Pemerintah Tak Efektif dan Adil dalam Penanganan Pandemi

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) Rukka Sombolinggi. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Situasi Covid-19 di Tanah Air kian memburuk. Indonesa pun berada pada urutan teratas di dunia untuk penambahan kasus harian positif Covid-19. Pada 16 Juli 2021, mengacu pada data Worldometers, kasus baru di Indonesia terus merangkak naik sebesar 56.757 orang. Di hari yang sama, AMAN bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.

Surat terbuka tersebut mendesak pemerintah agar memperhatikan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas serta memperhitungkan secara matang dampak dari berbagai kebijakan terkait pandemi Covid-19. AMAN, WALHI, dan KPA menyoroti kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan kebijakan lain yang dinilai tidak efektif, tidak adil, dan abai pada aspek pemenuhan kebutuhan pokok rakyat kecil. Sementara di sisi lain, negara justru membiarkan laju industri ekstraktif terus berlangsung seolah hendak melupakan fakta bahwa virus korona adalah kategori zoonosisjenis penyakit yang ditularkan ke manusia – yang salah satunya disebabkan oleh faktor kerusakan lingkungan.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengkritik penanganan pandemi yang dilakukan sejauh ini, belum terintegrasi dan belum menyeluruh, sehingga membawa kehidupan masyarakat pada situasi yang penuh ketidapastian dan dibayangi ancaman infeksi Covid-19. “Kebijakan yang demikian telah menyebabkan wilayah-wilayah Masyarakat Adat yang selama setahun terakhir ini kami jaga dan lindungi, akhirnya tidak mampu lagi menahan penyebaran Covid-19 dan mengakibatkan jatuhnya korban,” ungkapnya.

Menurut Rukka, kebijakan pemerintah seringkali ambigu, di mana ketika pembatasan dilakukan, mobilitas manusia antar-daerah dan antar-negara justru masih dibuka. Kekacauan kian bertambah dengan mengaitkannya pada perihal ketidakmerataan akses pada tes, ketidakseriusan dalam pelacakan, serta proses vaksinasi yang belum merata dan belum menjangkau kelompok Masyarakat Adat, petani, nelayan, dan kaum marjinal lainnya.

AMAN, WALHI, dan KPA juga melontarkan kritik terhadap program vaksinasi yang terpusat, sehingga kerap menimbulkan kerumunan dan memperbesar risiko penyebaran virus.

Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati berpendapat bahwa kebijakan PPKM Darurat ditetapkan secara sembrono dan tidak memperhatikan dampak krusial terhadap masyarakat kecil. Ia menyayangkan situasi lain terkait dengan akses kebutuhan pokok, pengobatan dan perawatan medis, serta tes yang harganya sulit dijangkau oleh kelompok ekonomi menengah dan bawah.

“Kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam situasi PPKM Darurat, merupakan tanggung jawab pemerintah,” ujar Nur Hidayati. “Hal itu ditentukan secara tegas dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan, hak atas pangan, layanan kesehatan, dan hidup yang layak tanpa situasi pandemi, tetap menjadi kewajiban konstitusional negara. Untuk itu, negara, baik pemerintah maupun DPR, harus segera mengambil kebijakan dan tindakan untuk memenuhi hak-hak dasar tersebut. Negara juga harus menghentikan seluruh aktivitas ekstraktif skala besar untuk memutus potensi timbulnya varian penyakit lain dan ancaman yang akan memperparah krisis.”

Hal serupa turut dilayangkan oleh Sekjen KPA Dewi Kartika. Ia mengatakan bahwa di tengah krisis, pemerintah dan DPR tidak menghentikan korporasi yang semakin agresif merampas ruang hidup petani, nelayan, dan Masyarakat Adat, bahkan aparat negara seringkali melakukan kekerasan terhadap mereka yang tengah berjuang mempertahankan haknya. “Situasi tersebut telah menyebabkan petani, nelayan, dan Masyarakat Adat semakin terancam. Konflik dan kekerasan terus terjadi. Masyarakat tidak lagi merasa aman dan nyaman dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkap Dewi.

Mengacu pada catatan KPA tahun 2020, di tengah minusnya perekonomian nasional dan Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), perampasan tanah berskala besar tetap tinggi dan tak terkendali. Sedikitnya terdapat 241 konflik agraria yang tersebar di 359 kampung/desa dengan melibatkan 135.337 kepala keluarga di atas tanah seluas lebih dari 624 ribu hektar. Berbagai aktivitas perusahaan pertambangan, perkebunan, kehutananan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan proyekinfrastruktur di atas ruang hidup petani dan wilayah adat, menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk menjaga keselamatan diri.

AMAN, WALHI, dan KPA memandang penting bagi pemerintah untuk melakukan realokasi dan refocusing anggaran untuk memastikan layanan kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat dapat dipenuhi. Berbagai kebijakan juga harus dilimplementasikan secara transparan dan bebas dari praktik korupsi. Ketiga organisasi menegaskan bahwa upaya menyelamatkan rakyat jauh lebih penting dibandingkan menyelamatkan ekonomi kapitalistik.

“Pemerintah perlu mempercepat, memperluas, dan memperbaiki proses testing dan vaksinasi agar menjangkau mereka. Pemerintah juga perlu memperkuat sosialisasi serta menertibkan informasi yang tidak bertanggung jawab mengenai asal-usul vaksin, efikasi, maupun dampaknya, sehingga kepercayaan publik dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi, meningkat,” tegas Rukka.

AMAN, WALHI, dan KPA mendesak keseriusan pemerintah dalam mendengarkan ahli kesehatan yang kompeten dan membuat kebijakan yang berdasarkan ilmu pengetahuan dalam mengatasi pandemi ketimbang sibuk memprioritaskan urusan ekonomi di tengah pandemi yang kian berlarut-larut bersamaan dengan merosotnya kualitas kesehatan masyarakat.

***

Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Tinggalkan Balasan