sesuatu, kita harus mencari teman yang satu visi-misi dengan kita dan punya pemikiran yang sama dengan kita,” ungkap Wisa menjawab pertanyaan tentang bagaimana ia mampu menangkis segala tantangan di kampung. “Lakukan pendekatan dengan tetua! Walau tidak dilibatkan, tapi harus libatkan diri. Walau tak diundang, kita harus datang karena itu untuk kepentingan dan kemajuan bersama kampung kita sendiri.”

Jhontoni Tarihoran dan Modesta Wisa merupakan representasi dari pemuda adat yang memberikan kita semacam pandangan atau gagasan alternatif. Bukan hanya tentang peran strategis pemuda adat di kampung, tetapi juga kaitannya dengan upaya mempertahankan dan menjaga keberlanjutan kampung dan wilayah adat kini dan nanti. Mereka pun tidak tinggal diam di tengah situasi wabah ini. Justru para pemuda adat membuktikan posisinya sebagai garda depan yang turut bergerak aktif menguatkan komunitas lewat kegiatan sosialisasi atau edukasi tentang Covid-19 serta terlibat langsung menjaga kedaulatan pangan di komunitas dengan ikut berkebun atau berladang. Serangkaian cara dan pendekatan yang kreatif dan inovatif, adalah pula karakter khas dari para pemuda adat.

“Orang-orang muda harus persiapkan diri untuk bertani,” tegas Jhontoni. “Jangan merasa tertinggal jadi petani, jelas kita tahu jasa petani untuk negara ini. Pilihan untuk kembali ke kampung, adalah pilihan untuk kembali mengelola tanah kita. Dan, pilihan jadi petani di kampung, bukan pilihan yang keliru. Kalau bisa bertani, silahkan! Kalau ada yang jurusan hukum, ada banyak hal terkait bidangnya hukum, misalnya penguatan tentang wilayah adat. Jadi, tak melulu jadi petani atau perternak dan ada banyak pilihan lain yang tersedia dan dihubungkan dengan kemajuan anak muda.”

Menurutnya, generasi muda Masyarakat Adat berhak mewarisi kampung dalam keadan baik agar wilayah adat kelak bisa pula diwariskan ke generasi mendatang dalam keadaan baik.

***

Obrolan lebih lanjut dengan Jhontoni Tarihoran maupun Modesta Wisa pada artikel ini, juga dapat didengar lewat siniar Jelajah Nusantara edisi “Gerak Kreatif Pemuda Adat Melawan Covid-19” melalui tautan berikut: https://open.spotify.com/episode/4wwynF69DpQmWQlltQvVxB

 

Tinggalkan Balasan